Istikhlaf

Kata istikhlaf adalah bentuk kata benda jadian (mashdar) yang berarti “menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya.” Ketika Allah hendak menciptakan Adam (‘Alaihis Salam), Dia memberitahukan kepada para malaikat bahwa diri-Nya menjadikan Adam sebagai khalifah di muka bumi untuk mengemban amanat ilmu, kebebasan memilih dan beban syari’at, dengan tugas membangun ‘umran di muka bumi ini, sebagaimana firman-Nya kepada para malaikat:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi, mereka berkata “mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?! Lalu Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al Baqarah: 30)

Yang memberi tugas kepada manusia dalam urusan tertentu mempunyai keharusan memberi batasan urusan ini serta wilayah istikhlaf-nya. Rambu-rambu pokok yang sepatutnya dipegang agar menjadi kerangka bagi kebebasannya adalah agar ia bangkit dengan tugas istikhlaf ini. Dari sini kedudukan khalifah ketika itu menjadi moderat: tidak mencapai kedudukan yang dimiliki oleh pemberi tugas kekhalifahan, juga tidak merosot hingga tingkat yang setara dengan kedudukan yang diperoleh melalui pemberian tugas mewakili.

Dengan pengertian istikhlaf ini kedudukan manusia menjadi jelas batasannya — menurut pandangan Islam– di alam ini sebagai makhluk yang diserahi amanat memakmurkan bumi, yang bebas dan terpilih, dan mendapat beban syari’ah (mukallaf) yang bertanggung jawab. Sebab ini merupakan syarat untuk dapat melaksanakan tugas memakmurkan bumi. Begitu pula kebebasannya dibatasi oleh ikatan janji istikhlaf, yaitu syari’ah ilahiah yang merupakan rambu-rambu dan kendali serta wilayah istikhlaf ini.

Pengertian istikhlaf ini dan kedudukan manusia sebagai khalifah yang merupakan pandangan filsafat Islam tentang kedudukan manusia di jagat raya — kedudukan khalifah dari Sang Pencipta jagat raya dan manusia ini — tidak dipahami secara benar oleh filsafat dan peradaban materialistik karena kealpaan pada hakekat manusia yang dipandangnya sebagai penguasa atau menuhankan manusia atau memanusiakan Tuhan. Di masyarakat Yunani kuno, para pahlawan dianggap sebagai dewa yakni penjelmaan Tuhan: dewa dalam bentuk manusia. Ketika bangsa Romawi memeluk agama Kristen, mereka mengganti muatan animis ini dengan konsep tauhid tetapi kemudian menuhankan Nabi Isa Al Masih dengan anggapan unsur lahut telah merasuk kedalam unsur nasut. Baik menuhankan manusia maupun memanusiakan Tuhan, keduanya menyeleweng dari filsafat istikhlaf dan menjadikan manusia sebagai penguasa alam bukan sebagai khalifah dari penguasa alam.

Penyelewengan dari filsafat khilafah dan istikhlaf inilah yang menjadikan manusia peradaban materialistik ini, baik pada zaman Yunani animis maupun pada zaman Barat sekuler menjadikan kebebasan mutlak untuk manusia tanpa ikatan, batasan, maupun wilayah syari’at yang diturunkan dari langit. Maka bilamana tidak ada konsep khilafah, tidak ada pula kendali; batasan, serta rambu-rambu ikatan istikhlaf. lnilah yang menjadikan kebebasan manusia, dalam pengertian Barat, berikut demokrasi Barat, tidak mempunyai komitmen pada batasan haram dan halal menurut agama dalam mengatur kebebasan manusia.

Berbeda dengan penyelewengan pandangan materialis ini — tentang pandangan kedudukan manusia di dunia– sebagian agama dan filsafat mengajarkan tentang konsep seperti konsep tentang Nirvana di India dan beberapa aliran tasawuf falsafi esoterik, yang semuanya menawarkan filsafat untuk meniadakan segala bentuk kebebasan, dan kekuasaan dari manusia, sehingga dipandang sebagai makhluk hina dan tidak berdaya; tidak ada jalan untuk menyelamatkan, memajukan dan meningkatkannya; yang ada hanyalah fatalisme, dengan memerankan apa yang telah ditentukan; dan fana dalam Dzat yang Maha Mutlak, Allah.

