Ilmu Hadits: Pertumbuhan, Perkembangan, dan Pengenalan akan Keduanya (1)

Umat Islam sangat memperhatikan hadits Nabi baik secara periwayatan, penghafalan, dan pengkajian, sehingga terpelihara warisan agama ini sebagai sumber kedua setelah Al Quran. Ada dua hal pokok yang mendasari semua itu.

Pertama: Dorongan Agama

Bahwasanya umat manusia memperhatikan warisan pemikiran yang dapat menyentuh dan membangkitkan kehidupan mereka, memenuhi kecintaan hati mereka, menjadi pijakan kebangkitan mereka, lalu mereka terdorong untuk menanamkannya pada anak –anak mereka agar menjadi orang yang memahaminya, hingga warisan itu selalu hadir di hadapan mereka, membimbing langkah dan jalan mereka.

Jika umat lain begitu perhatian terhadap warisan pemikiran mereka, maka umat yang menganut agama Islam dan mengikuti risalah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara periwayatan, menukil, hafalan, dan menyampaikannya, serta mengamalkan isinya, karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini tiada berarti tanpa agama. Oleh karenanya Allah mewajibkan dalam agama untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, menjalani semua apa yang dibawa beliau, dan meneladani kehidupannya. Allah Ta’ala berfirman,

“Maka demi tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa: 65)

Kedua: Dorongan Sejarah

Dalam sejarah, umat manusia banyak dihadapkan pada pertentangan dan halangan sehingga mendorong untuk menjaga warisan mereka dari penyusupan yang menyebabkan terjadinya fitnah dan saling bermusuhan, dan tipu muslihat.

Dan umat Islam yang telah merobohkan pilar kemusyrikan, dan mendobrak benteng Romawi dan Persia, menghadapi musuh-musuh bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak pada kekuatan agamanya, dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu sendiri, dan salah jalannya adalah pemalsuan terhadap hadits, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka dapat menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan terhadapnya sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan. Dan di antara aturan-aturan yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:

1.Mengurangi periwayatan dari Rasulullah:

Mereka khawatir dengan banyaknya riwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan akan mendapatkan ancaman yang sangat keras. Mereka juga khawatir dengan memperbanyak ancaman yang sangat keras. Mereka juga khawatir dengan memperbanyak ancaman yang sangat keras. Mereka juga khawatir dengan memperbanyak periwayatan akan menyibukkan manusia terhadap As Sunnah dan berpaling dari Al Quran.

Adalah Umar bin Al Khattab menolak dan mengingkari terhadap orang yang banyak meriwayatkan hadits. Dikatakan kepada Abu Hurairah sahabat yang terbanyak dalam periwayatan hadits, “Apakah Anda meriwayatkan hadits pada masa Umar seperti demikian?” Dia berkata, “Sekiranya aku meriwayatkan hadits pada masa Umar sebagaimana aku menceritakan hadits pada masa Umar sebagaimana aku menceritakan hadits kepada kalian sekarang ini tentu dia akan memukulku dengan cambukan.”[1]

Sebagian mereka setelah meriwayatkan hadits banyak yang mengatakan dengan kalimat: “Atau yang seperti ini,” atau “sebagaimana sabda beliau”, atau “serupa dengan itu”. Mereka seringkali gemetar dan rona wajah mereka berubah ketika meriwayatkan sesuatu dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Itu adalah semua karena sikap wara’ dan penghormatan mereka terhadap hadits beliau.

Dari Amru bin Maimun, ia berkata, “Aku selalu menghadiri majelis Ibnu Mas’ud pada hari Kamis malam dan tidak pernah tidak datang. Aku belum pernah mendengarnya mengatakan sekalipun, ‘Rasulullah bersabda…’. Dan ketika suatu malam dia berkata, ‘Rasulullah bersabda…’  Maka dia lalu menundukkan (kepalanya). Maka aku melihat kepadanya, dia berdiri sambil menguraikan sarung bajunya, matanya basah, dan urat lehernya mengembang, lalu dia berkata, “atau kurang dari itu, atau lebih dari itu, atau mendekati itu, atau mirip dengannya.”[2]

Dari Muhammad bin Sirin berkata, bahwa Anas bin Malik bila selesai menceritakan hadits dari Rasulullah selalu berkata, “Atau sebagaimana sabda Rasulullah.”[3]

