Pendahuluan
Ditilik dari peninjauan aliran ruhani dan tamaddun, adalah zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Khulafaur Rasyidin satu zaman yang tenang dan aman sentosa. Zaman keimanan yang sederhana dan suci murni, yang telah menerbitkan satu kekuatan yang positif, keberanianyang tahan uji dalam sanubari tentara Allah yang mu’min.
Keteguhan dan ketegasan Khalifah-khalifah memegang kemudi, keberanian ribuan lasykar yang menyerbu kemedan peperangan, menentang musuh yang lebih besar berlipat ganda, keberanian yang terbit dari tawakal yang tak bergoyang, semua itu berdasar kepada kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tak ada satupun yang mungkin menimpa kita, selain dari pada apa yang telah ditetapkan Allah untuk kita. Dia itu Pengawas kita dan kepada Allahlah orang yang beriman harus tawakal”. (QS At Taubah: 51).
Maka dari tawakal yang demikianlah telah lahir satu kekuatan beramal (daadkrakht) pada sisi kaum Muslimin yang Maha Hebat dan menggemparkan dunia. Di zaman itu tak ada kesempatan untuk bermenung bersemadi, tak ada waktu untuk munadzarah, berbalasan hujah.
Akan tetapi kemudian, dalam pertukaran zaman Khulafaur Rrasyidin dengan zaman Mu’awiyah, maka sanubari kaum Muslimin yang tadinya ibarat satu telaga yang hening dan tenang, mulailah beriak, berombak, kemudian bergelombang dengan hebatnya seakan-akan diembus oleh angin gerakan ruhani, yang makin lama makin keras dan kencang juga.
Masalah “Qadha” dan “dadar” mulai mengguncangkan fikiran kaum Muslimin. Timbul pula masalah “khalifah”, yang menyebabkan berdirinya bermacam firqah, yang masing-masingnya mendasarkan cita-cita politik mereka kepada salah satu keyakinan yang bersifat falsafah dan keagamaan.
Pergaulan yang lebih rapat antara kaum Muslimin dan kaum Nasrani dizaman Bani Umaiyah tidak kurang pula meninggalkan ta’tsir (bekas) dalam aliran fikiran kaum Muslimin, dongan berupa pembahasaan bermacam masalah yang berhubung dengan aqaid dan ketuhanan. Pada permulaan abad ke 2 Hijrah, mulailah timbul satu aliran ruhani yang dikerahkan oleh satu mazhab yang terkenal dengan nama Mu’tazilah, didirikan oleh Washil bin ‘Atha’, yang lahir tahun 80 Hijrah, murid dari seorang ulama yang masyhur: Hasan Basri.
Melihat kepada cara-cara dan hujah mereka dalam membahas masalah-masalah ketuhanan (ilmu kalam) pernah muarrikhin Barat menggelarkanmereka dengan “Rationalisten” dalam Islam, malahan ada yang menambahkan “Freidenker im Islam” (H. Steiner).
Sebagaimana tiap-tiap aksi, berjumpa dengan reaksi, demikian pulalah aliran fikiran ini mendapat tantangan yang keras pula dari kalangan ulama yang teguh berpegang kepada Quran dan Sunnah semata-mata. Terjadilah perjuangan yang amat sengit dalam lapangan ruhani, yang tidak kurang pula meminta kurban yang bukan sedikit, sampai permulaan abad ke-4 Hijrah. Pada permulaan abad ke-4 ini datanglah Imam Al-As y’ari yang telah mendalami kedua mazhab tersebut, dan mencoba mengetengahi perjuangan ruhani itu dengan mendirikan suatu mazhab yang “menengah.”
Apabila kaum Mu’tazilah berpegang teguh kepada akal yang merdeka, dan mazhab Ahlus Sunnah menundukkan semua paham dan keyakinan kepada Quran dan Sunnah Nabi semata-mata dengan hampir tidak memberi tempat kepada akal untuk menafsirkan dan memahamkannya, — maka disamping itu berdirilah satu aliran yang ketiga, yakni yang tidak puas dengan keterangan Quran dan Sunnah sebagaimana yang lahir itu saja, tapi tidak pula hendak memberi kemerdekaan kepada akal sebagai alat penjari kebenaran, akan tetapi menundukkan semua gerak-gerik ruhani dan jasmani mereka kepada perasaan yang khusyu dan rindu kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Aliran yang ketiga ini, ialah yang dituruti oleh ahli tasauf, yamg semakin lama semakin banyak cabang dan carangnya dan semakin jauh pula dari pokok yang asal. Di sinipun tak kurang pula berlakunya perjuangan yang sengit. Apabila Imam Al-Asy’ari boleh dipandang sebagai “pendamai” mazhab Mu’tazilah dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka adalah Imam Ghazali (lk. 1111 M.) kemudian, yang mendapat gelaran “Hujatul Islam”, mempertemukan kembali ahli tasauf dengan Ahlis Sunnah wal jama’ah.
