Islam Adalah Peradilan (Qadha)

Qadha menurut bahasa sebagaimana dikatakan oleh Al-Azhari mempunyai beberapa arti, intinya adalah terputus atau selesainya sesuatu, segala sesuatu yang dijalankan dengan sempurna, paripurna, berakhir, menunaikan, mewajibkan, memberitahukan, dilaksanakan, atau diberlakukan berarti telah diputuskan. Dikatakannya bahwa semua makna itu ada dalam hadits.

Menurut syara’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rusyd, qadha pemberitahuan tentang hukum syara’ yang bersifat pasti, keputusan yang diambil di antara pihak-pihak yang bertikai untuk menghentikan gugat-menggugat, atau mengakhiri perselisihan sesuai dengan hukum syara’ berdasarkan Al-Quran dan Sunah.

Peradilan merupakan kebutuhan social yang sangat dasar demi menjaga keamanan, menyelesaikan konflik yang terejadi antara pihak-pihak yang berselisih, mengembalikan hak kepada pemiliknya atau mengganti kerugiannya. Karena itu Islam menganggapnya sebagai salah satu kewajiban terpenting yang harus diwujudkan oleh kaum Muslimin setelah kekhalifahan.

Ia merupakan salah satu tugas para rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil, dan jangalah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. (Shad: 26)

Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Untuk memutuskan perkara di antara orang-orang yang berselisih dalam firman-Nya,

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah dating kepadamu.” (Al-Ma’idah: 48)

Qadhi (hakim) yang pertama dalam Islam adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Dalam peradilannya beliau merujuk kepada Islam sebagai panduannya yaitu Alquranul Karim, kemudian kepada ijtihad beliau sendiri dan musyawarah dengan para pemimpin dari kalangan sahabatnya sebagaimana yang Allah perintahkan.

Setelah daulah islamiah meluas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Mengangkat sebagian sahabatnya sebagai hakim, seperti Khabab bin Usaid sebagai hakim di Makkah serta Ali bin Abi Thalib dan Muadz bi Jabbal dikirimnya ke Yaman sebagai gubernur dan hakim.

Urusan peradilan menjadi luas, sejalan dengan semakin meluasnya wilayah Islam dan semakin banyaknya penduduk yang masuk di bawah naungannya hingga menjadi sutau lembaga yang berdiri sendiri, terlepas dari kekuasaan eksekutif. Kemudian bidang-bidang kerjanya semakin beragam sehingga ada hakim yang khusus menangani kasus-kasus pelanggaran HAM (munzalim), hakim kepolisian (hisbah), hakim militer, dan lain-lain. Ketika hakim semakin banyak sejalan dengan semakin banyaknya negeri yang masuk Islam dan kebutuhan masyarakat kepada mereka semakin terasa, maka diangkatlah qadhi qudhat (hakim agung) yang bertugas mewakili khalifah dalam mengangkat para hakim di seluruh wilayah dan daerah. Meskipun demikian peradilan tetap independen, tidak aada satu pun kekuasaan yang dapat memaksanya dalam membuat keputusan dan memberikan kebebasan untuk mengajukan pembelaan.

Syariat Islam hadir dengan prinsip-prinsip yang bijaksana untuk mengatur peradilan, hal yang belum pernah dilakukan hukum dan perundang-undangan modern.

Zhahir Al-Qasimi berkata, “Setelah melakukan pengembaraan dalam bidang peradilan ini selama lebih dari empat puluh tahun, saya semakin yakin bahwa peradilan dalam Islam adalah lembaga dari Arab Islam murni. Tidak ada satu pun system peradilan dari bangsa lain yang sedikit atau banyak menyerupainya.” Syariat Islam-lah dengan berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah telah meletakkan dasar-dasar lembaga ini, system, substansi, dan format undang-undangannya.

Apabila umat Islam telah mengadopsi, menukil, atau meniru sebagian urusan administrasi Negara milik bangsa lain seperti kantor-kantor misalnya, maka mereka telah menerapkan system peradilan islami murni, tidak mengenal salinan, adopsi, maupun tiruan sedikit pun. Ringkasnya, kami melihat kekuasaan peradilan dalam Islam telah lahir dan hidup secara islami selama empat belas abad, boleh jadi pada saat-saat tertentu ia justru menjadi sumber yang kaya bagi bangsa lain dan pada saat yang sama tidak membutuhkan apa yang mereka miliki.

Asas pertama dalam peradilan Islam adalah mewujudkan keadilan mutlak di tengah umat manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengna adil. Sesungguhnya Allah member pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa: 65).

Islam telah merumuskan undang-undang keadilan yang tidak tersentuh oleh kebatilan dari arah mana pun yaitu Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65).

“Dan hendaknya kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian aap yang telah diturunkan Allah kepadamu.(Al-Ma’idah: 49)

Islam menjelaskan bahwa peradilan mana pun yang berjalan tidak berdasarkan undang-undang ini adalah taghut yang wajib ditolak dan tidak ada yang menerimanya kecuali orang kafir dan munafik.

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada taghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari taghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang telah Allah turunkan dan kepada hukum Rasul.” Niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.(An-Nisa’: 60)

Islam telah menggariskan aturan-aturan dalam peradilan yang mampu merealisasikan makna keadilan dan menyampaikan hak-hak kepada para pemiliknya dengan aturan yang belum pernah ada sebelumnya. Di antaranya adalah:

Prinsip-prinsip dasar pengaduan dan pembelaan, yaitu:

Hakim tidak boleh mengambil keputusan sebelum mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak yang berperkara secara bersamaan, menyeleksi perkataan, dan meneliti bukti-bukti yang ada pada masing-masing mereka. Ketika mengangkat Ali Radhiyallahu ‘Anh sebagai hakim di Yaman, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berpesan kepadanya,

“Jika datang kepadamu dua orang yang berperkara maka janganlah kamu memutuskan untuk salah satu pihak sebelum kamu mendengar keterangan dari pihak yang lain.

