Pidato pada Rapat Persatuan Islam di Bogor, tg. 17 Juni 1934.
I.
Ibu-bapa dan saudara-saudaraku kaum Muslimin.
Kini kami meminta perhatian ibu-bapa dan saudara-saudara kami kaum Muslimin yang hadir, terhadap satu masalah, yang mengambil tempat yang sangat penting dalam kehidupan kita sebagai manusia umumnya, dan sebagai pengikut dari Junjungan kita, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam khususnya. Masalah itu, ialah masalah pendidikan anak kita kaum Muslimin.
Maju atau mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu.
Tak ada satu bangsa yang terkebelakang menjadi maju, melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki pendidikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka. Bangsa Jepang, satu bangsa Timur yang sekarang jadi buah mulut orang seluruh dunia lantaran majunya, masih akan terus tinggal dalam kegelapan sekiranya mereka tidak mengatur pendidikan bangsa mereka; kalau sekiranya mereka tidak membukakan pintu negerinya yang selama ini tertutup rapat, untuk orang-orang pintar dan ahli-ahli ilmu negeri lain yang akan memberi pendidikan dan ilmu pengetahuan kepada pemuda-pemuda mereka disamping mengirim pemuda-pemudanya keluar negeri mencari ilmu dan pendidikan.
Spanyol, satu negeri di benua Barat, yang selama ini masuk golongan bangsa kelas satu, jatuh merosot ke kelas bawah, sesudah enak dalam kesenangan mereka dan tidak mempedulikan pendidikan pemuda-pemuda yang akan menggantikan pujangga-pujangga bangsa di hari kelak.
Tidak mempedulikan pendidikan bangsa mereka sebagai yang cocok dengan aliran zaman, lantaran itu mereka tinggal tercecer di belakang bangsa-bangsa yang dikelilingnya, yang terus bergerak dengan giat dan cepat.
Begitu ajaran tarikh ! “Sesungguhnya telah lalu sebelum kamu beberapa contoh-contoh, lantaran itu berjalanlah di atas bumi, dan lihatlah bagaimana kesudahannya orang-orang yang tidak menerima kebenaran. Ini.adalah satu keterangan yang nyata untuk manusia, dan satu petunjuk serta pendidik untuk orang-orang yang hendak berbakti kepada Tuhan” (QS Ali Imran : 137-138).
Apakah pelajaran yang dapat kita peroleh dari tarikh dan sunatullah yang telah terang dan jelas itu?
Ialah, bahwa kemunduran dan kemajuan itu tidak bergantung kepada ketimuran dan kebaratan, tidak bergantung kepada putih, kuning atau hitam warna kulit, tetapi bergantung kepada ada atau tidaknya sifat-sifat dan bibit-bibiit kesanggupan dalam salah satu umat, yang menjadikan mereka layak atau tidaknya menduduki tempat yang mulia di atas dunia ini.
Dan ada atau tidaknya sifat-sifatdan kesanggupan (kapasitas) ini bergantung kepada pendidikan ruhani dan jasmani, yang mereka terima untuk mencapai yang demikian.
Kita tak usah bermegah diri dengan apa yang telah dicapai oleh umat yang telah dahulu dari kita, dan tak usah kita menepuk dada dengan ketinggian dan kemuliaan umat Islam dalam abad-abad keemasan dari tarikh Islam, dimasa bendera Islam berkibar-kibar dari Timur sampai ke Barat, di masa universitas-universitas Islam memancarkan cahayanya yang gemerlapan kesegenap pojok dunia, memberi penerangan ke benua Eropa yang ketika itu masih gelap. Tak usah kita bermegah diri dengan jihad dan kemenangan mereka.
“Umat ini telah berlalu. Mereka menerima apa yang patut mereka terima, dan kamu akan menerima apa yang patut kamu terima pula. Kamu tidak akan ditanya tentang apa-apa yang mereka telah lakukan!”, demikian Al Quran menegaskan, dalam surat Al-Baqarah : 134.
