Kata ijtihad, seperti halnya dengan kata jihad, berasal dari kata dasar jahada yang secara etimologis berarti mengupayakan dengan semua kemampuan untuk mencapai sesuatu perkara yang tidak lepas dari jerih payah dan beban berat. Dalam mengupayakan dengan segala kemampuan, mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) merasakan dirinya tidak mampu lagi melakukan lebih dari apa yang ia upayakan itu.
ljtihad menurut istilah para ahli Ushul Fiqih, adalah jerih payah yang dilakukan oleh ulama fiqih untuk mendapatkan satu rumusan hukum syar’i. Maka mujtahid adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam meyimpulkan cabang dari pangkal dan dasar-dasar hukum Islam.
Ada sejumlah syarat yang memungkinkan mujtahid melakukan ijtihad dalam ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu akal. Di kalangan ulama syarat-syarat ini beragam akan tetapi dapat dihimpun dalam dua faktor atau dua syarat saja:
- Mengetahui ushul –Kitab dan Sunnah.
- Mengetahui metode penyimpulan hukum.
Ini menyangkut masalah-masalah syari’ah, halal dan haram. Sedangkan dalam masalah-masalah akal di sana ada dua syarat, yaitu:
- Mengetahui dasar-dasar penalaran akal.
- Mengetahui sisi deduksinya.
Sedangkan syarat-syarat terperinci bagi mujtahid sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama ushul adalah:
- Menguasai Bahasa Arab hingga tingkat di mana mujtahid mampu memahami kandungan al-Qur’an serta maksud-maksud sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
- Memahami dan mendalami ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an yang mencapai lima ratus ayat yang secara tegas menunjukkan pada sejumlah hukum.
- Benar-benar memahami sunnah Nabi serta ilmu-ilmunya, baik riwayah, maupun dirayah, sanad maupun matan, khususnya hadits-hadits ahkam yang terdapat dalam kitab-kitab shahih, kitab-kitab kumpulan hadits, kitab-kitab yang diperkirakan oleh sebagian ulama mencapai sekitar tiga ribu hadits.
- Mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khas; muthlaq dan muqayyad dalam ayat-ayat al-Qur’an serta sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
- Benar-benar memahami jiwa syari’at Islam dan tujuan-tujuannya hingga mujtahid memiliki kemampuan memadukan dan membandingkan antara nash-nash yang bermacam-macam yang kadang-kadang tampak berbeda atau bertentangan dalam satu masalah dan keluar dari masalah itu.
Syarat-syarat ini tampak sulit terpenuhi dalam diri ulama pada abad spesialisasi ilmu seperti sekarang ini, akan tetapi kemajuan tehnologi canggih berupa percetakan, dokumentasi, katalogisasi, dan koleksi literatur mempermudah masalah-masalah ijtihadiah bagi para ulama mujtahid di masa sekarang serta jauh lebih memungkinkan bagi mereka untuk dapat memenuhi syarat-syarat tersebut dari pada generasi masa lalu, sebelum ada kemajuan sarana dan prasarana kajian ilmiah.
Terdapat banyak faktor ijtihad dalam syari’ah Islam yang membuat ijtihad itu menjadi satu tuntutan hukum dan ketentuannya, di antaranya:
- Kekekalan syari’ah Islam untuk mengakhiri mata rantai risalah para rasul dengan risalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menuntut adanya ijtihad agar dapat memenuhi fungsinya untuk masa-masa yang berbeda. Sebab tanpa adanya ijtihad, aturan hukum yang ada hanya akan dapat diaplikasikan pada masa tertentu saja, tidak pada masa lainnya. Akibatnya timbul kejumudan dan tidak mampu menjawab tuntutan masa depan yang, sesuai dengan perkembangan, senantiasa berubah dan berganti dengan persoalan-persoalan baru.
- Keumuman sifat risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang pada gilirannya syari’ahnya berlaku bagi seluruh umat. Hal ini menuntut adanya ijtihad untuk menjawab tuntutan lingkungan yang berbeda dengan adat istiadat yang berlainan yang ada di negeri-negeri dan bangsa-bangsa yang berbeda.
- Timbulnya berbagai bid’ah –dengan menambah dan mengurangi– terhadap aturan-aturan syari’ah bersamaan dengan perjalanan masa, khususnya pada masa-masa lemah dan jumud, hal mana menuntut adanya ijtihad untuk menampilkan tujuan-tujuan aturan hukum syari’ah ini.
