Muqaddimah
Secara etimologis jarimah berarti tindakan kerja atau tindakan memutuskan, tetapi masyarakat Arab mengkhususkan kata jarimah untuk perbuatan buruk yang bertentangan dengan kebenaran. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman.” (QS Al Muthaffifiin 29).
“(Dikatakan kepada orang-orang Kafir): “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa.” (QS Al-Mursalat 46)
Sedangkan secara terminologis Syari’ah mengandung dua makna:
Makna Umum: Melakukan pelanggaran yang bertentangan dengan perintah-perintah Allah atau larangan-Nya baik yang ditentukan sanksinya di dunia maupun di akhirat.
Makna Khusus: Melakukan pelanggaran atau dosa yang sanksinya ditentukan Syari’ah Islam bagi pelaku kejahatan, seperti membunuh tanpa hak, berzina, dan lain-lain.
Dengan pengertian khusus ini ulama mendefinisikan jarimah atau kriminal adalah: Pelanggaran Syari’ah yang diancam oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala hukuman had atau nta’zir. Dan yang dimaksud dengan had yaitu sanksi yang ditentukan Syari’at sedangkan ta’zir yaitu sanksi yang ketentuannya diserahkan menurut ijtihadpemimpin negara atau lembaga yang diberi wewenang untuk memberikan batasan sanksi.
Pengertian Kriminal Antara Syari’ah Dan Undang-Undang
Kriminal menurut undang-undang hukum positif adalah tindakan yang dilarang undang-undang adapun meninggalkan suatu pekerjaan atau tidak melakukan pekerjaan tidak dianggap oleh undang-undang positif. Dan sanksi merupakan balasan yang ditetapkan undang-undang kepada pelaku kriminal. Dalam undang-undang dan hukum positif sanksi bagi suatu tindak kejahatan hanya ada pada semua yang telah tertulis dan ditetapkan undang-undang sedangkan kejahatan atau kriminal yang sanksinya tidak ditulis dan ditetapkan undang-undang berarti tidak dianggap kriminal atau kejahatan.
Dengan pengertian ini maka jelaslah bahwa pengertian kriminal dan sanksi menurut syari’ah dan undang-undang positif memiliki kesamaan dari segi bentuknya, namun demikian ada perbedaan yang prinsip diantara keduanya yaitu prinsip dasar akhlak yang melandasi keduanya dalam menentukan bentuk kriminal dan sanksi.
Sumber dari hukum positif adalah manusia yang membuat undang-undang tersebut. Adapun sumber Syari’ah Islam adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya atau Kitab Allah dan Sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Disinilah letak perbedaan yang sangat prinsip antara hukum positif dan Syari’ah Islam. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya:
Bahwa sistem pidana dan sanksi dalam Syari’ah Islam bertujuan untuk menjaga moralitas masyarakat dari semua tindakan rendah dan melindungi manusia dari kerendahan dan kehinaan yang tidak layak sesuai fitrah kemanusiaan mereka. Adapun hukum positif tidak bertujuan untuk penjagaan akhlak. Misalnya ketika menghukum orang berzina, tidak menganggap bahwa zina itu hina yang merusak akhlak mulia. Sehingga jika kedua belah pihak pelaku zina saling rela dan tidak menganggap dirugikan maka tidak ada sanksinya.
Begitu juga peminum khamr tidak dihukum selagi tidak mengganggu atau membahayakan yang lain.
Sesungguhnya hukum Syari’ah yang menentukan pidana dan sanksi senantiasa tetap dan tidak berubah dengan perubahan pemerintahan dan rezim. Dan ini merupakan sifat umum dari Syari’ah Islam yang bersumber dari Allah. Berbeda dengan hukum positif yang tidak pernah tetap dan senantiasa berubah-ubah sesuai keadaan.