Dalam pada itu, di zaman itu pulalah (lk. 750 sampai lk. 1000 M.) kaum Muslimin belajar kenal dengan hasil tamaddun bangsa-bangsa lain sebagai bangsa Yunani, India, Persia dan lain-lain. Maka berdirilah pula beberapa putera Islam yang mempelajari, membahas dan meneruskan penyelidikan dalam lingkungan falsafah bangsa tersebut, dimulai oleh Al-Kindi, diteruskan oleh Al-Farabi, dilengkapkan pula oleh Ibnu Sina.
Syahdan, setelah Imam Ghazali menyiarkan kitabnya yang masyhur dengan nama Tahafutul Falasifah (Kesesatan Ahli Falsafah) seakan-akan terhentilah kegiatan perjuangan ruhani dalam dunia Islam disebelah Masyrik, berpindah kearah Maghvib. Ibnu Bjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd berdiri digelanggang falsafah, Muhyiddin Ibnu Atabi, dll. berdiri dikalangan tasauf, Ibnu Hazmin berdiri tegap mempertahankan kesucian Islam dari bermacam paham dari luar, baikpun dari agama Nasrani dan Yahudi, atupun dari buah khayal tasauf yang berlebih-lebihan, begitupun dari falsafah yang tak mungkin sesuai dengan acaran Islam.
Di sini bukan maksud kita hendak menuruti langkah semua aliran dan mazhab itu. Kita terangkan sebagai pendahuluan sekedar menggambarkan betapa suburnya kehidupan ruhani dalam dunia Islam pada zaman keemasannya itu.
Tiap-tiap seseorang yang mengecap buah kalam pujangga-pujangga Muslimin dari salah satu gelanggang perjuangan tersebut (yang manapun juga), tidak boleh tidak akan merasa ta’jub dan akan terharu melihatkan kesungguhan mereka meneruskan langkah ‘dalam arah yang telah mereka pilih, dan betapa beraninya mereka menerima semua natijah (konsekwensi) dari mazhab mereka masing-masing. Pendirian yang bersifat hambar, panas-tidak, dingin-tak-tentu amat asing pada sisi mereka.
Mereka bentangkan paham dan keyakinan mereka supaya diketahui orang, mereka pertahankan dengan sekuat-kuatnya bila mendapat bantahan. Maka dalam perjuangan yang begitu sengit itu mereka mendapat kekalahan atau kemenangan. Dan tak kurang pula yang menjadi kurban. Tak kurang pula paham yang tertolak lantaran kenyataan keliru. Begitupun tak kurang pula keyakinan dan paham yang berdiri teguh diperpegangi oleh kawan dan diterima oleh lawan lantaran terbukti kebenarannya. Dan hasil dari semua perjuangan itu ialah kekuatan dan ketajaman ruhani yang sukar pula dicari tandingannya dalam secarah tamaddun dan kebudayaan sampai sekarang.
“Der Zusammenstoss der Geistesstromungenfordert und kraftigt ias geistige Leben”, kata Von Kremer dalam kitabnya: “Geskhikhte der Herrskhenden Ideen des Islams.” — “Pertempuran bermacam-macam iliran paham dan keyakinan itu memajukan dan memperkokoh kehidupan ruhani.”
Maka adalah mazhab falsafah Agama Islam yang hendak kita perbinjangkan dibawah ini, menduduki satu tempat yang tertentu pula dalam gelanggang perjuangan ruhani dalam abad keemasan kaum Muslimin tersebut. Hampir semua lapangan mereka jejak, dari falsafah kepada tasauf, dari ilmu kalam sampai kepada ilmu alam.