Umat-umat itu memang sudah dahulu dari kita. Mereka terima, apa yang layak mereka terima, yang sepadan dengan usaha dan amal-amal mereka. Dan kita akan menerima pula apa yang pantas kita terima, yang berpadanan dengan usaha dan kerja kita. Kita tidak akan ditanya tentang apa-apa yang nenek moyang kita itu telah kerjakan.
Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: apakah yang telah kita kerjakan dan usahakan; dan apakah yang telah kita peroleh? Marilah kita periksa diri kita dan diri umat kita yang sekarang ini, apakah dalam diri kita masing-masing dan dalam kalangan kaum kita, ada sifat-sifat dan kekuatan serta kecakapan dan kesanggupan seperti mereka-mereka yang dahulu itu, atau belumkah?
Sebagian dari sifat-sifat mereka kaum Muslimin pada abad-abad keemasan itu, ialah ketetapan dan ketabahan hati mereka dalam tiap-tiap usaha mereka, baik dunia maupun akhirat, baik dalam beribadat ataupun dalam menuntut ilmu. Apakah kaum kita sekarang sudah umum begitu?
Mereka mempunyai pujangga-pujangga dalam urusan agama, dalam urusan ilmu-pengetahuan, dalam urusan pemerintahan, dalam segala urusan yang berhubung dengan kemaslahatan mereka.
Adakah kita mempunyai itu?
Mereka mempunyai sifat tawakal, kemerdekaan berfikir, berani mempertahankan hak, menjunjung perintah Allah dengan tunduk dan ikhlas.
Apakah kita sekarang sudah begitu?
Pertanyaan ini tidak susah menjawabnya. Terserah kepada diri kita masing2 memberi jawabannya!
Marilah sama-sama kita insafi bahwa menurut sunatullah semua sifat dan kesanggupan-kesanggupan itu tidak dapat dicapai, kecuali dengan pendidikan yang sungguh-sungguh. Lantaran itu masalah pendidikan ini adalah masalah masyarakat, masalah kemajoian yang sangat penting sekali, lebih penting dari masalah yang lain-lain.
Negeri kita ini mempunyai penduduk tidak kurang dari 60 juta jiwa. Berapakah dari kaum kita yang sekian itu, yang telah mendapat pelajaran dan pendidikan?
Sudah diadakan suatu komisi untuk memeriksa berapakah prosennya dari penduduk negeri kita ini yang sudah mendapat pelajaran. Laporan komisi itu, (Hollandskh Onderwiys-Commissie) yang terbit dalam tahun 1931 memuat satu perbandingan tentang perguruan yang ada di negeri kita dengan perguruan di negeri-negeri lain-lain ialah sebagai berikut:
Jawa | 2,9% |
Luar Jawa | 2,9% |
Mesir | 3,4% |
India | 4,5% |
Siam | 5,6% |
Pilipina | 9,7% |
Ini menunjukkan bahwa kalau kita kumpulkan orang kita di tanah Jawa ini ataupun diluar Jawa, maka pukul rata dalam tiap-tiap 100 orang hanya 2,9 orang, — belum cukup 3 orang —, yang sudah dapat perguruan. Dan kalau kita masukkan kedalamnya pengajaran yang diberikan pesantren2, maka masih belum tinggi angka prosentasenya untuk seluruh Indonesia dari pada 3,8%. Sekarang kalau dimasukkan pula perguruan yang diberikan oleh sekolah-sekolah partikelir yang dinamakan sekolah-liar itu, bolehlah nanti kita mendapat paling tinggi angka 4—.
Apakah artinya 4 orang dari tiap-tiap 100 orang itu! Bandingkanlah dengan keadaan di Filipina, tanah yang berdekatan dengan kita, yang telah mencapai angka 9,7, yakni lebih dari 2 kali sebanyak angka kita.
Menurut perhitungan H.I.O. Commissie itu juga dari 24.029.839 anak-anak dibawah umur 13 tahun, barulah 4.702.935 anak yang sudah mendapat pelajaran dan masih 19.326.904 anak yang tidak mendapat pelajaran itu. Betapakah akan nasibnya anak-anak yang lebih dari 19 miliun (juta) itu?
