“Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan di lehernya (pada hari Kiamat nanti) seberat 7 lapis bumi.”[1]
Mengambil hak orang lain tanpa sepengetahuan ataupun dengan sepengetahuan namun tanpa perkenan, dalam hukum manapun di dunia ini adalah terlarang, setiap sistem kemasyarakatan di dunia dari yang paling primitif hingga yang paling modern memberikan pelbagai sanksi atas perbuatan tersebut. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa sanksi moral (teguran sampai pengucilan atau pengusiran) sampai dengan sanksi material dan fisik (pukulan sampai penjara). Semua sistem kemanusiaan memiliki cara sendiri dalam memberikan sanksi kepada perampas hak milik maupun kehormatan orang lain.
Sebagai sistem yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, Islam telah menggariskan sebuah sistem sanksi sendiri terhadap para pelaku kezaliman, namun uniknya sanksi yang ditetapkan Islam memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem buatan manusia, yaitu bahwa sanksi tersebut memiliki 2 dimensi, dimensi fisik yaitu dipotong tangannya dan dimensi metafisik (ukhrawi) yaitu kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan balasan di akhirat kelak.
Salah satu contoh sanksi non fisik tersebut adalah dalam hadits di atas, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan kepada para penganutnya yang telah percaya (mu’min) bahwa barangsiapa diantara mereka yang melakukan kezaliman merampas sejengkal tanah orang lain maka ia akan dibebani sejengkal tanah tersebut namun dengan seluruh bobotnya ke bawah sampai menembus 7 lapis bumi… Inna lillah wa inna ‘ilaihi raji’un… Alangkah beratnya dan alangkah ngerinya balasan tersebut, maka bagaimanakah dengan orang-orang yang mengambil tanah orang lain lebih banyak lagi dari itu…?!
Contoh dimensi fisik yang lain yang dijelaskan oleh Islam adalah sanksi terhadap perbuatan kezaliman suap-menyuap dan korupsi, sebagaimana kesempurnaannya, Islam membasmi kejahatan ini sampai ke tingkat yang sekecil-kecilnya, simaklah perkataan rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini terhadap salah seorang petugas pemungut zakatnya: “Sesungguhnya aku telah mengutus seorang diantara kalian tugas yang diberikan Allah kepadaku, lalu ia datang dan berkata: Ini untukmu, sedangkan yang ini hadiah mereka untukku. Andaikata ia memang benar, maka mengapa ia tidak duduk saja di rumahnya, hingga hadiah itu diberikan padanya. Demi Allah siapa saja diantara kalian yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, niscaya nanti di hari Kiamat ia akan menghadap Allah sambil memikul apa yang diambilnya di dunia. Demi Allah aku tidak ingin melihat salah seorang diantara kalian yang menghadap Allah dengan memikul unta, lembu atau kambing yang mengembik. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua ketiaknya sambil bersabda: Ya Allah bukankah aku telah menyampaikannya?”[2]
Bukankah aku katakan kepadamu Islam telah memberantas suap dan korupsi pada tingkat yang sekecil-kecilnya? Lihatlah bagaimana Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengharamkan hadiah-hadiah yang diberikan kepada seorang karena jabatan yang dipikulnya, karena hadiah tersebut diberikan dikaitkan dengan jabatan orang tersebut? Perhatikanlah dengan teliti sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas: Maka mengapa ia tidak diam saja di rumahnya (tidak menjabat apa-apa) hingga hadiah itu datang padanya? Artinya jika benar itu hadiah, maka tidak akan diberikan ketika sahabat tersebut menjabat, karena ketika ia tidak menjabat hadiah tersebut tidak ada yang memberi. Maka jelaslah bahwa hadiah tersebut ada maunya, alias termasuk suap-menyuap…
Hal-lain yang berkaitan dengan pemberantasan perilaku zalim ini secara fundamental dalam Islam adalah diantaranya memberantas bentuk-bentuk pengakuan terhadap hak orang lain melalui sumpah atau di bawah sumpah, walau betapa pun kecilnya apalagi jika sumpah tersebut bersifat besar seperti sumpah jabatan, lalu kemudian digunakan untuk berbuat zalim, simaklah hadits berikut ini: “Siapa saja yang merampas hak seorang Muslim dengan sumpahnya, maka Allah benar-benar mewajibkan neraka baginya dan diharamkan Jannah untuknya. Lalu seorang sahabat bertanya: Walaupun yang dirampas itu sesuatu yang amat sedikit ya Rasulullah? Maka jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: Walaupun sekecil batang kayu arak (kayu untuk bersiwak).”[3]
Hal lain berkenaan dengan perbuatan kezaliman yang ditumpas oleh Islam ini adalah dalam bentuk kezaliman dan kejahatan yang dilakukan seseorang di lembaga peradilan, yaitu perbuatan mengadukan suatu perkara dengan tujuan mengambil sesuatu yang bukan miliknya dengan memperkarakannya di lembaga peradilan. Sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian mengdaukan persoalan kepadaku. Mungkin salah seorang diantara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lain, lalu aku putuskan baginya sesuai dengan yang aku dengar. Maka barangsiapa yang telah aku menangkan perkaranya dengan mengalahkan yang benar, maka sama saja dengan aku telah memberinya sepotong bara api neraka.”[4]
Lalu bagaimana jika terlanjur melakukan yang demikian itu? Segeralah minta maaf jika kezaliman tersebut berkaitan dengan diri atau kehormatan seseorang atau kembalikan harta haram tersebut jika berbentuk uang atau materi, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang pernah menganiaya saudaranya baik kehormatannya maupun sesuatu yang lain hendaklah ia minta maaf sekarang juga sebelum saatnya dinar dan dirham tidak berguna. Jika tidak, apabila ia memiliki amal shalih maka amalnya akan diambil sesuai dengan kadar penganiayaan yang dilakukannya. Apabila tidak memiliki amal baik lagi, maka kejahatan orang yang dianiaya itu diambil dan dibebankan kepadanya.”[5]
[1] Hadits Riwayat: 1. Bukhari, juz-V/76. 2. Muslim, hadits no. 1612.
[2] HR. Bukhari, V/162; Muslim (1832); Ahmad, V/423.
[3] HR. Muslim (137).
[4] HR. Bukhari, XII/299-300; Muslim (1713); Ahmad VI/203, 290, 307.
[5] HR. Bukhari, V/73.