Ikhwanus Shafa’
Pada pertengahan abad ke-4 H. kira-kira bersamaan dengan zaman Al Farabi adalah satu kumpulan ahli falsafah di negeri Basrah yang bernama “Ikhwanus-Shafa”‘, artinya “Persaudaraan-Kesucian” yang telah meninggalkan bekas yang amat berharga dalam riwayat kebudayaan Islam. Berhadapan dengan reaksi yang amat keras dari pihak yang berkuasa dimasa itu, yang tidak setuju dengan beberapa dari pada i’tikad mereka, maka Ikhwanus Shafa’ ini terpaksa bekerja dengan rahasia, berkumpul dengan diam-diam memperbincangkan falsafah dengan bermacam cabang dan caranya, baikpun falsafah dari Yunani, ataupun dari Persia dan India, sehingga mereka mendirikan satu mazhab tersendiri. Dari anggota-anggota perkumpulan-rahasia ini lima orang yang lebih terkenal yakni:
- Abu Sulaiman Muhammad bin Mu’syir Al Busti Al-Muqaddasi
- Abul Hasan ‘Ali bin Harun Az-Zanjabi.
- Abu Ahmad Al Mihrajani.
- ‘Aufi.
- Zaid bin Rifa’ah.
Seperti juga halnya dengan filosof Al-Kindi, perkumpulan Ikhwanus Shafa’ ini amat giat mengumpulkan dan menyusun semua ilmu yang ada di zaman itu dengan berupa ensiklopedia.
Kesimpulan asas mazhab mereka, ialah: “Bahwa syariat Agama Islam yang suci itu pada zaman mereka, sudah dimasuki oleh kejahilan bercampur dengan kekeliruan orang-orang Islam sendiri; dan yang sebaikbaik jalan —menurut pandangan mereka — untuk memakamkan ajaran-ajaran Islam yang asli, ialah dengan/perantaraan falsafah. (Tarikh Falasifatil Islam: hal. 253).
“Organisasi” Ikhwanus Shafa’
Persaudaraan tersebut diwajibkan berkumpul pada majelis yang tertutup, tidak boleh dihadiri oleh yang bukan menjadi “anggota.”
Dalam majelis-majelis yang demikianlah mereka membahas dan mengupas segala macam ilmu yang mungkin mereka capai di zaman itu, dengan tidak membatas-batasi apa macamnya ilmu dan sifatnya ilmu itu.
Dari ilmu alam-maddah yang terbentang luas dengan segala macam dan warnanya sampai kepada ilmu ketuhanan, dari ilmu akhlak sampai keilmu falak dari mantik, falsafah sampai kepermenungan tasauf.
Pun sumber-sumber tempat mengambil pengetahuan tersebut, tidak pula mereka batasi; dari kitab-kitab hikmah dan falsafah Yunani, India dan Persia; dari “kitab” alam-maddah yang terbentang luas dengan beraneka macam dan warnanya dihadapan-dikeliling tiap-tiap seorang yang suka “membaca”nya, dari Wahyu Ilahi dan Sabda Pesuruhnya yang telah diturunkan oleh Yang Maha-mengetahui dan Maha-hakim; dari ilham yang suci, yang tidak dikurniakan Ilahi melainkan hanya kepada ruhani-ruhai yang murni dan kudus dari hamba-hamba-Nya.
Semua anggota dilarang menjauhi ilmu, atau salah satu dari ilmu, lantaran merasa sudah dalam ilmu didada; dilarang menolak salah satu kitab, lantaran merasa sudah banyak kitab yang dibacja; dilarang berta’assub kepada salah satu mazhab, lantaran hanya itu yang sesuai dengan kehendak hati; dilarang memutuskan salah satu hukum atas sesuatu hal, bila hanya didasarkan kepada pendengaran dari jauh atau penglihatan sepintas lalu….
Syarat Masuk
Bukan mudah masuk menjadi anggota Ikhwan itu. Dilihat benar dulu sifat dan tabiat yang akan menjadi “saudara” itu, diselidiki akhlak dan ‘itikadnya. Dengarkanlah sebagian dari peraturan (instruksi) yang diberikan kepada “saudara-saudara” yang telah berada dalam ikatan persaudaraan tersebut.
“Ketahuilah, bahwa yang seburuk-buruk pergaulan, ialah bergaul dengan orang yang tak perjaya kepada Yaumil Hisab, dan sejahat-jahat akhlak ialah ketakaburan iblis, hawa nafsu Adam dan kedengkian Kabil. Yang demikian itu adalah pokok semua ma’siat… Maka haruslah, bilamana engkau hendak mengambil seorang sahabat atau saudara, engkau banding dan periksa ia lebih dahulu, ibarat engkau menderingkan dirham dan dinar, sebelum engkau menerimanya.”