Apakah akan dibiarkan saja mereka terlantar, jadi bodoh dan dungu terbenam dalam kegelapan? Atau apakah sudah rela benar-benar kita melepaskan anak-anak kita itu diperkemasi oleh mereka yang bekerja dengan giat dan rajin serta tabah mendirikan sekolah-sekolah mereka, yang membukakan pintunya dengan luas sekali kepada anak-anak kita yaitu pihak missi dan zending dinegeri kita ini?
Wahai ibu-bapa kaum Muslimin ! “Alangkah sukanya Ahli Kitab, jika mereka dapat membelokkan kamu kembali, sesudah kamu beriman (kepada Muhammad), sebab tidak senang hati mereka… !”, demikian Al-Quran dalam surat Al-Baqarah : 109. Peringatan ini dihadapkan oleh Muhammad kepada kaum Muslimin 13 abad yang lalu dan yang rupanya perlu diperingatkan ber-ulang2 demikian kepada kita.
Tuhan telah mengamanatkan anak-anak itu supaya kita didik dan kita pimpin. Kita sebagai ibu-bapa yang lebih tua dan lebih kuat, bertanggung jawab atas nasib anak-anak kita itu. “Tiap-tiap anak itu dilahirkan suci, maka ibu-ibapanyalah yang menjadikan dia seorang Majusi, Nasrani dan Yahudi.” Begitu Junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan kepada tiap-tiap ibu-bapa kaum Muslimin berhubung dengan kewajiban mereka terhadap anak-anak mereka. “Peliharalah dirimu dan ahlimu (keluarga) dari api naraka l”, demikian lagi peringatan Tuhan dalam Kitab Sucinya, surat At-Tahrim ayat 6, kepada kita, yang maksudnya ialah harus kita berikan kepada anak dan isteri kita pendidikan yang akan memeliharanya dari kesesatan dan memberi keselamatan kepadanya didunia dan diakhirat.
Mengurus pendidikan anak-anak itu, bukan saja fardhu-‘ain bagi tiap-tiap ibu-bapa yang mempunyai anak, akan tetapi adalah fardhuki fayah bagi tiap-tiap anggota dalam masyarakat kita.
“Hendaklah ada dianta\ra kamu suatu golongan yang menyeru manusia kepada kebaikan dan melarangnya dari pada kejahatan; penyeru-penyeru ini adalah orang yang mendapat kemenangan” (Q. Ali ‘Imran : 104).
Jadi kita kaum Muslimin wajib mengadakan dari antara kaum kita juga, satu golongan yang akan mendidik anak-anak kita, supaya pendidikan anak-anak itu jangan diserahkan kepada mereka yang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak seiman dan tidak seagama dengan kita. Begini peringatan dari Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Begitu pula perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
II.
Barat dan Timur
Dalam perlumbaan bermacam aliran yang diturut oleh orang kita dalam pendidikan dan pelajaran, seringkah dikemukakan perbandingan atau pertentangan antara pendidikan Barat dan pendidikan Timur.
Seringkali pula kenyataan, ada yang menganggap bahwa pendidikan Islam itu ialah pendidikan Timur, dan pendidikan Barat ialah lawan dari pendidikan Islam. Boleh jadi, ini reaksi terhadap kepada pendidikan “kebaratan” yang ada dinegeri kita, yang memang sebagian dari akibat-akibat nya tidak mungkin kita menyetujuinya sebagai umat Islam. Akan tetapi coba kita berhenti sebentar dan bertanya: “Apakah sudah boleh kita katakan bahwa Islam itu anti-Barat dan pro-Timur, khususnya dalam pendidikan?!
Pertanyaan ini hanya bisa kita jawab apabila sudah terjawab lebih dulu: “Apakah kiranya yang menjadi tujuan dari pendidikan Islam itu?” Yang dinamakan pendidikan, ialah satu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya. Pimpinan semacam ini sekurangnya antara lain perlu kepada dua perkara :
a. Satu tujuan yang tertentu tempat mengarahkan pendidikan itu.
b. Satu asas tempat mendasarkannya.
