Kata-kata terakhir yang keluar (dari mulut) Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah: “(Ummatku peliharalah) shalat… (Ummatku peliharalah) shalat… Takutlah kepada Allah atas hamba yang kalian miliki…”[1]
Hamba sahaya adalah kedudukan yang paling rendah bagi manusia, ia oleh sebab itu lebih rendah dari pembantu rumahtangga, karena seorang hamba sahaya tidak hanya harus bekerja bagi tuannya tetapi juga ia tidak memiliki hartanya dan bahkan kebebasan bagi dirinya sendiri, ia senantiasa harus mengabdi pada tuannya. Seorang hamba pada masa-masa pra-Islam, oleh karenanya boleh diperlakukan semena-mena karena ia adalah milik tuannya.
Ketika Al Qur’an dan as-Sunnah berbicara tentang perbudakan maka bukan berarti ia meridhai adanya perbudakan, karena berbagai sanksi hukum dalam Al Qur’an dan as-Sunnah selalu mensyaratkan pembebasan budak sebagai pemenuhannya, yang kesemuanya ini merupakan endorcement bagi penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa memuliakan buruh dengan pemuliaan yang tidak terbayangkan dapat dilakukan dalam sebuah peradaban yang sangat kejam menindas para buruh, lihatlah sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada Ali Radhiyallahu ‘Anh ketika beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan seorang budak kepadanya, sebagai berikut ; “Jangan engkau pukul dia karena aku dilarang memukul seseorang yang ahli-shalat, dan aku melihat dia selalu shalat sejak dia datang kepada kami.”[2]
Demikian perhatian dan pengasihnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap para “pembantu” yang dianggap paling hina tersebut sehingga beliau sering menasihati dan bahkan memarahi para sahabatnya yang bersikap keras dan kasar tanpa sebab kesalahan dari para buruhnya, simaklah hadits berikut ini: Dari Abu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anh dia berkata:
“Aku pernah memukul pembantuku yang laki-laki, tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku: Ketahuilah hai Abu Mas’ud, sungguh Allah lebih berkuasa atasmu daripada kamu atas pembantumu. Lalu aku segera menoleh, ternyata ia adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka aku berkata: Wahai Rasulullah dia kumerdekakan karena Allah. Lalu jawab rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: Jika hal itu tidak engkau lakukan, sungguh api neraka itu akan mengenaimu atau api neraka itu akan menghanguskanmu.” [3]
Cobalah lihat hadits tersebut, lalu lihatlah kondisi manusia di masa kini…
Bagaimana mereka dengan ringannya memukul, menganiaya dan memeras para buruhnya (baik masyarakat yang mengaku sebagai Muslim maupun masyarakat Barat), bahkan lebih kejam dari itu sampai membuat babak-belur atau bahkan membuat cacat buruhnya… Padahal Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memukul/menampar wajah buruh dan memerintahkan agar para buruh itu membalasnya (melakukan qishash kepadanya) atau majikan tersebut harus memerdekakannya.[4]
Sedemikian tingginya kedudukan buruh dan haknya dalam Islam, sehingga Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabatnya untuk memberikan kepada para buruh mereka makanan yang mereka makan dan memakaikan kepada mereka pakaian yang mereka pakai! Kata beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Berikanlah makanan kepada mereka dari makanan yang engkau makan dan berikanlah pakaian yang engkau pakai.”[5]
Sedemikian hingga para sahabat yang kaya dan memakai pakaian yang indah juga memakaikan pakaian yang sama pada para buruh mereka, dan ketika ada yang bertanya tentang hal tersebut pada mereka (para sahabat tersebut) maka mereka menjawab: Memberikan yang demikian itu (harta benda) pada mereka itu lebih mudah bagiku, daripada kebaikanku diambil nanti di Hari Kiamat (oleh mereka).[6]
Tidak hanya sampai disitu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam-pun memerintahkan agar memberi beban pekerjaan sesuai dengan kemampuannya dan melarang majikan untuk membebaninya dengan pekerjaan yang tak sanggup dilakukannya, kata beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya saudara-saudaramu adalah buruhmu, (karena) Allah menjadikan mereka dibawah kekuasaanmu. Maka barangsiapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya maka hendaklah memberi makan kepadanya dari sesuatu yang ia makan dan memberi pakaian kepadanya dari sesuatu yang ia pakai, serta janganlah ia membebani mereka sesuatu yang tidak mampu dijalankan oleh mereka. Jika engkau terpaksa membebani mereka sesuatu yang memberatkan mereka maka bantulah mereka.”[7]
Maka bagaimanakah saudaraku? Apakah kiranya engkau renungkan hal tersebut? Masih adakah demo para buruh yang dilakukan karena menuntut para majikannya jika aturan (syariat) Islam diterapkan? Masih adakah demo para buruh yang menuntut upah kerja minimal mereka atau hak-hak hidup layak mereka atau pesangon bagi mereka ketika mereka di-PHK? Justru Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saat peradabannya menempatkan para buruh pada tingkat terendah telah mengangkat mereka pada tingkat yang belum mampu dicapai oleh peradaban modern saat ini, tidakkah kau renungkan itu? Masihkah kau ragukan Islam sebagai solusi bagi permasalahan kehidupan era modern maupun aturan terbaik dalam mengatur masyarakat?
Lebih tinggi dari itu semua, maka marilah kita saksikan bersama bagaimana pemimpin dan teladan kita Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memperlakukan buruhnya di rumah beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, melalui kesaksian dari buruhnya sendiri Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anh sebagai berikut: “Aku melayani beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perjalanan dan ketika dirumahnya, semenjak beliau di Madinah sampai wafatnya (10 tahun lamanya). Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah sekali pun memarahiku, atau sekedar berkata-kata kepadaku mengenai sesuatu yang aku kerjakan: Mengapa engkau melakukan begini dan begitu? Dan tidak pernah pula beliau berkata kepadaku mengenai sesuatu perintahnya yang belum aku kerjakan: Mengapa tidak engkau lakukan ini dan itu?”[8]
[1] Hadits Riwayat: 1. Abu Daud, kitab Al Adab, bab Fi Haqqil Mamluk. 2. Ibnu Majah, kitab Al Washaya, bab Hal Ausha Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam; hadits no. 2698. 3. Di-shahih-kan oleh Albani, kitab Al Irwa Al Ghalil (2178).
[2] HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrad, di-shahih-kan oleh Albani dalam Takhrijul Misykah (3365).
[3] HR. Muslim, kitab Al Iman, hadits no. 34-35.
[4] HR. Muslim, kitab Al Iman, hadits no. 31, 33; kitab Al Aiman, hadits no. 30-32.
[5] HR. Muslim, kitab az-Zuhdi wa Raqa’iq, hadits no.74.
[6] Ibid.
[7] HR. Bukhari, kitab Al Iman, bab Ith’amul mamluk Mimma Ya’kulu.
[8] HR. Bukhari, kitab Al Washaya, bab Istikhdamun fis Safari wal Hadhari; Muslim, kitab Al Fadha’il, hadits no. 52.