2.Ketelitian dalam Periwayatan

Al Hafizh Adz Dzahabi berkata, “Abu Bakar adalah orang yang paling berhati-hati dalam menerima hadits. Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab dari Qubaish bin Dzu’aib bahwasanya ada seorang nenek datang kepada Abu Bakar agar mendapatkan bagian warisan. Maka dia berkata, ‘Aku tidak mendapatkan bagianmu sedikit pun dalam Al Quran, dan aku tidak pernah mengetahui Rasulullah menyebutkan hal itu, ‘kemudian dia menanyakan kepada para sahabat. Mughirah berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah memberikan bagian seperenam.’ Abu Bakar bertanya, Apakah ada orang lain bersamamu? ‘Lalu Muhammad bin Maslamah bersaksi seperti itu. Kemudian Abu Bakar menjalankan dan memberikan bagian kepada nenek tersebut.”[4]

Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata, “Aku berada dalam salah satu majelis kaum Anshar. Tiba-tiba datang Abu Musa seakan-akan sedang ketakutan. Lalu berkata,’Aku telah meminta izin bertamu kepada Umar sebanyak tiga kali tapi tidak dijawab maka aku kembali. Lalu aku kembali lagi, dan dia berkata, ‘Apa yang menghalangimu?’ Maka aku menjawab, ‘Aku telah minta izin bertamu sebanyak tiga kali tapi tidak dijawab, maka aku kembali. Dan Rasulullah telah bersabda, ‘Apabila salah satu di antara kalian minta izin 3 kali dan tidak diizinkna maka kembalilah.’ Umar berkata, ‘Demi Allah kamu harus memberikan kesaksian apakah ada di antara kalian ada yang mendengar dari Rasulullah?’ Ubay bin Ka’ab berkata, ‘Demi Allah, tidak ada yang membuktikannya bersamamu melainkan seorang yang paling muda usianya,’ dan akulah (Abu Sa’id) yang termuda di situ, maka aku pun ikut bersamanya, lalu aku beritahukan kepada Umar bahwa memang Nabi berkata demikian. Maka Umar berkata kepada Abu Musa, ‘Aku bukanlah menuduhmu, akan tetapi kekhawatiranku kepada orang akan berdusta atas nama Rasulullah’.”[5]

Hal ini bukanlah berarti bahwa para sahabat mensyaratkan untuk diterimanya hadits harus diriwayatkan oleh dua orang atau lebih, atau dengan adanya saksi terhadap seorang perawi. Akan tetapi hal ini menerangkan adanya ketelitian dan kewaspadaan para sahabat dalam menerima riwayat karena khawatir terjadi kesalahan dalam periwayatan. Di samping itu juga untuk mendorong kepada ketepatan hafalan dan ketelitian, serta untuk menjaga agama sehingga tidak ada seorang pun yang berkata-kata terhadap Rasulullah dari apa yang tidak beliau ucapkan. Hal ini dinyatakan pada bagian akhir kisah tersebut: “Aku bukanlah menuduhmu, akan tetapi kekhawatiranku kepada orang akan berdusta atas nama Rasulullah.”

Beberapa bukti dan saksi menunjukkan bahwa mereka yang memperketat (teliti) dalam periwayatan hadits tetap menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja.

Diriwayatkan bahwa Umar menyebut tentang orang Majusi dan mengatakan, “Aku tidak tahu bagaimana menyikapi urusan di antara mereka?” Abdurrahman bin Auf berkata kepadanya, “Aku bersaksi bahwasanya telah mendngar Rasulullah bersabda, “Berlakukanlah atas mereka aturan Ahli Kitab.”[6]

Diriwayatkan pula bahwa Abu Bakar pernah menghukumi sebuah kasus antara dua orang, lalu Bilal memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah pernah menghukumi pada kasus yang sama dengan hukuman berbeda dengan apa yang dilakukan Abu Bakar, kemudian ia pun menerapkan hukum Rasulullah tersebut.[7]


[1] Tadzkirah Al Huffazh, karya Adz Dzahabi: 1/7 cet. India

[2] Sunan Ibnu Majah, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, 1/10-11 cet. Dar Al Fikr

[3] Sunan Ibnu Majah, hal 11

[4] Tadzkiratul Huffazh hal 2. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah.

[5] HR Bukhari, Muslim, dan Imam Malik dalam Al Muwaththa’

[6] Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i, Malik, dan Ad Daruquthni.

[7] Ar Razi dalam Al Mahshul