Sistem sanksi merupakan manifestasi dari akidah Islam yang dibangun atas dasar keimanan akan kesempurnaan Allah dari semua sisi, baik ilmu-Nya maupun keadilan-Nya. Hal ini menyebabkan kewibawaan tersendiri bagi manusia yang beriman kepada Allah. Karakteristik inilah yang membuat sebagian Muslimin dahulu pada masa Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengakui kesalahannya walaupun sanksi yang akan diterima sangat berat. Sedangkan hukum positif karena dibuat oleh manusia dan biasanya dibuat oleh para penguasa, maka ketika membuat hukum, dibuatlah hukum yang dapat memberi manfaat bagi mereka (penguasa) oleh karenanya hukum tidak lepas dari pengaruh subyektifitas manusia yang membuatnya sehingga hukum senantiasa digunakan sebagai alat kepentingan penguasa dan selalu merugikan masyarakat banyak.
Hukum positif bukan hanya tidak berwibawa dimata masyarakat, tetapi sampai ke tingkat dilecehkan.
Dasar Sistem Pidana Dan Sanksi Dalam Islam
Prinsip dasar yang dibangun oleh sistem pidana dan sanksi dalam Islam adalah -secara garis besar- : menjaga kemashlahatan manusia, dan ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia. Kehidupan yang baik dan mulia tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan prinsip-prinsip tersebut. Dan prinsip tersebut adalah:
- Kemashlahatan Agama (Diin )
- Kemashlahatan Jiwa
- Kemashlahatan Akal
- Kemashlahatan Keturunan
- Kemashlahatan Harta
Dan penjatuhan sanksi disyari’atkan untuk menjaga kemashlahatan tersebut.
Sedangkan secara skala prioritas kemashlahatan memiliki urutan sebagai berikut:
- Dharuriyat; adalah kebutuhan yang sangat pokok dimana seseorang tidak dapat hidup kecuali harus memenuhi kebutuhan pokok tersebut dan jika tidak terpenuhinya maka mengakibatan kesulitan dan kesusahan atau bahkan tidak dapat hidup, seperti: pembunuhan, penganiayaan, murtad, zina, dan lain-lain. Semua tindakan itu dan semisalnya merupakan pelanggaran atas kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia (dharuriyat insaniyah ).
- Hajiyat; adalah kebutuhan yang pokok tetapi tanpanya manusia masih dapat hidup walaupun dalam kondisi sulit, seperti tuduhan palsu, pemukulan yang tidak mengakibatkan kematian, dan lain-lain.. Maka pelanggaran ini disebut pelanggaran pada masalah mendasar bagi manusia.
- Tahsiniyat; adalah pelengkap kebutuhan dimana manusia dapat hidup tanpanya dengan tidak mengalami kesulitan, seperti; pelanggaran pada masalah pelengkap kehidupan untuk kebahagiaan manusia, seperti mencaci, menghina, dan lain-lain.
Pidana Pembunuhan Dan Sanksinya Dalam Islam
Pembunuhan dalam Islam termasuk dosa besar dan pidana yang paling bahaya. Dan pengharaman, ancaman dan penentuan sanksinya telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Disebutkan dalam Al Qur’an:
“Janganlah engkau bunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq.” (QS Al Isra’ 33)
Disebutkan dalam hadits:
“Lenyapnya dunia lebih ringan disisi Allah dari terbunuhnya seorang Muslim.” (HR. Muslim).
Dalam hadits lain:
“Jauhilah tujuh dosa yang membahayakan.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, apa saja?” Rasul Bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan perang dan menuduh zina wanita Shalihat Mu’minat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Macam-Macam Pembunuhan
Pembunuhan yang diancam keras sebagaimana disebutkan dalam hadits adalah pembunuhan yang disengaja (qatlul amd ) dan bukan pada semua bentuk pembunuhan. Jumhur ulama membagi pembunuhan menjadi tiga macam:
- Pembunuhan Disengaja (Al Qatlul Amd)
- Pembunuhan Setengah Disengaja (Al Qatlu Syibhul Amd)
- Pembunuhan Salah (Al Qatlu Al Khata)
Pembunuhan Disengaja (Qatlul Amd)
Yaitu tindakan pelaku pembunuhan yang sengaja membunuh seorang manusia yang bebas darahnya, seperti seorang yang dengan sengaja membunuh dengan pistol atau senjata atau sarana lainnya.
