Islam dan Pengawasan Melekat

“Takutlah kalian kepada Allah dimana saja kalian berada.”[1]

Pengawasan melekat (waskat) adalah istilah yang sering sekali kita dengar didengung-dengungkan oleh para petinggi negara ini dan para pimpinan instansi pemerintah dari atas sampai ke tingkat bawah. Pengawasan melekat juga ramai digembar-gemborkan sebagai satu-satunya cara (the only path) yang menurut mereka paling ampuh bagi sembuhnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di bumi Pertiwi; dan bahkan jurus ini pun dipercaya sangat ampuh untuk meningkatkan loylitas, kedisiplinan, dan etos kerja para pegawai dan karyawan.

Islam adalah agama yang universal (syamil), integral (kamil) dan menyempurnakan (mutakamil) bagi semua sistem yang ada. Oleh karenanya, maka Rabb Al Izzah jauh-jauh hari telah memberikan konsep-Nya yang paling sempurna untuk mengatasi berbagai penyimpangan manusia tersebut. Konsep tersebut dinamakan muraqabah.

Muraqabah adalah pengawasan melekat yang sebenarnya, karena ia merupakan sistem pengawasan bagi individu bukan hanya sebatas dalam kaitannya dengan aspek materi dan keduniaan belaka, melainkan jauh menembus batas dan bertemudengan nilai-nilai keabadian dan kekuatan yang berada diluar kemanusiaan dankealaman itu sendiri. Simaklah hadits berikut ini;

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

“Pada suatu hari aku membonceng Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau berkata kepadaku: Hai bocah (waktu itu Ibnu Abbas masih sangat muda), aku akan ajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah Allah, maka Ia akan menjagamu; Jagalah Allah, maka IA akan senantiasa bersamamu; Jika kamu butuh sesuatu, maka mintalah kepada Allah; Dan jika kamu butuh pertolongan, maka mintalah kepada-Nya; Dan ketahuilah! Kalaupun seandainya seluruh ummat itu bersatu untuk memberikan setitik manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat melakukan itu, kecuali jika telah ditentukan oleh Allah; Dan jika mereka pun berkumpul seluruhnya untuk menimpakan keburukan kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu kecuali yang telah ditentukan atasmu. Pena-nya telah diangkat dan lembarannyapun telah kering ditulis.”[2]

Alangkah indahnya! Dan alangkah mencakupnya! Demikianlah Islam, satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menggariskan konsep pengawasan, mari kita simak juga hadits lainnya yang senada; “Jagalah Allah maka Ia akan senantiasa berada didepanmu; Ingatlah Allah di waktu lapangmu, maka Ia akan mengingatmu di waktu sedihmu. Ketahuilah!: Bahwa apa-apa yang telah ditaqdirkan tidak mengenaimu maka akan luput darimu; Dan apa-apa yang telah ditaqdirkan mengenaimu maka tidak akan luput darimu. Ketahuilah!: Bahwa sesungguhnya pertolongan itu akan datang bersama kesabaran; Dan bahwa kesenangan itu didapatkan karena kesusahan; Dan bahwa setelah kesulitan maka pasti akan ada kemudahan.”[3]

Bukankah sebuah konsep yang sangat mencakup dan sangat indah?! Dan jika kita menelaah Al Qur’an maka akan lebih indah lagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menuturkannya kepada kita. Firman Allah tentang konsep pengawasan secara umum: “Sesungguhnya rabb-mu itu benar-benar mengawasi (kamu).” (QS Al Fajr, 89: 14); Tentang kebersamaan-Nya dalam berbagai aktifitas yang kita lakukan: “Allah senantiasa bersama kalian di manapun kalian berada.” (QS Al Hadid, 57: 4); Tentang pengawasannya dalam ibadah-ibadah yang sedang kita lakukan: “Yang melihat kamu saat kamu sedang berdiri shalat, dan juga melihat perubahan gerak badanmu saat diantara orang-orang yang sujud.” (QS Asy Syu’ara, 26: 218-219); Tentang pengawasan-Nya jika kita berbuat maksiat: “Dia mengetahui lirikan mata kalian yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam hati.” (QS Al Mu’min, 40: 19); Tentang ketelitiannya dan kedekatannya ketika melakukan pengawasan: “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaaf, 50: 16).

Masih adakah yang tertinggal wahai saudaraku yang mulia?! Maka tulisan ini akan aku tutup dengan pengamatanku bahwa konsep pengawasan yang diberikan oleh Islam adalah mencakup semua sisi kemanusiaan, baik pada aspek lebar (mencakup semua orang mu’min), panjang (dari sejak ia baligh sampai matinya) dan dalamnya (dari perkataan, perbuatan sampai pada kata hatinya). Sehingga Islam sangat membenci sesuatu yang buruk, bahkan jangankan yang buruk, yang tidak bermanfaat sekalipun hendaknya dihindari, “Ciri baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak berarti baginya,”[4] karena pelanggaran yang besar selalu dimulai oleh kesalahan-kesalahan kecil, dan seorang hanya akan menjadi besar, jika ia terbiasa mendisiplin dirinya untuk tidak mentolerir kesalahan-kesalahan kecil, sebagaimana dikatakan oleh Anas Radhiyallahu ‘Anhu:

“Sesungguhnya kalian terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang kalian anggap halus bagaikan sehelai rambut, padahal kami di masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menganggap perbuatan-perbuatan itu sebagai dosa besar yang membinasakan (Al Muhlikat).”[5]



[1] Hadits Riwayat: 1. Tirmidzi, hadits no. 1988, dan ia berkata hadits hasan-shahih. 2. Ahmad, 5/153, 158, 228, 236. 3. Darimi, 2/323.

[2] HR. Tirmidzi, hadits no. 2518, dan ia berkata hasan-shahih; Syaikh Nashir berkata shahih.

[3] HR. Ahmad, no. 2804 dan 2669 dan menurut Syaikh Syu’aib Al Arnauth sanadnya shahih.

[4] HR. Tirmidzi, no.2318. Hadits ini ada syahid-nya dari hadits Husein bin Ali Radhiyallahu ‘Anhu (HR. Ahmad dan Thabrani), dan dari hadits Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu (HR. Hakim dalam Al  Kunya), dan dari hadits Abu Dzar (HR Syairazi), dan dari hadits Ali Radhiyallahu ‘Anhu  (HR. Hakim dalam Tarikh-nya), dan dari hadits Zaid Radhiyallahu ‘Anhu (HR. Thabrani dalam Al Awsath), dan dari hadits Harits bin Hisyam (HR. Ibnu Asakir). Oleh karenanya hadits ini shahih dengan berbagai syawahid tersebut. Lihat juga Faydhul Qadir 6/12 dan Majma’ Zawaid 8/18.

[5] HR. Bukhari, 11/283; Ahmad, 157, ia juga meriwayatkannya (3/3) dari hadits Abu Said Al Khudriy Radhiyallahu ‘Anh, dan (470) dari hadits Abbad bin Qurth Radhiyallahu ‘Anh.