Pada beberapa tempat dalam instruksi itu terbayang juga pertentangan yang hebat antara mereka dengan ulama-ulama yang tidak sepaham:
.”..Dan ketahuilah, bahwa di dunia ini ada beberapa kaum yang menyerupai ahli ilmu dan menyerupai ahli agama; akan tetapi tidak ada falsafah dan hikmah yang mereka ketahui; tak ada aqaid dan syariat yang mereka dalami; dalam pada itu mereka mendakwakan diri mereka mengetahui akan hakikat tiap-tiap sesuatu. Mereka mendalami rahasia barang-barang yang jauh-jauh padahal mereka tidak mengetahui seluk-beluk diri mereka sendiri yang lebih hampir pada sisi mereka, tidak mereka sanggup memperbandingkan barang-barang yang terang dan jelas, tidak mereka memikirkan barang-barang yang nyata di keliling mereka, yang dapat dialami oleh panca-indera dan dapat dicapai dengan akal. Dalam pada itu mereka berputih mata memandang kepada barang yang kecil-kecil yang tak ada artinya. Maka, singkirilah mereka itu, wahai saudaraku, lantaran mereka itulah “Kaum Dajal.” (Tidak Falasifatil Islam: hal. 260).
Seruan kepada Pemuda
Sungguhpun perkumpulan Ikhwanus Shafa’ ini bekerja dengan diam-diam, dan mengadakan satu disiplin yang keras antara anggota-anggotanya tidaklah dapat disamakan sikap mereka dengan sikap perkumpulan-perkumpulan tarikat yang kerap kali mengasingkan diri dari pergaulan hidup, memutuskan perhubungan sama-sekali dengan kehidupan dunia. Ikhwanus Shafa’ tetap memperhubungkan diri dengan semua hal-ihwal keduniaan, berciita-cita dan berhimmah yang besar memperbaiki nasib sesama manusia. Dengarkan pula sedikit seruan “Saudara-saudara” yang terhormat itu kepada pemuda-pemuda, angkatan baru di zaman mereka:
.”..Oleh karena itu, wahai Saudara-saudara, janganlah engkau menghabiskan masa dengan mencoba memerbaiki keadaan mereka yang telah tua bangka, yang tak ada berkodrat lagi itu. Mereka mempunyai keyakinan, bahwa dari pihak golongan pemuda tak ada yang akan terdengar, melainkan hanya pemandangan-pemandangan yang merusak, kelakuan yang jahat, akhlak yang keji. Mereka itu akan menyusahkan pekerjaanmu, akan tetapi mereka tidak akan berubah menjadi baik. Akan tetapi, atas pundakmulah terletaknya satu kewajiban, yakni untuk membuktikan bahwa sesunggungnyalah engkau ini seorang pemuda bersanubari suci dan sehat. Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnyalah Allah tidak mengutus akan Nabi-Nya melainkan waktu dia bersemangat dan bertenaga muda belia.
Dengarkanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al Kahfi, tentang pemuda-pemuda yang beriman teguh, dan membawa perubahan baik bagi kaumnya: “Sesungguhnya mereka adalah segolongan pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka; dan Kami tambah pemberian hidayah kepada mereka…” (QS Al-Kahfi: 13),
dan dalam surat Al-Anbiya’:
“Mereka berkata: “Kami mendengar seorang pemuda yang mencela (patung-patung) itu yang dipanggil orang dia dengan nama Ibrahim…” (QS Al-Anbiya’: 60).”
Demikian seruan ahli-ahli falsafah ini terhadap pemuda-pemuda mereka di abad ke 10. Akan tetapi, mudah-mudahan masih “modern” terdengarnya seruan itu bagi pemuda-pemuda kita, angkatan-baru dalam abad ke 20 ini!
Buah Kalam Mereka
Tidak kurang dari 52 risalah besar-kecil yang telah mereka susun, yang mereka namai: “Rasail Ikhwanus Shafa’.” sedangkan nama pengarang dari masing-masing kitab itu, mereka rahasiakan. Adapun masalah-masalah yang mereka perbincangkan itu, dapat dibagi atas empat bagian besar:
1) 14 risalah tentang matematik dan yang berhubung dengan itu.
2) 17 risalah tentang ilmu alam dan yang berhubung dengan itu.
3) 10 risalah tentang ilmu jiwa (psykhologi) dan yang berhubung dengan itu.
4) 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan (metafisika) dan yang berhubung dengan itu.
Mikrokosmos dan Makrokosmos
Perbandingan dan perhubungan antara manusia dan alam sekelilingnya adalah satu masalah yang pernah menjadi pokok pembahasan oleh filosof-filosof Yunani terkenal dengan nama: “mikrokosmos dan makrokosmos”, dan yang bertemu pula kembali pada filosof Islam Ibnu Sina, yang pernah berkata:
“Sesungguhnya dalam diri manusia itu terkandung alam yang besar.” Ikhwanus Shafa’ memperbincangkan masalah ini dalam satu risalah mereka yang bernama: “Risalah yang menerangkan apamana kata ahli hikmah bahwa alam itu ialah satu manusia yang besar.”
