Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil

  • Al Jarh secara bahasa: isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah. Atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang.[1]
  • Al Jarh menurut istilah: yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya  dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
  • At Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
  • Al ‘Adlu secara bahasa: apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari durhaka, dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima, dan At Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.
  • Al ‘Adlu menurut istilah: orang yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits[2]
  • At Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.

Dan atas dasar ini, maka ilmu Al Jarh wa At Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.[3]

Pensyariatan Al Jarh wa At Ta’dil

Para ulama menganjurkan untuk melakukan Jarh dan ta’dil dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang berdasarkan dalil-dalil berikut ini, antara lain:

1. Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang laki-laki,

(Dia) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya.”[4]

2. Sabda beliau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abi Al Jahm yang tengah melamarnya, “Adapun Abu Jahm dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta.”[5]

Perkataan Rasulullah ini meskipun konteksnya sebagai saran dalam kasus pribadi sesorang, namun menunjukkan dibolehkannya mencela kepada orang-orang yang lemah guna menjelaskan keadaan mereka, dan menampakkan cela dalam perkara yang berkenaan dengan halal dan haram –yaitu hadits- lebih utama daripada menjelaskan cela dalam konteks memberi saran tertentu.

Dan dalam ta’dil, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik hamba Allah Khalid bin Walid, salah satu pedang di antara pedang-pedang Allah.”[6]

Dan oleh karena itu, para ulama membolehkan Al Jarh wa At Ta’dil guna menjaga syariat/ agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga dibolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.

Perkembangan Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil

Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinukil dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah kami sebutkan tadi. Lalu menjadi banyak dari para sahabat, tabi’in, dan orang setelah mereka, karena takut terjadi seperti apa yang diperingatkan oleh Rasulullah, sebagaimana sabdanya,

“Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka.”[7]

Dari Yahya bin Sa’id AL Qathhan dia berkata, “Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats Tsaury, Syu’bah dan Malik serta Sufyan ibn ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits, lalu seseorang dating kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata, mereka berkata,”Kabarkan tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat.”[8]

Dari Abu Ishaq Al Fazary dia berkata, “Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka.”[9]

Dari Bisyr bin Umar dia berkata, “Aku telah bertanya kepada Malik bin Anas tentang Muhammad bin Abdurrahman yang meriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib, maka dia berkata, “Dia tidak tsiqah, dan aku bertanya kepadanya tentang shahih budak At Tauamah, dia berkata, “Tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentang Abu Al Khuwairits, maka dia berkata, “Tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentang Syu’bah yang telah meriwayatkan daripadanya Ibnu Abi Dzi’b, maka dia berkata, “Dia tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentang Haram bin Utsman, maka dia berkata, “Dia tidak tsiqah.”[10]

Dan dari Syu’bah dari Yunus bin ‘Ubaid dia berkata, “Adalah Amr bin ‘Ubaid dia berdusta dalam hadits.”

Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama yang berpengalaman yang dikaruniakan oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnu Al Mubarak, “(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?” dia berkata, “Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya.”

Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenanya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan ke’adilanan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertakwa hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu, karena melalaikan itu semua akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam.

Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al Qathhan,”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?” dia berkata, “Mereka menjadi musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata, ‘Mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?’”[11]


[1] Lisan Al Arab, kosa kata “Jaraha”

[2] Yaitu: Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan

[3] Ushul Al Hadits, hal 260, Muqaddimah Kitab Al Jarh wa At Ta’dil, 3/1

[4] HR Bukhari

[5] HR Muslim

[6] HR Imam Ahmad dan At Tirmidzi dari Abu Hurairah

[7] Muqaddimah Shahih Muslim

[8] Muqaddimah Shahih Muslim

[9]Baqiyyah bin Al Walid banyak melakukan tadlis dari para dhu’afa

Dari Bisyr bin Umar

[10] Shalih budak At Tauamah adalah Shalih bin Nabhan Al Madini, dan Abu Al Huwairits Ar Zarqa namanya adalah Abdurrahman bin Mu’awiyah, dan Syu’bah adalah Ibnu Dinar Al Hasyimi

[11][11] Al Kifayah hal 144

About Redaktur

https://slotjitu.id/ https://adslotgacor.com https://adslotgacor.com/bandar-togel-online-4d-hadiah-10-juta https://linkslotjitu.com/ https://slotgacor77.id https://slotjudi4d.org/slot-gacor-gampang-menang https://slotjudi4d.org/ https://togelsgp2023.com https://s017.top https://slotjitugacor.com/