Akan siapkah tiap-tiap pimpinan itu apabila ketinggalan salah satu dari yang dua ini. Pertanyaan: “Apakah tujuan yang akan dituju oleh pendidikan kita?”, sebenarnya tidak pula dapat dijawab sebelum menjawab pertanyaan yang lebih tinggi lagi yaitu: “Apakah tujuan hidup kita didunia ini?” Kedua pertanyaan ini tidak dapat dipisahkan, keduanya sama (identiek), Tujuan pendidikan ialah Tujuan-Hidup !
Quranul-Hakim menjawab pertanyaan ini begini: “Dan Aku (Allah) tidak d yadikan d yin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku!” (QS Adz Dzariyat: 56).
Akan memperhambakan diri kepada Allah, akan menjadi hamba Allah, inilah tujuan hidup kita diatas dunia ini. Dan lantaran itu, inilah pula tujuan pendidikan yang wajib kita berikan kepada anak-anak kita, yang lagi sedang menghadapi kehidupan.
Arti: “Liya’buduni”.
Adapun perkataan “menyembah Aku” ini mempunyai arti yang sangat dalam dan luas sekali, lebih luas dan dalam dari perkataan-perkataan itu yang biasa kita dengar dan pakai setiap hari.
“Menyembah Allah” itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah Ilahi yg membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan akhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan-larangan yang menghalang-halangi tercapainya kemenangan dunia dan akhirat itu. Akan tetapi sungguh tidak mudah mencapai pangkat “Hamba Allah” itu. Tuhan terangkan dalam Al-Quran, antaranya apakah syarat-syarat dan sifatnya seseorang yang berhak menamakan dirinya “Hamba Allah” itu: Bahwa yang sebenar-benarnya takut kepada Allah itu, ialah hambas-Nya yang mempunyai ilmu; sesungguhnya Allah itu Berkuasa lagi Pengampun” (QS Al Fathir : 28).
Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu, ialah satu syarat yang terpenting untuk menjadi Hamba Allah yang sebenar-benarnya. Seorang Hamba Allah, bukanlah seorang yang mengasingkan diri dari kenikmatan dunia dan pergi bertapa kehutan belukar, dan mengerjakan hanya sekedar “sembahyang” dan “puasa” saja! Bukan se-mata2
ini yang dimaksud dengan menyembah Allah itu.
Malah dengan terang dan tegas pula Tuhan peringatkan bahwa segala barang yang baik dan rezeki-rezeki yang halal diatas dunia ini, adalah teruntuk bagi Hamba Allah !
“Katakanlah! Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang Dia keluarkan untuk hamba-Nya, beserta rezeki yang baik itu? Katakanlah, (semua itu) untuk mereka yang beriman diatas dunia ini, dan semata-mata akan (kepunyaan mereka) dihari kiamat” (QS Al A’raf: 32).
Hamba Allah, ialah orang yang ditinggikan Allah derajatnya, sebagai pemimpin untuk manusia. Mereka menurut perintah Allah, dan berbuat baik kepada sesama makhluk, lagi menunaikan ibadah terhadap Tuhannya, sebagaimana tersimpul dalam firman Tuhan:
“…mereka beriman kepada Allah, kepada Hati Kemudian kepada Malaikat, kepada Kitab-Nya dan Nabi-nabi-Nya dan memberikan harta yang disayainginya kepada karib-karibnya, kepada anak yatim, kepada orang terlantar, dan kepada orang yang keputiusan belanja dalam perjalanan, serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Didirikannya sembahyang, dibayarkannya zakat, teguh memegang janji apabila berjanji, bersifat sabar dan tenang diwaktu bahaya dan bencana…” (QS Al-Baqarah : 177).
Kepada Hamba Allah yang beginilah Tuhan telah memberi satu “balagh”, satu ultimatum, yakni satu pemberi-tahuan yang keras, bahwa kemenangan dan kejayaan diatas dunia ini tidak diberikan, melainkan kepada hamba-Nya yang pantas dan patut lagi mempunyai kecakapan yang cukup untuk menerima dan mengurus dunia.
Lain dari itu, tidak l
“Sesungguhnya Kami telah tetapkan dalam Zabur, sesudahnya peringatan, bahwa sesungguhnya dunia ini diwarisi oleh hamba-hambaKu yang patut-patut, dan sesungguhnya dalam hal ini adalah satu pemberian tahu, “peringatan” untuk orang yang menyembah Allah” (QS Al-Anbiya : 105-106).
