Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits-hadits yang zhahirnya bertentangan. Atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain.
Oleh sebagian ulama dinamakan dengan “mukhtalaf al hadits” atau “musykil al hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang-orang yang menguasai hadits dan fikih.
Munculnya Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
Ilmu ini muncul dan dibutuhkan pada saat lahirnya kelompok-kelompok aliran, dan menjamurnya golongan, dan madzhab. Setiap orang menguatkan pendapat kelompoknya, dan berupaya menghancurkan pendapat dan kelompok orang lain. Sebagian di antara mereka seperti, Mu’tazilah, Murji’ah, Qadariyah, Rafidhah, dan Khawarij, mengobarkan isu dan keraguan terhadap sebagian hadits-hadits Nabi yang secara zhahirnya bertentangan atau berlawanan dengan madzab mereka. Maka para ahli hadits melakukan upaya dengan membantah semua keraguan mereka dengan menggabungkan dan mengumpulkan nash-nash tersebut.
Ibnu Qutaibah berkata, “Engkau telah memberitahukan kepadaku dari apa yang engkau ketahui tentang cacian dan hinaan ahli kalam terhadap ahli hadits, serta tuduhan terhadap mereka sebagai penyebar kebohongan dan riwayat bertentangan, yang mengakibatkan terjadinya perselisihan, munculnya banyak aliran dan madzab, terputusnya silaturahmi, kaum muslimin saling bermusuhan dan saling mengkafirkan sebagian terhadap yang lain, dan setiap madzab bergantung pada hadits tertentu.
Misalnya kaum khawarij berargumen dengan riwayat-riwayat seperti:
“Segolongan dari umatku akam selalu dalam kebenaran, meskipun orang lain memperselisihkan tidak akan mempengaruhinya”,
Sementara kelompok yang tidak menyempal berhujjah dengan hadits-hadits seperti:
“Kalian harus berjamaah karena tangan Allah bersama jamaah’,
“Barang siapa yang memisahkan dari jamaah sejengkal pun, maka dia telah melepaskan Islam dari pundaknya’,
“Jadilah hamba Allah yang terbunuh dan jangan menjadi hamba-Nya yang membunuh”.
Pengikut Murji’ah berargumen dengan hadits yang mereka riwayatkan:
“Barang siapa yang berkata laa ilaha illa Allah maka akan masuk surga. Ada yang bertanya:’Walaupun dia berzina dan mencuri? ‘Dia berkata: ‘Benar, walaupun dia berzina dan mencuri tetap masuk surga.”
Sementara lawan Murji’ah berdalih dengan riwayat mereka: “Tidaklah dianggap berzina ketika seorang melakukan zina sedang ia beriman, dan tidaklah dianggap pencuri ketika seorang mencuri sedang ia masih beriman”.
“Tidak beriman orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia yahudi atau Nasrani.” Dan bahwa Allah berfirman –dalam hadits qudsi- “Aku ciptakan hamba-Ku dalam keadaan lurus, syethanlah yang menyesatkan mereka dari agamanya.”
Pengikut Jabarriyah juiga berhujjah dengan riwayat mereka: “Beramallah karena tiap-tiap orang dimudahkan kepada apa yang sudah ditakdirkan baginya.”
Para pengikut Rafidhah mengkafirkan para sahabat Rasulullah dan melebihkan Ali di atas yang lain. Mereka meriwayatkan sebuah hadits untuk menguatkan hujjah mereka:
“Keberadaan kamu (Ali) dengan aku seperti Harun dengan Musa, walaupun sudah tidak ada nabi setelahku… Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
Sedangkan kelompok yang tidak sepaham dengan Rafidhah, justru melebihkan dan mengutamakan Abu Bakar dan Umar daripada yang lain. Riwayat yang dijadikan sebagai dalil mereka:
“Teladanilah dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar”,
“Allah dan Rasul-Nya dan kaum muslimin tidak menyukai kecuali kepada Abu Bakar”.” Kemudian Ibnu Qutaibah menyebutkan ucapan orang Mu’tazilah seperti An Nazhzha, Abu Al Hudzail Al ‘Alaf, dan yang lainnya.[1]
[1] Ta’wil Muhktalaf Al Hadits, karangan Ibu Qitaibah, cet I hal 2 dst