Qatlul Amd dapat terjadi dengan cara langsung atau dengan sebab, seperti merusak bagian penting mobil seseorang yang berakibat pada kematian sopirnya atau yang menaikinya. Banyak lagi bentuk pidana yang sifatnya tidak aktif atau biasa disebut Al Jaraim AsSalbiyah (Pidana Pasif) yang masuk pada pembunuhan disengaja.
Jika lebih dari seorang terlibat dalam pembunuhan, sedang mereka sengaja melakukannya, maka kondisi ini
masuk dalam pembunuhan disengaja dan setiap orang terkena sanksi pembunuhan disengaja. Pendapat ini diikuti sebagian besar Fuqaha dan pendapat Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anh. Diriwayatkan oleh said bin al-Musayyib bahwa Umar bin Khattab membunuh tujuh orang dari penduduk San’a yang membunuh satu orang dan berkata:
“Jika penduduk San’a membangkang maka akan aku bunuh semuanya.” (Riwayat Imam Malik Az Zi’liy Nasbur Rayah 4/353)
Pembunuhan Setengah Disengaja (Al Qatlu Syibhul Amd)
Yaitu pembunuhan yang dilakukan seseorang secara tidak sengaja dan tidak bermaksud membunuhnya tetapi hanya bermaksud melukainya, tetapi menimbulkan kematiannya. Perbedaannya dengan qatlul amd ada dua, yaitu pada niat atau maksud pelakunya dan pada sarana yang dipakai. Dalam qatlul amd
pelaku memang bermaksud membunuhnya dan sarana yang dipakai pun secara dominan dapat digunakan untuk membunuh seperti; pedang, pis tol, dan lain-lain..
Adapun al qatlu syibhul amd pelakunya tidak berniat membunuhnya dan alat yang digunakannya biasanya tidak membunuh. Pendapat ini diyakini oleh Jumhur Ulama sebagaimana dalil hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anh, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Dua orang wanita dari suku Hudzail saling bunuh. Seorang diantara mereka melempar dengan batu dan membunuhnya dan janin yang ada dalam perutpun meninggal. Maka orang-orang datang pada Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam meminta fatwa, kemudia beliau memutuskan bahwa bagi mereka yang membunuh terkena sanksi dengan membayar diyat anaknya seorang hamba lelaki atau perempuan dan memutuskan untuk membayar diyat wanita bagi keluarga si pembunuhnya.” (HR Bukhari).
Pembunuhan Salah (Al Qatlu Al Khatha)
Tindakan pelaku pembunuhan yang tidak ada maksud membunuh dan tidak pula menyakitinya tetapi terjadi korban karena kesalahan. Dan pembunuhan salah disebut pidana sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Tidak boleh seorang mu’min membunuh mu’min lain kecuali karena salah. Barangsiapa membunuh karena salah maka harus memerdekakan budak mu’min dan membayar diyat yang diberikan kepada keluarganya.” (QS An Nisaa 92).
