Akhirnya sampailah peran Imam Syafi’i, seorang ilmuwan bangsa Quraisy, yang bermaksud untuk mengkodifikasikan (membukukan) ilmu ushul fiqh. Maka mulailah dia menyusun metode-metode penggalian hukum syara’, sumber-sumber fiqh serta petunjuk-petunjuk ilmu ushul fiqh.
Imam Syafi’i telah memperoleh peninggalan hukum-hukum fiqh yang diwariskan oleh sahabat, tabi’in dan para imam yang telah mendahuluinya. Juga rekaman hasil diskusi antara aliran fiqh yang bermacam-macam, sehingga beliau memperoleh gambaran yang kongkrit antara fiqh ahli Madinah dan fiqh ahli Iraq.
Dengan modal tersebut, serta pengetahuannya tentang fiqh Madinah yang dia pelajari dari Imam Malik, fiqh Iraq yang dia pelajari dari Imam Muhammad bin Hasan, dan fiqh Makkah yang dia pelajari ketika berdomisili di sana serta dengan kecerdasannya yang luar biasa, maka dia menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah itulah yang akhirnya disebut ushul fiqh.
Bukanlah merupakan suatu hal yang aneh bila pembahasan dan pembukuna masalah-masalah fiqh lebih dahulu daripada pembukuan ilmu ushul fiqh. Karena ushul fiqh sebagai dasar dan pegangan dalam menggali hukum serta untuk mengetahui istinbath yang benar dan istinbath yang salah, maka ushul fiqh merupakan kaidah sedangkan materinya adalah fiqh. Setiap kaidah selalu timbulnya lebih akhir daripada materi. Ilmu Nahwu (Gramatika bahasa Arab) timnulnya lebih akhir daripada bahasa yang fusha, para penyair telah mengalunkan syairnya dengan susunan tertentu sebelum Imam Khalil ibn Ahmad Al Farahidy menyusun kaidah ‘arudh. Begitu juga manusia telah berfikir sebelum Aristoteles membukukan ilmu manthiq (logika)
Imam Syafi’i adalah orang yang paling berhak disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh. Dia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab, sehingga termasuk barisan tokoh-tokoh ahli bahasa. Dia juga mendalami ilmu hadits sehingga termasuk ahli hadits yang ternama. Disamping itu, dia juga menguasai setiap permasalahan fiqh pada masa itu dan sangan ‘alim tentang perbedaan pendapat para ulama sejak periode sahabat sampai saat itu. Dia juga sangat berminat untuk mengetahui sebab-sebab perselisihan dan perbedaan persepsi para ulama yang berselisih.
Dengan modal tersebut, disamping modal-modal yang lain, maka lengkaplah sarana yang diperlukan Imam Syafi’imenggali masalah-masalah fiqh yang ada beberapa kaidah yang menjadi dasar pertimbangan pendapat para ulama terdahulu dan dijadikan dasar pijakan ulama berikutnya dalam menggali hukum-hukum syara’. Dari dasar tersebut terlihat bahwa mereka saling berdekatan, bukan saling berjauhan.
Dengan ilmu bahasa Imam Syafi’i mampu menggali kaidah-kaidah untuk mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari nash Al Quran dan Hadits. Dengan belajar di Makkah dimana dia mewarisi ilmunya Abdullah ibn Abbas yang dikenal sebaga i penafsir Al Quran (Turjuman Al Quran) dia mengetahui nasikh (yang menghapus) dan mansukh (yang dihapus). Dengan pengetahuan yang mendalam tentang hadits dan belajarnya dengan ulama ahli hadits serta perbandingannya dengan Al Quran, dia mampu mengetahui kedudukan Hadits terhadap Al Quran, terutama ketika terjadi pertentangan antara beberapa zhahir hadits dengan zhahir Al Quran.
Penguasaan Imam Syafi’i terhadap fiqh ahli ra’yi serta pendapat-pendapat para sahabat dijadikan landasan dalam menetapkan kaidah-kaidah qiyas dan juga sebagai dasar untuk menetapkan kaidah-kaidah dalam menggali hukum. Dalam hal ini bukan berarti dialah yang menciptakan seluruh kaidah tersebut, tetapi hanyalah menganalisis secara mendalam metode penetapan hukum yang telah dipakai oleh ulama fiqh yang belum sempat dibukukan. Jadi dia bukanlah yang menciptkan metode penggalian hukum syara’ (ushul fiqh) tersebut, akan tetapi dialah orang yang pertama kali menghimpun metode-metode tersebut dalam suatu disiplin ilmu yang hubungan bagian-bagiannya tersusun secara sistematis. Sebagaimana Aristoteles yang membukukan ilmu logika, dia tidaklah menciptakan dasar-dasar berfikir, akan tetapi hanya menyusun dan membukukan cara berfikir tersebut.
Pendapat yang menetapkan Imam Syafi’i sebagai pemula dalam membukukan ilmu Ushul Fiqh ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) fuqaha’, dan tidak ada satu orangpun yang mengingkarinya.