Menurut bahasa, qanun adalah metode dan ukuran sesuatu. Ia juga berarti dasar. Qanun bukan berasal dari bahasa Arab asli, tetapi berasal dari kata-kata asing yang sudah diarabkan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sayyidih dalam Lisanul Arab 13/349.
Qanun menurut istilah sekarang adalah kumpulan undang-undang dan peraturan yang mengatur berbagai hubungan masyarakat, baik dari sisi individu maupun harta benda. Jenisnya sangat banyak, yang terpenting adalah: undang-undang dasar, undang-undang perniagaan, hukum adat, undang-undang pidana, dan undang-undang perdata.
Qanun sebagaimana yang dipahami sekarang ini merupakan bagian dari syariat karena syariat lebih luas dan lebih umum, bukan hanya sekadar undang-undang. Ia meliputi rancangan terpadu dan menyeluruh untuk semua aspek kehidupan. Fiqih syariat Islam terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu:
Pertama: ibadah, mencakup kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya subhanahu wa ta’la.
Kedua: muamalat, mencakup kaidah-kaidah hukum dan perundang-undangan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain di dalam negerinya dan di negeri lain, sebagaimana ia juga mengatur hubungan antara satu Negara dengan Negara yang lain. Bagian ini mencakup berbagai jenis perundang-undangan yang sekarang disebut sebagai undang-undang positif dengan berbagai nama modern sebagaimana tersebut di atas. Kadang kita mendapatkan padanannya dalam terminologi para ulama syariat. Undang-undang dasar (qanun asasi), dalam syariat Islam disebut siyasah syar’iyah atau siyasah hukmiyah. Qanun madani dan tijari dalam syariat Islam disebut uqud. Qanun ad dauli dalam fiqih Islami disebut as-siyar wal maghazi. Demikianlah, kita dapati qanun islami yang merupakan bagian khusus dari syariat yang untuk melaksanakannya syariat telah mengaturnya sendiri dengan menegakkan kekuasaan politik sesuai dengan prinsip-prinsip syariat, jiwa, dan tabiatnya itu meliputi berbagai makna yang setara dengan undang-undang positif dengan nash (teks) yang lebih afdhal dan bangunan yang lebih baik.
Bahkan sistem perundang-undangan syariat Islam juga mengandung prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan bagi fiqih dan teori perundang-undangan dalam kedua aspek utama ilmu hukum sekarang, yaitu hukum khusus dan hukum umum.
Di bawah sistem perundang-undangan syariat ini telah lahir banyak mazhab dan aliran fiqih ijtihad. Yang paling terkenal adalah empat mazhab yang masih hidup sampai saat ini, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Perbedaan yang terjadi di antara mazhab-mazhab ini bukan merupakan perbedaan agama dalam bidang akidah, melainkan hanya merupakan perbedaan yudisial yang melahirkan kekayaan perundang-undangan yang besar di bidang teori hukum dan perundang-undangan Islam.
Di samping hukum-hukum yang bersifat instruktif, dalam sistem perundang-undangan, syariat ini juga terdapat norma-norma pendukung yang mempunyai kekuatan mencegah dan termuat dalam peradilan. Di antaranya ada yang sifatnya perdata, seperti batalnya transaksi dan perceraian, ada pula yang bersifat pidana, seperti sanksi-sanksi. Dengan demikian, dalam sistem perundang-undangan, syariat telah memenuhi sifat undang-undang dengan makna perundang-undangan modern, hukum-hukumnya lain dengan nasihat-nasihat dan perintah-perintah yang hanya bersifat normatif, tidak seperti yang dipahami oleh mereka yang belum mempelajari syariat Islam yang mengatakan bahwa syariat hanyalah perintah-perintah moral yang tidak memiliki kekuatan yang mengikat.
Meskipun bagian muamalat dalam syariat Islam telah mencakup makna perundang-undangan dengan segala aspeknya, meski namanya berbeda namun Imam Syahid Hasan Al-Banna tetap menanamkan bagian syariat ini sebagai undang-undang sesuai dengan terminologi modern, di samping sebagai hujah bagi orang sombong yang mengatakan bahwa syariat Islam tidak memiliki sifat tersebut dan tidak layak diterapkan di abad modern ini.