Sanksi Qatlul Amd
Sanksi atas tindakan pidana kriminal pembunuhan secara sengaja dalam Islam yaitu qishash, kecuali keluarga pihak terbunuh memaafkannya. Dan jika memaafkan maka harus membayar diyat, kecuali juga membebaskannya. Dan jika keluarga terbunuh memaafkannya dari qishash dan diyat maka pemerintah harus memberikah hukuman yang setimpal. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Telah diwajibkan qishash pada pembunuhan.” (QS Al Baqarah 178)
“Dan dalam qishash ada kehidupan,bagi kaum yang berfikir” (Al Baqarah 179)
Sanksi dalam penjatuhan hukuman qishash tidak boleh mengenai pihak yang tidak berdosa. Misalnya seorang wanita hamil yang terkena qishash maka tidak boleh diqishash sampai melahirkan dan menyusui secara cukup, sesuai firman Allah:
“Tidak boleh berlebih-lebihan dalam membunuh” (QS Al Isra’ 33)
Dan ayat lain:
“Tidak boleh seseorang menanggung kesalahan orang lain.” (QS Al An’am 164)
Pidana Hudud Dan Sanksinya Dalam Islam
Pidana Hudud adalah pidana yang sanksinya ditentukan Syari’ah, tidak ada penambahan dan pengurangan dan qadhi atau hakim tidak memiliki hak merubah selain melaksanakan sesuai syarat-syaratnya. Pidana Hudud ada tujuh macam, yaitu; zina, qadf (menuduh zina), minum khamr, mencuri, hirabah (membuat kerusakan di muka bumi), murtad dan bughat
Sanksi ini disebut pidana hudud karena sanksinya telah ditentukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu; Hukuman dengan dera seratus kali dan diasingkan setahun bagi pidana zina, sanksi dera bagi pidana minum khamr, sanksi potong tangan bagi pidana mencuri, sanksi dibunuh atau dibunuh dengan disalib bagi pidana hirabah, sanksi dibunuh bagi pidana murtad, sanksi dibunuh bagi pembangkang (baghi) ketika keluar dari pemimpin Muslim.
Adapun hikmah penetapan sanksi pada tindak pidana hudud karena tindak pidana ini adalah suatu yang paling bahaya terkait dengan kehidupan manusia disetiap waktu dan tempat.
Pelaksanaan sanksi pidana hudud harus sesuai dengan batasan-batasan berikut:
- Legal formal sanksi ini tidak dapat ditentukan kecuali oleh nash Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak boleh ditentukan oleh qiyas karena pidana adalah ketentuan Syari’ah sebagaimana bilangan shalat.
- Sanksi ini tidak dapat dilakukan dengan adanya syubhat sebagaimana hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Jauhkan hudud dari syubhat, jika ada jalan maka hilangkanlah jalannya, karena imam lebih baik salah dalam memaafkan daripada salah dalam menghukum.” (HR At Tirmidzi)
- Hudud tidak dapat bebas dengan maaf dan pertolongan jika sudah diangkat kepada qadhi atau hakim. Tetapi jika belum diangkat kepada hakim maka boleh dimaafkan dan menutupi pelakunya sebelum diangkat ke qadhi . Dalil dari pembolehan ini adalah penolakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada Zaid ketika datang untuk minta tolong meringankan hukuman seorang wanita Bani Makhzum yang mencuri. Rasul bersabda: ” Wahai Usamah, apakah engkau ingin menolong dalam hudud Allah. Demi jiwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang ada ditanganya-Nya jika Fatimah binti Muhammad mencuri maka aku akan potong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
- Pelaksanaan hukum pidana hudud ini hanya dapat dilaksanakan oleh penguasa Muslim atau yang mewakilinya.
Menjawab Syubuhat Di Sekitar Sistem Pidana Dalam Islam
Dibawah ini disebutkan syubuhat (penyimpangan ) yang dimunculkan sekitar sistem pidana dalam Islam dan jawabannya.
Disebutkan sebagian orang bahwa sistem pidana dalam Islam adalah sistem yang sudah usang yang berlaku pada masyarakat tradisional dahulu sehingga tidak layak lagi bagi masyarakat sekarang. Karena undang-undang harus terjadi perkembangan agar sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi yang terjadi.
