“Tidak boleh berbohong, baik ketika serius maupun bercanda, dan tidak boleh menjanjikan sesuatu kepada anaknya lalu tidak menepatinya.”[1]
Jujur adalah harta termahal, orang yang senantiasa bersikap jujur akan membentuk sebuah kepribadian yang benar, karena orang yang jujur maka tidak ada yang disembunyikannya sehingga ia tidak perlu untuk berpura-pura (what you see what you get). Orang yang jujur oleh karenanya akan menguntungkan baik bagi dirinya sendiri, teman-temannya dan perusahaan serta kolega-koleganya dan kesemuanya itu akan menghasilkan kesuksesan di dunia dan pasti pula di akhirat.
Sebaliknya kebohongan akan menghasilkan kemunafikan, karena sebuah kebohongan akan memerlukan kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan tersebut. Maka orang yang terbiasa bohong akan mengalami kegoncangan kepribadian (split-personality), dan menimbulkan keraguan pada dirinya sendiri, teman-temannya, perusahaan/tempat bekerjanya serta seluruh relasinya yang kesemuanya akan berujung pada keburukan baik di dunia apalagi di akhirat kelak.
Demikianlah Nabi kita Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menggambarkan fenomena yang kait-mengkait serta saling berkelindan antara kedua sifat ini dan dampak-dampaknya bagi kehidupan seorang manusia dalam sabdanya yang padat-bermakna: “Sungguh kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada Jannah. Seorang yang selalu bertindak jujur, sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai Shiddiq (orang yang jujur). Sedangkan bohong itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu membawa ke Neraka. Seseorang yang selalu berbohong, sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai Kadzdzab (pendusta).”[2]
Dalam hadits di awal kajian ini, pemimpin kita Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menegaskan bahwa sikap jujur bagi seorang mu’min adalah wajib dalam setiap keadaan, baik ketika serius maupun ketika bercanda, ketika sendirian maupun dalam keramaian, ketika senang maupun susah; bahkan sampai pun ketika kita berbicara kepada anak-anak kita yang masih kecil sekalipun kita tidak boleh menjanjikan sesuatu untuk kemudian tidak menepatinya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa berkata benar walaupun ketika beliau sedang bercanda.[3]
Dalam suatu ketika beliau pernah mencandai seorang Arab Badui yang telah tua, ketika orang itu meminta tunggangan kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, kata Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Baiklah, saya akan menaikkanmu di atas anak unta betina.” Maka kata orang itu: “Wahai Rasulullah, apa yang dapat kulakukan di atas anak unta?” Maka jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Bukankah unta itu adalah anak unta juga?!”[4]
Demikian pula seorang pebisnis hendaknya juga berbuat jujur ketika menjalankan bisnisnya dan jangan sampai menipu, baik dengan menyembunyikan cacat/kekurangan pada produknya maupun dalam “memuluskan” usahanya dengan menggunakan jalur yang tidak lazim dan dilarang syariat (KKN ataupun sogok-menyogok).
Karena salah satu penyebab utama krisis ekonomi di negara kita adalah praktek-praktek tidak jujur seperti ini yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dengan para pelaku bisnisnya, baik dari kelas konglomerat sampai ke pedagang kaki-limanya. Benarlah sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Dua orang yang berbisnis itu berhak menentukan pilihan sebelum mereka berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus-terang dalam bisnis mereka, maka bisnis keduanya akan mendapatkan barakah. Tetapi jika keduanya menyembunyikan (kekurangan) dan berdusta, maka bisnis mereka tidak akan membawa barakah.”[5]
Bersahabat dengan orang yang jujur akan sangat bermanfaat, karena sahabat yang jujur akan berkata benar tentang apa kelebihan kita dan kekurangan kita. Demikian pula pada tingkat pemegang kekuasaan seperti pimpinan perusahaan atau pimpinan negara misalnya, jika para bawahan dan pembantu-pembantunya bersifat jujur maka pastilah akan Adil dan Sejahteralah perusahaan/organisasi/negara tersebut. Maka kejujuran bagi sebuah komunitas adalah perhiasan yang tak ternilai harganya. Berbahagialah sebuah kelompok jika diisi oleh orang-orang yang jujur, sebagaimana dalam hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan bagi seorang pemimpin, maka dijadikan baginya seorang menteri yang jujur, maka jika ia lupa diingatkan dan jika ia ingat maka disupport oleh menteri tersebut. Dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan hal yang sebaliknya bagi seseorang, maka dijadikan baginya menteri yang buruk, jika ia lupa dibiarkan dan jika ia ingat tidak disupport.”[6]
[1] Hadits Riwayat: 1. Bukhari, kitab Ash Shulhu, bab Laisal Kadzibu ‘alladzi Yushlihu bainan Nas. 2. Muslim, kitab Al Birru wash Shilah.
[2] HR. Bukhari, 10/423; Muslim no.2607; Abu Daud no.4989; dan Tirmidzi no.1972.
[3] HR. Tirmidzi, kitab Al Birru wash Shilah, bab Ma Ja’a fil Mizah; Di-shahih-kan oleh Albani dalam Takhrijul-Misykah.
[4] HR. Abu Daud, kitab Al Adab, bab Ma Ja’a fil Mizah; Tirmidzi kitab Al Birru wash Shilah, bab Ma Ja’a fil Mizah; Di-shahih-kan oleh Albani dalam Al Misykah.
[5] HR. Bukhari, 4/275-276; Muslim, no. 1747; Ahmad, 2/318.
[6] HR. Abu Daud, kitab Al Kharraj wal Imarah wal Fay’, bab Fit Tikhadz Al Wazir, juz-II hal. 245.