- Nash-nash hukum telah tuntas –dalam Kitab dan sunnah– sedangkan persoalan-persoalan hidup yang muncul di kalangan umat tidak berhenti, melainkan senantiasa berkembang dan membawa persoalan-persoalan baru sepanjang waktu dan tempat. Hal ini menunut perumusan hukum-hukum furu’ dengan meyimpulkan dari dasar-dasar ketentuan syari’ah, agar persoalan furu’iyyah baru ini tetap mendapat ketentuan penyelesaian hukum yang belum ada sebelumnya.
- Evolusi yang merupakan sunnatullah pada ciptaan-Nya: manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati, dan pemikiran, menuntut adanya ijtihad agar aturan-aturan hukum Islam berkembang lalu mengikuti perkembangan jaman dan menyambut tuntutan-tuntutannya di berbagai bidang kehidupan.
Landasan-landasan dalil yang menunjukkan keabsahan ijtihad dari al-Qur’an dan sunnah jumlahnya sangat banyak.
- Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang perbuatan akal dan penalarannya sebanyak 49 ayat.
- Ayat-ayat yang berbicara soal hati (qalb) yang di antara fungsinya adalah meresapi dan menghayati mencapai 132 ayat.
- Pembicaraan dalam al-Qur’ an tentang lubb (inti) yang berarti akal, sebab akal adalah inti dan hakikat manusia, terdapat di 16 tempat.
- Pembicaraan dalam al-Qur’an tentang nuha yang berarti akal, terdapat di 2 ayat.
- Pembicaraan tentang berfikir (tafkir) dalam al-Qur’an terdapat di 18 tempat.
- Pembicaraan tentang memahami (fiqh) dalam al-Qur’an terdapat di 20 tempat.
- Pembicaraan al-Qur’an tentang merenung (tadabbur) terdapat dalam 4 ayat.
- Pembicaraan tentang mengambil pelajaran (i’tibar) dalam al-Qur’an terdapat dalam 7 ayat.
- Pembicaraan al-Qur’an tentang hikmah terdapat dalam 19 ayat.
Semua ini membuat file ijtihad dalam al-Qur’an menjadi besar dan kaya. Hampir 300 ayat yang berbicara tentang perintah dan ajakan berijtihad.
Sedangkan sunnah nabawiyah yang memerintahkan dan mengajak berijtihad secara eksplisit maupun implisit juga banyak sekali sehingga sulit untuk dihitung secara pasti. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyerukan melakukan ijtihad dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an agar dapat menjangkau makna di balik ayat-ayat itu:
“Telaahlah al-Qur’an sesungguhnya di dalam al-Qur’an terdapat berita orang-orang terdahulu dan mutakhir.”
“Barangsiapa yang menginginkan ilmu maka hendaklah ia membaca al-Qur’an.”
Ketika mendoakan Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “Ya Allah perdalamlah pemahaman Ibnu Abbas dalam agama!” (Muslim dan Imam Ahmad)
Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darami dan Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk menjadi qadhi di sana, beliau bertanya: “Dengan apa kamu memutuskan perkara?” Dia menjawab: “Dengan Kitab Allah.” “Jika tidak ditemukan dalam kitab Allah, bagaimana?” Dia menjawab lagi: “Aku memutuskan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah,” “Jika tidak ditemukan contoh putusan Rasulullah, lalu dengan apa?” Dia menjawab: “Aku berijtihad dengan pendapatku.” Sampai di sini Rasulullah bersabda: “Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasul-Nya!”
Hadits ini memberi dorongan melakukan ijtihad hingga dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa mujtahid mendapat pahala atas ijtihadnya meskipun seandainya ijtihadnya itu belum benar. “Barang siapa yang melakukan ijtihad dengan pendapatnya lalu ijtihadnya itu benar maka ia mendapat dua pahala, tetapi jika ia salah (dalam ijtihadnya) ia mendapat satu pahala.” (Bukhari, an-Nasai, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad).