Pandangan eksageratif (ghulat) dalam menelanjangi kebebasan manusia ini, adalah bentuk penyelewengan lain dari pandangan moderat Islam yang memandang manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai pengemban amanat untuk memakmurkannya, serta membekalinya dengan unsur-unsur dan membawanya keluar dari wilayah kewenangan sebagai khalifah, wakil, dan pengemban amanat. Dia bukanlah penguasa alam dan kekhalifahan manusia menurut Islam mengangkat kedudukan manusia dari martabat hina, tidak berdaya dan fana ini ke dalam diri yang lain yang tidak mempunyai kebebasan, kemampuan dan kekuasaan serta pilihan.

Di tengah-tengah dua pandangan ini: materialisme dan spiritualisme esoterik, filsafat istikhlaf Islam berdiri untuk menjadikan manusia di alam ini sebagai makhluk Allah termulia, hamba dan khalifah-Nya; kebebasan dan kekuasaannya diatur dengan ikatan janji istikhlaf –yang dengan meminjam istilah yang dikemukakan Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905)– memberi batasan istikhlaf dan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di planet ini. Maka manusia ini adalah hamba Allah satu-satunya dan makhluk termulia yang menjadi penguasa atas segala sesuatu sesudah Allah. Ini makna istikhlaf dalam kedudukan manusia di alam wujud ini.

Turunan dari makna umum istikhlaf ini, disamping mempunyai pandangan tentang wilayah kebebasan manusia sebagai khalifah Islam juga mempunyai pandangan khusus dalam masalah kekayaan dan harta benda, dimana ia adalah khalifah dan mustakhlaf (diberi tugas kekhalifahan) yang kebebasannya dikembalikan dalam penggunaan kekayaan itu dengan ikatan dan janji istikhlaf. Sebab pemilik hakiki atas harta kekayaan adalah Sang Penciptanya dan Penganugerahnya di alam ini yaitu Allah, Dialah yang membuatnya tunduk seperti halnya dengan kepatuhan kekuatan alam lainnya serta sumber kekayaan yang ada di alam ini agar manusia menyertai dan memanfaatkannya dengan penuh tanggung jawab — bukan menyertai dalam pengertian menundukkan dan memaksa– dalam menjalankan tugas kekhalifahan, yaitu memakmurkan dan memperindah bumi. Dalam hal kekayaan dan harta benda manusia memiliki hak pemilikan manfaat secara simbolis; pemilikan tugas sosial yang memberinya kebebasan pemilikan pribadi, mengembangkan dan memanfaatkan, dengan tata aturan janji istikhlaf dalam masalah harta kekayaan serta istikhlaf dari Pemilik Hakiki, Allah.

Makna istikhlaf ini diungkapkan dalam istilah Al haqq tentang hak orang lain yang ada pada harta seseorang, sebagaimana firman Allah:

“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia hak bagian tertentu, bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (Al Ma’aarij: 24-25)

Dalam firman-Nya yang lain ditegaskan bahwa kedudukan manusia dalam masalah harta dan kekayaan adalah kedudukan khalifah yang mustakhlaf.

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan sebagian dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Al Hadiid: 7)

Kemudian terdapat pula nisbat istilah harta (Al mal) dalam Al Qur’an pada kata ganti jamak dalam empat puluh tujuh ayat. Bentuk jamak kata manusia Al insan adalah mustikhlaf sedangkan nisbah pada kata ganti tunggal terdapat pada tujuh ayat, agar tidak menjadi pesona, dan dipandang di atas segalanya, disamping itu agar dapat memperoleh hak memiliki secara pribadi dengan tata aturan yang dikendalikan dengan filsafat serta prinsip-prinsip istikhlaf.