Sebenarnya sebagaimana dikatakan Abdul Qadir Audah, mereka yang mengatakan tidak layaknya syariat Islam untuk abad ini terdiri dari dua kelompok. Kelompok yang tidak pernah mempelajari undang-undang tapi tidak mempelajari syariat. Kedua kelompok ini tidak layak untuk memberikan penilaian terhadap syariat karena ia sangat tidak mengerti hukum-hukumnya. Orang yang tidak mengetahui sesuatu tidak layak menilainya.
Perundang-undangan Islam khas dengan sifat kemandirian dan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang.
Ia mandiri karena ia mengandung nash-nash qath’i yang tidak menerima penggantian maupun perubahan. Nash-nash ini terjelma dalam tiga baigan:
- Hukum-hukum yang jelas dan pasti termaktub dalam Al-Quran dan Sunah yang sahih, seperti haramnya khamr, riba, judi; hukumnya hadd mencuri, zina, qadzaf (menuduh orang lain berzina); bagian-bagian warisan, dan lain-lain.
- Kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam Al-Quran maupun sunah seperti: haramnya setiap benda yang memabukkan; haramnya setiap bentuk jual beli yang tidak mewujudkan manfaat bagi kedua belah pihak atas dasar kerelaan di antara keduanya; dan kepemimpinan laki-laki atas perempuan.
- Batas-batas yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunah seperti batas kebebasan dalam sejumlah perbuatan yang tidak boleh dilanggar seperti batas empat istri dalam berpoligami, batas tiga kali dalam thalak, dan batas sepertiga harta untuk wasiat.
Bagian yang qath’i lagi tidak menerima perubahan dalam undang-undang Islam inilah sebenarnya yang menentukan batas-batas dan gambaran peradaban Islam yang khas dan istimewa.
Sedang kemampuannya untuk berkembang, itu karena cakupannya terhadap kaidah-kaidah umum lagi fleksibel di bidang furu’ membuka pintu ijtihad baginya dan membekalinya dengan dasar-dasar yang dapat dijadikan sandaran untuk melakukan pengembangan dan perluasan sesuai dengan situasi, kondisi, dan kemaslahatan umat manusia dalam kerangka kaidah-kaidah umum syariat yang sangat penting. Dasar-dasar itu ialah:
- Pengubahan, penafsiran, atau interpretasi hukum, yaitu upaya untuk memahami term-term yang ada pada suatu hukum syariat, mendefinisikan maknanya, dan menentukan tujuannya. Ini adalah bab yang sangat luas dalam fiqih Islam.
- Qiyas (analogi), yaitu menerapkan hukum suatu masalah yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya pada masalah lain yang sama, yakni dengan cara manganalogikan kepadanya.
- Ijtihad, yaitu memahami kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum syariat serta penerapannya pada permasalah baru yang tidak ada padanan dan permisalannya di dalam syariat.
- Istihsan, yaitu membuat patokan-patokan dan aturan baru di bidang penelitian yang tidak terbatas sesuai dengan kebutuhan, dengan syarat tetap harus selaras dengan jiwa tatanan Islam yang integral.
Sumber undang-undang Islam ada enam, yaitu terdiri dari dua sumber utama dan empat sumber tambahan. Dua sumber utama itu adalah Al-Quran dan sunah, sedangkan sumber tambahan adalah ijma’, qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah.
Perbedaan pokok antara undang-undang Islam dan undang-undang positif adalah undang-undang Islam, sumbernya adalah Allah yang telah berfirman,
“Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah.” (QS. Yunus: 64)
Dia-lah Yang Maha Mengetahui yang gaib lagi Mahakuasa untuk menetapkan nash-nash yang abadi bagi umat manusia.
Adapun undang-undang positif, ia adalah buatan manusia, dibuat sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan temporer mereka, dan sesuai dengan konsepsi manusia tentang hal-hal gaib. Nash undang-undang yang mereka buat untuk suatu hukum tidak mereka terima dari Tuhan, sehingga jumlahnya terbatas.
Itulah sebagian konsepsi tentang undang-undang Islam yang diisyaratkan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam rangka untuk mengingatkan bahwa Islam telah meliputinya dan mencakup maknanya dengan sistem yang lebih baik dan lebih besar manfaatnya.