Hukum ijtihad dapat menjadi fardhu ‘ain, dapat pula fardhu kifayah, dan dapat menjadi mandub (sunat), sesuai dengan kedudukan ijtihad dan kebutuhan serta hukum yang dirumuskan oleh mujtahid melalui ijtihad dan keterkaitan hukum ini dengan diri mujtahid atau orang lain. Bidang ijtihad adalah hal-hal yang tidak diketahui secara pasti dalam Agama yang telah disepakati oleh umat berupa syara’ yang jelas yang ditetapkan dengan nash-nash yang ditetapkan dengan nash-nash qath ‘i.
Tingkat-tingkat mujtahid ada tiga:
Pertama: Tingkat mujtahid mutlak, yaitu yang merumuskan kesimpulan hukum dari kitab dan sunnah secara langsung.
Kedua: Tingkat mujtahid madzhab, yaitu mujtahid yang merumuskan kesimpulan hukum dari qaidah-qaidah yang dipegang oleh madzhabnya.
Ketiga: Tingkat mujtahid fatwa, yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat imam madzhabnya.
Menurut pendapat yang berlaku dalam kajian ijtihad –dalam peradaban Islam– tidak ada masa yang boleh kosong dari orang-orang yang melakukan kewajiban ijtihad. Imam Suyuthi (1445-1505) menulis kitab “Ar Radd ‘ala Man Akhlada ila Al Ardh wa Jahila anna ijtihad fi Kulli ‘Ashr Fardh” dalam muqaddimahnya mengemukakan: “Orang-orang telah diselimuti ketidaktahuan secara merata, telah dibutakan dan diberangus oleh rasa senang bersitegang urat leher, lalu memperbesar tuduhan terhadap ijtihad dan memandangnya sebagai satu kemungkaran di tengah masyarakat. Mereka tidak merasa bahwa ijtihad adalah satu kewajiban kolektif pada setiap masa, dan kewajiban atas generasi setiap masa agar dilakukan oleh sekelompok ulama di setiap negeri.”
Akan tetapi yang terjadi pada ijtihad sepanjang perjalanan peradaban kita bahwa bidang-bidang kreativitas intelektual Islam dalam pemikiran Islam telah mengalami kekeringan sehingga karya-karya pemikirannya menyusut. Sejak kekuasaan Umaiyah mengekang filsafat syura, kreativitas dan ijtihad umat berkurang secara drastis dalam bidang fiqih kenegaraan dan pemikiran politik yang membatasi wewenang dan ketentuan-ketentuan hubungan antara penguasa dan rakyat, sementara kreativitas dan ijtihad di bidang-bidang lain tumbuh dengan pesat.
Ketika ancaman eksternal –Mongol maupun kaum salibis– terus berlanjut dan negeri-negeri Muslim di bawah kekuasaan Mamalik yang mewakili kekuatan Islam untuk mempertahankan diri dari ancaman eksternal ini mengambil kebijakan mengangkat klin mereka pada posisi-posisi penting, khususnya pada era pemerintahan Islam Jengis Khan (1167-1227 M), militerisme dijadikan model, sehingga fiqih muamalat Islam mengalami kemunduran, yang pada gilirannya kreativitas pemikir dan ijtihad menjadi mandul. Kondisi inilah yang menimbulkan anggapan bahwa pintu ijtihad telah ditutup, hingga tiba era modern dan yang kita miliki adalah kekayaan fiqih ibadat serta simbol-simbol agama dibarengi dengan kemiskinan parah dalam bidang fiqih muamalat dan pemikiran politik yang diperlukan untuk mengikuti realitas baru dan persoalan-persoalan yang muncul yang sebenarnya menuntut pemecahan melalui ijtihad dalam persoalan-persoalan fiqih “realitas” –politik, ekonomi, dan sosial– dalam rangka merumuskan, mewarnai dan mengendalikan persoalan-persoalan itu dengan acuan syari’ah Islam.
Dengan kompleksitas realitas baru dan keragaman cabang ilmu syari’ah serta perbedaan berbagai disiplin ilmu serta spesialisasinya, maka tuntutan akan ijtihad kolektif terpadu barangkali merupakan bentuk yang paling cocok untuk masa sekarang ini.[1]
[1] Lihat Rifa’ah Ath Thanthawi, Al Qaul Ash Shadiq fi Al Ijtihad wa At Taqlid, ed. DR. Muhammad ‘Immarah, Beirut 1981. Juga Dairah al-Ma’arif — entry: al-Ijtihad, DR. Subhi ash-Shalih, Beirut 1957.