Manusia memiliki harta akan tetapi pada saat yang sama harta itu milik umat, yang diungkapkan dengan meminjam kata-kata Muhammad Abduh: “Bahwa saling menunjang dalam kehidupan bermasyarakat berarti bahwa harta setiap orang di antara Anda pada hakekatnya harta itu milik umat Anda,” dan dengan meminjam kata-kata Az Zamakhsyari (1075-1144) dalam kitabnya, Al Kasysyaf, dalam mentafsirkan firman Allah pada ayat terdahulu: “Dan menafkahkan sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya,” bahwa maksud Allah dari ayat ini adalah hendak mengatakan kepada manusia: “Sesungguhnya harta benda yang ada di tanganmu adalah harta benda Allah. Dia menciptakan dan mengadakan harta itu dan kamu hanya diberi harta itu untuk dimanfaatkan dan kamu sekalian diberi amanat wewenang kekhalifahan untuk mempergunakannya. Harta itu bukanlah hartamu yang sebenarnya, Anda sekalian tidak lebih dari sekedar wakil dan pemegang amanat pada harta itu.“ Inilah makna istikhlaf di bidang harta dan kekayaan.

Dari makna dan filsafat ini, telah terjadi dan akan terjadi penyelewengan peradaban materialistik, yaitu yang menjadikan manusia sebagai penguasa planet ini, yang memiliki kebebasan mutlak, lalu dengan kebebasannya yang ia miliki ini dengan bebas menguasai kekayaan secara pribadi dalam ideologi liberal kapitalis dan secara kelompok dan masyarakat proletar ataupun partainya dalam ideologi komunisme universal. Begitu pula penyelewengan dilakukan dalam bentuk sebaliknya dalam filsafat-filsafat spiritualisme yang mengajak manusia pada kepasrahan total kepada paham fatalisme serta pola hidup darwisyisme.

Di sana terdapat bidang lain dimana tampak jelas keistimewaan filsafat istikhlaf Islam dibanding dengan filsafat-filsafat lainnya, yaitu hubungan antara agama dan negara.

Dikarenakan manusia adalah khalifah Allah dan dia adalah makhluk merdeka yang kemerdekaannya dikendalikan dengan ikrar akad dan janji istikhlaf, maka negara yang merupakan pencapaian upaya manusia dan institusi sipil, dikendalikan –menurut visi Islam– dengan referensi ilahiah, yakni syari’ah yang merupakan produk Ilahi. Syura manusia menegakkan negara yang diatur oleh syari’at agama maka didalamnya terdapat harmonisasi antara kekuasaan rakyat yang diperintah dengan kedaulatan (sovereignity) ilahiah dalam perundang-undangan dan para ulama fiqih mengkonstruksi fiqih muamalat sebagai furui’yah yang ijtihadnya tunduk pada prinsip-prinsip ushul dan undang-undang Ilahi. Dengan demikian maka model negara Islam adalah negara khilafah yang berbeda dengan teokrasi; negara hukum dengan hak Tuhan serta aturan ilahi, yang menjadikan negara sebagai agama murni, kesuciannya kesucian agama, dan landasannya buatan Ilahi. Negara Islam juga berbeda dengan model negara sekuler yang bertolak belakang dengan teokrasi dan landasan Ilahi. Negara sekuler memisahkan negara dari agama dan memotong hubungan syar’ah dengan segala bentuk urusan ‘umran.

Dari kenyataan ini, yaitu kenyataan bangunan Negara Islam yang berdiri pada prinsip-prinsip filsafat istikhlaf, penamaannya dengan sebutan negara khilafah dan kepala negaranya adalah khalifah tidak seperti posisi Paus yang mewakili Tuhan, sebab istikhlaf adalah untuk umat, untuk manusia, maka kepala negara Islam adalah khalifah umat, wakil mereka, dan pelaksana amanat mereka. Umat itu yang menjadi khalifah dari Allah. Dari sini umatlah yang memilih khalifah, membaiat, dan menyerahkan dan mengawasinya. Sedangkan kepala negara di negara teokrasi bersifat ma’shum, yang kesuciannya dari kesalahan mewakili kesucian dari Yang di langit.