Jawaban terhadap syubhat ini:
- Analogi dan pendapat ini adalah salah dan keliru. Pendapat ini memang tepat jika dialamatkan pada undang-undang dan hukum yang dibuat oleh manusia tetapi tidak benar jika diarahkan pada Syari’ah Islam yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala Rabb manusia. Dan analogi ini tidak benar sesuai dengan akal sehat, tidak mungkin dilakukan analogi dari apa yang dibuat oleh manusia dengan apa yang dibuat oleh Allah. Allah yang menciptakan langit, bumi dan seisinya, apakah manusia patut membangkang dengan segala ciptaan Allah?
Siapakah yang mengetahui rahasia manusia dan segala sesuatu yang dapat menghentikan kejahatanya jika bukan Rabb manusia. Disebutkan juga bahwa sanksi dalam Islam secara umum kejam dan terbelakang tidak sesuai dengan kehormatan manusia dan kemajuan yang dicapainya berupa peradaban dan kemajuan.
Jawaban atas syubhat ini adalah:
- Bahwa sanksi ini tidak dapat dilihat kejam atau keras kecuali bagi yang melihat dari satu sisi. Mereka melihat kesakitan yang dirasakan pelaku pidana dan tidak melihat pada sisi lainnya. Sisi lainnya yaitu: Bahaya pidana pembunuhan yang dikhususkan Islam dengan sanksi tersebut. Yaitu sanksi atas pelanggaran pembunuhan jiwa dan pidana hudud. Bagaimana mungkin memberikan toleransi bagi orang yang membunuh, pelaku kriminal, pencuri dan lain-lain?
Bagaimana mungkin lebih mengutamakan emosi bagi pelaku kriminal dan tidak merasa kasihan kepada korban yang tidak berdosa.
- Memang benar dalam pelaksanaan hudud ada unsur keras yang mereka namakan sadis atau kejam. Sesuatu yang harus difahami bahwa setiap sanksi harus ada unsur yang keras karena jika sanksi tidak ada unsur kerasnya maka sanksi tersebut tidak akan berpengaruh bagi pelaku kejahatan. Tetapi jika sanksi keras, maka cukup efektif untuk menolak dan menakuti-nakutinya, sehingga membuat jera bagi pelaku kejahatan yang lain. Bukankah jika seorang dokter berpendapat bahwa pasien yang terkena kanker, obat satu-satunya harus diamputasi. Apakah kita akan mengatakan bahwa dokter tersebut kejam atau sadis dan tidak sesuai dengan kemanusiaan? Begitu juga dalam masyarakat, Syari’ah Islam sangat memperhatikan keselamatan anggota masyarakat dari penyakit kanker kriminal. Maka kewajibannya yaitu melakukan amputasi pada anggota yang rusak dan berpenyakit yang senantiasa menimbulkan kerusakan dan tidak dapat diharapkan kebaikannya.
Kenapa sanksi yang diberlakukan pada orang yang berzina muhshan dibunuh dengan cara dilempari batu sampai meninggal? Bukankah ini merupakan penghinaan bagi manusia? Bukankah ada cara lain untuk membunuh seperti di setrum listrik atau yang lainnya yang lebih cepat dari segi membunuh dan lebih baik? Bukankah nabi kalian memerintahkan manusia jika membunuh harus dengan cara yang baik?
Jawaban terhadap syubhat ini dapat dilihat dari dua sisi :
- Apakah dapat dibuktikan bahwa membunuh dengan listrik atau pistol atau lainnya lebih ringan dan lebih tidak menyakitkan dibanding dengan dibunuh dengan rajam?
- Sesungguhnya sanksi rajam bukan hanya bertujuan membunuh, tetapi yang dimaksud adalah membuat rasa takut dan gentar sehingga orang tidak berani melakukan tindakan perzinahan yang sangat keji. Kemudian sesungguhnya yang menentukan hukuman ini adalah Allah Dzat yang Maha Tahu akan tabiat manusia dan rahasia mereka. Allah berfirman: “Allah lebih mengetahui yang merusak dari yang baik .” Dan disebutkan dalam ayat lain: “Bukankah Allah yang menciptakan sedang Allah Maha lembut dan Maha Mengetahui?”