Penulis risalah tersebut antara lain berkata:
“Adapun yang dimaksud oleh mereka hukama itu, dengan alam, ialah langit dan bumi dan semua yang ada diantara keduanya. Mereka berpendapat bahwa diantara semua bagian-bagian alam tersebut ada perhubungan yang rapat, malah berjalin-berkelindan antara satu dengan yang lain. Semua mempunyai semangat yang satu, yang masuk meresap ke dalam semua bagian, dari yang terbesar sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Segala pergerakan dan perubahan yang berlaku dalam alam cakrawala yang Mahabesar itu bertemu pula “gambar” dan tamsilnya dalam “alam shaghir”, yakni dalam diri seseorang manusia.” Wallahu a’lam bish shawab!
Maka kira-kira 900 tahun sesudah Ikhwanus Shafa’ memperbincangkan masalah ini, bangunlah seorang filosof Barat yakni Herbert Spencer (1820-1903) yang membentangkan ontwikkelings theorie-nya yang terkenal, yang menunjukkan persamaan yang ada antara sejarah jalan kemajuan yang harus ditempuh oleh seorang manusia (jasmani ataupun ruhaninya) dengan tingkat-tingkat perubahan yang harus ditempuh oleh manusia seumumnya. Ya, oleh tiap-tiap bagian dari cakrawala yang mengelilinginya.
Teori yang dikemukakan oleh Spencer ini adalah satu penciptaan yang amat gemerlapan menurut penghargaan ahli falsafah Barat sekarang.[1]
“Wij kunnen thans wel zeggen, dat op skhier geen enkel weten skhappelijk terrein de evolutionistiskhe gedakhte zonder invloed is gebleven.” “Dapatlah kita katakan sekarang, bahwa tak ada satupun lapangan wetenskhap yang tidak mendapat pengaruh dari kaedah evolusi (Spencer) ini,” kata Prof. Casimir selanjutnya.[2]
Kita sekali-kali tidak hendak mengurangkan penghargaan terhadap kepada pujangga Barat Spencer. Hanya kita hendak mengemukakan bahwa, alangkah pantasnya, bila di waktu orang menghormati dan menghargai jasa filosof Barat ini, tidak dilupakan pula buah usaha beberapa “Ikhwan”, 9 abad yang silam yang tak suka dikenal orang namanya itu. Kalau tidak selaku “satu penciptaan yang gemerlapan”, sekurang-kurangnya selaku satu kaitan dari rantai yang panjang yang telah dilalui oleh evolutie-gedakhte ini, dari zaman bertukar masa, sampai menjelma dalam abad ke 19, khabarnya konon sebagai “de skhitterendste skhepping van Herbert Spencer.”
Dengan rencana yang pendek ini, sekali-kali penulis tidak mengatakan bahwa ia telah merasa memberi gambar yang lengkap dan wetenskhappelijk dari usaha-usaha Ikhwanus Shafa’ tersebut. Tidak ! — Yang dimaksud tidak lebih dari memanggil minat yang pertama dari pihak Pemuda Muslimin Angkatan-Baru terhadap kepada kegiatan Muslimin dahulu kala di zaman keemasan itu, di lapangan ruhani.
Bagi mereka ini kita ulangkan sebagai penutup, seruan Ikhwanus- Shafa’ kepada Pemuda Islam: “Buktikanlah, bahwa kamu ada mempunyai kebatinan yang teguh dan sehat.”[3]
Darul Manar
Mei 1939
[1] De skhitterendste skhepping van Spencer.”.. (Prof. R. Casimir: Beknopte Geskhiedenis der Wiysbegeerte, pag. 207,1932, jetakan kedua).
[2] Ibid. pag. 212.
[3] Bagi mereka yang hendak menyelidiki lebih dalam tentang Ikhwanus Shafa’ ini dipersilakan memeriksa, a.l.:
- Muhammad Luthfi Jum’ah: “Tarikh Falasifatil Islam.”
- C. Brockelmann: “Geskhikhte der Arabiskhen Litteratur.”
- V. Carra de Vaux: “Les Penseurs de l’Islam.”
- F. Dieterid: “Die Philosophie der Araber im X Yahrh..”
- Syahrastani: “Al-Milal wan-Nihal” atau terjemahannya: “Religionspartheien und Phllosophen.”
- Von Klemer: “Die herrskhenden Ideen des Islams.”