Makna istikhlaf ini dalam filsafat hukum negara Islam ditegaskan oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengajarkan perbedaan negara khilafah dari filsafat-filsafat negara yang lain. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal dunia, lalu seorang nabi lainnya menggantikannya, dan bahwasanya tidak ada nabi setelah aku, yang ada setelah aku adalah khalifah-khalifah.” (Al Bukhari, Ibnu Majah, dan Umam Ahmad)

Jadi filsafat khilafah Islam adalah filsafat istikhlaf.

Jika filsafat dan peradaban materialistik yang di antaranya adalah peradaban Barat telah membatasi jalan pengetahuan hanya pada dua jalan: akal dan pengalaman empirik yang diketahui oleh manusia dengan indra, maka sebab utamanya adalah karena tidak ada filsafat istikhlaf yang dikenal dalam filsafat dan peradaban materialistik ini dimana manusia tidak mengenal petunjuk dari luar dirinya dan di luar alam indrawi: dunia sensual. Manusia dipandang sebagai penguasa alam wujud, bukan khalifah dari Tuhan yang terpisah dari alam ini, jauh dari pembauran, inkarnasi, ittihad dengan alam ini. Sedangkan visi Islam yang mengacu pada filsafat istikhlaf, untuk memperoleh pengetahuan, manusia tidak hanya cukup dengan petunjuk akal dan indra sebagai jalan pengetahuan melainkan keduanya dilengkapi dan dikendalikan dengan petunjuk wahyu ilahi yang dapat dilihat dengan jelas dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi (Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Petunjuk wahyu ini merupakan hidayah kepada manusia yang datang dari Pemilik ilmu universal tak terbatas yaitu Allah. Wahyu ini membawa, untuk manusia, berita alam gaib dan aturan-aturan hukum yang akal manusia tidak dapat memahaminya tanpa bantuan wahyu dan indra manusia serta pengalamannya juga tidak dapat memahaminya. Akal dan indra ini kemampuan dan pemahamannya bersifat nisbi sesuai dengan kenisbian kemampuan manusia. Di samping itu kearifan hikmah yang tidak diperoleh melalui akal maupun indra melainkan melalui bisikan lembut ilahiah serta Nur Rabbaniyah yang beriluminasi dalam hati yang tercerahkan.

Demikian prinsip yang menjadi landasan filsafat istikhlaf dalam Islam sebagai satu konsep unik tentang pengetahuan yang memandang manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dari sini pengetahuan yang diperoleh tidak hanya berhenti pada wilayah sesuatu yang dapat dinalar realitasnya dan dapat dikenali secara empirik dengan indra di alam fisik, melainkan untuk mencapai pengetahuan terdapat jalan lain yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada manusia yang telah Dia pilih di antara makhluk-makhluk-Nya, serta dijadikan pengemban tugas untuk memakmurkan planet ini dimana ia hidup.

Jadi, pada negara, seperti juga pada harta kekayaan, dan pada jalan pengetahuan manusia serta sumbernya, bahkan pada setiap bidang, filsafat istikhlaf Islam dapat dilihat, yaitu yang dimulai dengan kelebihan visi Islam tentang kedudukan manusia di planet serta derajatnya pada tangga alam semesta. Maka manusia yang mengemban tugas sebagai khalifah, pemilik kompetensi istikhlaf dan juga yang kebebasan, kemenangan dan kekuasaannya dikendalikan dengan ikrar akad serta janji istikhlaf llahi berupa syari’ah, manusia khalifah inilah yang menjadikan istikhlaf sebagai satu filsafat Islam yang membedakan model pemikiran Islam dari model pemikiran lain dalam setiap bidang kehidupan. Begitu pula peradaban Islam yang diwarnai dengan Islam membuat dirinya berbeda dari peradaban materialistik yang menyeleweng dari petunjuk Allah serta fitrah yang telah Dia berikan kepada manusia.[1]



[1] Lebih lanjut, lihat, Dr ‘Amarah dalam Ma’alim Al Manhaj Al Islami, Kairo 1997.