Keputusan (hukum) diambil berdasarkan bukti lahirian yang ditunjukkan oleh argumentasi dan keterangan lahiriah, sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia, dan sesungguhnya kalian mengajukan perkara kepadaku. Boleh jadi salah seorang di antara kamu lebih piawai menyampaikan argumentasinya daripada yang lain sehingga aku memenangkan perkaranya berdasarkan apa yang saya dengar. Karena itu barangsiapa yang aku memenangkan perkaranya dengan mengorbankan hak saudaranya maka janganlah ia terima. Karena jika terjadi demikian sesungguhnya aku hanya memotongkan sepotong api neraka baginya.” (HR Muslim).

Perlakuan, perhatian, dan isyarat yang sama terhadap dua pihak yang berperkara di majelis, berdasarkan hadits, “Jika salah seorang di antara kalian diuji sebagai hakim maka jangan memberi tempat duduk kepada salah satu pihak dengan tempat duduk yang berbeda dengan lawan perkaranya. Dan apabila salah seorang di antara kamu diuji dalam peradilan maka hendaklah ia takut kepada Allah berkenaan dengan tempat duduk, perhatian, dan isyaratnya.” (HR. Daruquthni).

Aturan tentang cara-cara pembuktian yang dijadikan sebagai dasar keputusan. Di antaranya:

Tulisan

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan hutang-piutang tidak secara tunai hingga waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil (benar).” (Al-Baqarah: 282)

Kesaksian

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. (Al-Baqarah: 282)

Sumpah. Berdasarkan hadits, Bukti (keterangan/argumentasi) adalah wajib atas pihak yang menggugat (menuduh) dan sumpah adalah wajib atas pihak yang mengingkari (menolak tuduhan) (HR. Tirmidzi).

Independensi dalam Peradilan

Prinsip ini telah ditetapkan dan dideklarasikan oleh Islam jauh sebelum system bangsa-bangsa lain menetapkannya. Hal itu tergambar dengan jelas dalam dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Muadz bin Jabal r.a. ketika beliau mengutusnya ke Yaman sebagai gubernur dan hakim. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Dengan apa engkau mengambil keputusan wahai Muadz?” Muadz menjawab, “Dengan Kitabullah,” Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi, “Jika engkau tidak mendapatkan?” Muadz menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi, “Bila engkau tidak mendapatkannya?” Muadz berkata, “Saya berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak sungkan melakukannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Segala puji bagi Allah yang telah member taufik kepada utusan Rasulullah untuk melakukan hal yang melegakan Rasulullah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Untuk memperjelas pemikiran dasar yang melandasi praktik peradilan yang terjadi di masyarakat dan penegakkan keadilan di antara mereka, ada baiknya bila kita menelaah –meski hanya sekilas- konstitusi yang telah dijelaskan Khalifah Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘Anh dalam surat khususnya yang ditujukan kepada para hakim semisal Abu Musa Al Asy’ari dan lainnya untuk menutup bahasan ini. Berikut ini kami kemukakan teksnya,

Bismillahirrahmanirrahim. Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin untuk Abdullah bin Qais (Abu Musa).

Semoga salam dan kesejahteraan diberikan kepadamu, ama ba’du.

Sesungguhnya peradilan adalah kewajiban yang sudah pasti dan sunah yang harus diikuti. Pahamilah hal itu. Tidak ada manfaatnya berbicara tentang kebenaran yang tidak ada kenyataanya. Anggaplah sama antara sesame manusia berkenaan dengan wajah, tempat duduk, dan keadilanmu, hingga tidak ada orang yang kuat yang mengharap kelalaianmu. Dalam waktu yang sama, orang yang lemah pun tidak berputus asa akan keadilanmu.

(Keterangan atas pihak yang mengklaim (menuduh) dan sumpah atas pihak yang mengingkari (tertuduh).) Kompromi adalah hal yang diperbolehkan di antara umat Islam, kecuali kompromi y ang menghalalkan keharaman atau mengharamkan yang halal. Janganlah keputusan yang telah kauputuskan kemarin menghalangimu untuk merevisinya, jika hari ini kau perhatikan kembali kemudian dengan kearifanmu engkau mendapat petunjuk kebenaran. Karena sesungguhnya kebenaran lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan. Pahami lagi hal yang membuat kamu ragu, yang tidak ada dalam Al-Quran maupun Sunah. Kemudian kenalilah hal serupa dan analogikan permasalahn kepada padanannya, berilah pihak yang mengklaim, hak yang tersimpan atau bukti (keterangan) batas waktu yang dapat dicapai. Jika ia dapat mengemukakan bukti (argumentasi), ia berhak mendapat haknya. Bila tidak, arahkan kepada keputusan yang benar. Jangan sekali-kali risau, gelisah, menyakiti lawan, dan berpura-pura dalam berperkara, karena kebenaran yang tepat akan dilipatgandakan pahalanya dan melekat selamanya. Siapa yang memperbaiki hubungan antar sesame manusia. Sebaliknya, barang siapa yang bermanis muka dalam hubungan antarsesama manusia padahal Allah mengetahui yang sebenarnya, maka kekuasaan Allah-lah yang berlaku.[8]



[8] ) Hasan Tamim, Al-Islamu Nizham Insani, h. 171.