Beginilah sekurangnya sifat-sifat dan amalannya seseorang yang mempunyai derajat “Hamba Allah” itu! Maka nyata pula bahwa memperhambakan diri yang semacam ini ialah untuk kepentingan dan keperluan yang menyembah itu sendiri, bukan untuk yang disembah:
“Tidak! Aku tidak berkehendak mendapat rezeki dari mereka dan Aku tidak berkehendak, supaya mereka memberi Aku makan” (QS Adz Dzariyat: 57).
“Sesungguhnya Allah itulah yang memberi rezeki yang mempunyai semua kekuatan dan kekuasaan yang paling berkuasa” (QS Adz Dzariyat: 58).
Perhambaan kepada Allah yang jadi tujuan hidup dan jadi tujuan pendidikan kita, bukanlah suatu perhambaan yang memberi keuntungan kepada yang disembah, tetapi perhambaan yang mendatangkan kebahagiaan kepada yang menyembah; perhambaan yang memberi kekuatan kepada yang memperhambakan dirinya itu.
“Dan barang siapa yang syukur kepada Tuhan maka sesungguhnya ia ber syukur untuk kebaikan dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya dan Mahamulia!” (QS An-Naml: 40).
Akan menjadi orang yang memperhambakan segenap ruhani dan jasmaninya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kemenangan dirinyadengan arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia. Itulah tujuan hidup manusia diatas dunia. Dan itulah tujuan pendidikan yang harus kita berikan kepada anak kita-kita kaum Muslimin.
Inilah “Islamietiskh Paedagogiskh Ideaal” yang gemerlapan yang harus memberi suar kepada tiap-tiap pendidik Muslimin dalam mengemudikan perahu pendidikannya.
Apakah yang semacam itu semacam pendidikan ke-“barat”-an atau ke-“timur”-an namanya, tidak menjadi soal. Timur kepunyaan Allah, Baratpun kepunyaan Allah juga, sebagai makhluk yang bersifat “hadits” (baru), kedua-duanya, Barat dan Timur mempunyai hal yang kurang baik dan yang baik,- mengandung beberapa kelebihan dan beberapa keburukan.
Seorang pendidik Islam tidak usah memperdalam dan memperbesar-besarkan antagonisme (pertentangan) antara Barat dengan Timur itu. Islam hanya mengenal antagonisme antara hak dan batil. Semua yang hak ia akan terima, biarpun datahgnya dari “Barat”, semua yang batil akan ia singkirkan walaupun datangnya dari “Timur”. Sistem pendidikan seperti yang diberikan di Barat yang bersemangat efficiency, supaya dapat kemenangan dalam perlumbaan hidup tidak ia akan tolak sama sekali, kalau semata-mata lantaran sifat ke-“Barat”-annya. Sebab, seorang Islam, seorang Hamba Allah, dilarang “melupakan nasibnya didunia ini” dan dituntut mencempungkan diri dalam perjuangan hidup dengan cara yang halal.
Suatu sistem Timur yang memberi pendidikan, terpisah dari gelombang pergaulan dan perjuangan manusia biasa, meluhurkan dan menyucikan kebatinan, tidak akan kita terima semuanya pula, kalau hanya lantaran sifat “ketimurannya” itu. Sebab, buat seorang Hamba Allah, jasmani dan ruhani dunia dan akhirat, bukanlah dua barang yang bertentangan yang harus dipisahkan, melainkan dua serangkai yang harus lengkap-melengkapi dan dilebur menjadi satu susunan yang harmonis dan seimbang. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah:
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat yang seimbang, adil dan harmonis, supaya kamu jadi pengawas bagi manusia dan Rasul jadi pengawas atas kamu” (QS Al Baqarah: 143).
Derajat Hamba Allah ang beginilah yang bukan sia-sia, untuk itulah kita harus mempergunakan setiap saat dari umur kita. Umur kita dan umur generasi yarg bakal timbul yang kita didik, untuk menggantikan kita.
Dari brosur tersendiri.