Ilmu Ushul Fiqh Sesudah Masa Imam Syafi’i

11. Sesudah masa Imam Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh semakin berkembang dan meluas dengan aliran yang bermacam-macam. Hal itu, karena sistematika yang dipergunakan oleh Imam Syafi’i dalam menyusun ilmu Ushul Fiqh dalam kitab Ar Risalah, kitab Jima’ul Ilmi dan kitab Ibthalul Istihsan menekankan, bahwa ushul fiqh merupakan suatu kaidah yang baku untuk mengetahui pendapat-pendapat yang benar dan yang salah, juga sebagai prinsip-prinsip global yang harus diketahui dan dijadikan pedoman dalam usaha penggalian hukum-hukum syara’ pada setiap masa. Imam Syafl’i telah mempergunakan metode ushul fIqh ini untuk mendiskusikan pendapat-pendapat fuqaha yang berkembang luas pada saat itu. Seperti pendapat Imam Maliki, didiskusikan dalam kitabnya Ikhtilafu Malik, begitu juga terhadap pendapat-pendapat ulama Iraq serta pembahasan dan kritiknya terhadap kitab Imam Al Auza’i yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf. Dengan demikian semua pcndapat-pendapat fiqh mengikuti kaidah-kaidah ushul fiqh ini.

Imam Syafi’i sendiri dalam menggali hukum-hukum syara’ telah menggunakan metode ushul fiqh ini secara konsisten dan tidak menyimpang sedikitpun. Dengan demikian, ushul fiqh juga merupakan landasan bagi mazhab Syafi’i. Hal itu, bukan hanya sekedar untuk mempertahankan mazhabnya, karena sebelum memproklamirkan mazhabnya di Irak dan Mesir dia telah menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh ini dan telah mempraktekkannya. Oleh karena itu, ushul fiqh menurut Imam Syafi’i bukan hanya merupakan kerangka teoritis saja, akan tetapi sekaligus merupakan ilmu terapan.

12. Meskipun semua ahli fiqh telah mempelajari dan meneliti ushul fiqh yang disusun oleh Imam Syafi’i, tetapi setelah periode Imam Syafi’i, mereka berbeda pandangan, sebagai berikut:

  1. Diantara mereka ada yang memberikan penjelasan (syarah) terhadap ushul fiqh Imam Syafi’i dengan merinci kaidah-kaidah yang masih global.
  2. Sebagian yang lain ada yang mengambil sebagian besar kaidah-kaidah ushul fiqh yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, dan tidak menyetujui bagian yang lain, sambil menambah kaidah-kaidah yang lain. Yang termasuk kelompok ini ialah ulama Hanafiyah yang menggunakan ushul fiqh lmam Syafi’i dengan menambah kaidah lain, yaitu istihsan dan ‘urf. Begitu pula ulama Malikiyah yang menerima ushul fiqh Imam Syafi’i dengan menambah ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah yang diambil dari Imam Malik, di mana hal ini tentang oleh Imam Syafi’i. Mereka juga menambah istihsan, mashalih mursalah dan adzd zarai’ yang dibatalkan oleh Imam Syafi’i.

Demikianlah para fuqaha itu menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh yang cocok bagi mereka, meninggalkan yang tidak cocok dan menambah kaidah-kaidah yang mereka perlukan yang tidak ada dalam ushul fiqh imam Syafi’i. Barang kali metode ushul fiqh yang paling dekat dengan ushul fiqh Imam Syafi’i adalah metode ushul fiqh mazhab Hanafi. Sedang dilihat dari segi jumlah nara sumber dan materi fiqh, mazhab Hanbali lebih dekat kepada rnadzhab Maliki. Insya Allah nanti akan kami jelaskan perbedaan metode kajian mereka.

Sebenarnya para fuqaha dan keempat mazhab itu tidak ada yang menentang dalil-dalil yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, yakni Al Qur’an, Sunnah (Hadits), Ijma’ dan Qiyas. Semuanya ini disepakati. Sedangkan yang diperselisihkan antara Imam Syafi’i dengan ulama mazhab lain menyangkut sumber-sumber yang lain.

13. Para fuqaha mazhab Syafi’i telah banyak mensyarah, menjabarkan dan menjelaskan ushul fiqh. Dengan demikian, makin lama ushul fiqh di kalangan mazhab Syafi’i semakin hidup dan berkembang, bertambah jelas dan rinci, terutama selama periode ijtihad. Para ulama di luar mazhab Syafi’i juga memperoleh tambahan penjelasan terhadap ushul fiqh tersebut.

Meskipun beberapa ulama telah menutup pintu ijtihad, baik ijtihad secara muthlaq maupun ijtihad pada dasar-dasar mazhab tertentu, namun hal itu tidak melemahkan ilmu Ushul Fiqh. Bahkan banyak dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap bab-bab ushul fiqh, untuk menguji masalah-masalah fiqh yang tidak dietapkan melalui istinbath dan bertentangan dengan ketetapan-ketetapan mazhab yang mereka ikuti. Dengan meneliti dan mendalami ilmu Ushul Fiqh, orang-orang yang fanatik terhadap mazhabnya akan memperoleh pegangan yang dapat rnemperkokoh mazhabnya dan meyakinkan mereka cara pengambilan dalil dalam mazhab tersebut.

Oleh karena itu, pada masa taqlid, ilmu Ushul Fiqh juga tidak kehilangan nilai relevansinya karena ia merupakan kaidah yang dijadikan pedoman untuk menguji beberapa pendapat yang berbeda-beda pada saat terjadi perdebatan, yang masing-masing pihak mempergunakan ushul fiqh.

14. Setelah mazhab-mazhab fiqh menjadi baku, kajian para fuqaha terhadap ushul fiqh terbagi menjadi dua aliran yaitu;

  1. Aliran Teoritis, yang terlepas dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai mazhab. Aliran teoritis ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa bertujuan untuk menguatkan atau membatalkan praktek-praktek berbagai mazhab.
  2. Aliran Praktis, yang bertujuan untuk memberikan legimitasi terhadap hasil-hasil ijtihad terhadap masaiah-masalah furu’. Artinya, setiap ulama mazhab berijtihad untuk memberikan legitimasi terhadap masalah-masalah fiqh yang telah diretapkan oleh ulama mazhab yang mendahuluinya, dengan menyebutkan kaidah-kaidah yang menguatkan mazhabnya. Seperti ulama Hanafi menyebutkan, bahwa lafazh yang ‘am itu menunjukkan hukum qath’i (pasti). Dengan demikian mereka menunjukkan secara berulang-ulang lemahnya hadits ahad yang menyalahi dilalah qat’iyah (penunjukan yang pasti), karena hadits ahad itu sifatnya zhanni. Para fuqaha yang memulai menggunakan metode ini adalah ulama mazhab Hanafi, meskipun pada setiap mazhab ada ulama lain yang juga memakainya.

Aliran yang pertama disebut dengan Al Ushulus Syafi’iyah (Ushul Fiqh menurut Syafi’i), karena Imam Syafi’i adalah orang yang pertama kali menjelaskan aliran tersebut dalam kajiannya secara teoritis murni. Aliran ini juga disebut aliran Mutakallimin, karena kebanyakan ularna-ulama ahli Kalam membahas masalah-rnasalah ushul dengan menggunakan metode teoritis ini.

Kedua aliran ini akan dijelaskan secara ringkas dalam periodisasi sejarah fiqh.