Tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan berkorban nyawa itu lebih tinggi martabatnya daripada jihad dengan harta. Oleh sebab itu orang-orang kaya di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, tidak menarik diri dari menyertai mereka dalam jihad dengan nyawa. Karena penggemblengan kepribadian dan semangat itu hanya akan sempurna dan tinggi di dalam dahsyatnya peperangan. Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepada seorang sahabat dengan sabdanya sebagai berikut:
وَعَلَيْكَ بِالْجِهَادِ فَإِنَّهُ رُهْبَانِيَّةُ اْلإِسْلاَمِ
“Dan wajib atas kamu berjihad, karena ia itu merupakan kependetaan dalam Islam.” (HR Ahmad)[1]
Oleh sebab itu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya :
أي فتن المرء في قبره؟ قال: كفى ببارقة السيوف على رأسه فتنة
“Apakah seseorang itu terkena fitnah (adzab) dikuburnya? Rasululllah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: Cukuplah bagi seseorang dengan kilatan pedang di kepalanya.” (HR Nasai)[2]
Dalam suatu riwayat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memperingatkan agar jangan sampai kesibukan duniawi itu melalaikan atau melupakan seseorang dari keharusannya ikut dalam jihad. Pernah di suatu kali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjuk alat pembajak tanah sambil bersabda:
لا يدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذل )رواه البخاري(.
“Tidaklah barang ini dimasukkan ke dalam rumah suatu kaum, melainkan Allah akan menghinakan kaum itu” (Bukhari)[3]
Yakni bila suatu kaum sibuk dengan bercocok tanam di ladangnya sehingga meninggalkan jihadnya, maka kaum tersebut akan ditimpa kerendahan dan kehinaan. Dan dalam kitab Shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا تبايعتم بالعينة، وأخذتم بأذناب البقر، ورضيتم بالزرع، وتركتم الجهاد، سلط الله عليكم ذلا لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم
“Bila kamu telah disibukan oleh berjual beli dengan ‘inah (tipu daya) dan kamu sibuk dengan sapi peliharaanmu dan engkau senang dengan cocok tanam dan kemudian engkau tinggalkan jihad, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan pada diri kamu kehinaan yang tidak bisa lepas daripadanya sehingga kamu kembali kepada agama kamu.” (Abu Dawud)[4]
Dan dalam kitab shahih juga terdapat hadits demikian:
لا تتخذوا الضيعة فترغبوا في الدنيا
“Janganlah engkau menyibukkan diri dengan harta yang banyak, niscaya engkau akan mencintai dunia.” (HR Tirmidzi)[5]
Maka dalam hadits-hadits tersebut di atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan godaan-godaan dunia dan beberapa sebab yang menyibukkan atau melalaikan jihad, yaitu: Tanah pertanian, perdagangan dengan riba, perdagangan dengan tipu daya, hasil-hasil hewan peliharaan, hasil-hasil industri dan harta kekayaan lainnya. Yang berarti bahwa bila kita menyibukkan diri dengan hal-hal tersebut di atas di waktu Islam dihadapkan kepada perang, hal tersebut termasuk haram dan merupakan pelanggaran syari’ah.
Adapun jihad dengan harta maka hal itu wajib apabila para mujahidin memerlukannya, dan diwajibkan atas wanita dan harta anak kecil juga, bahkan walaupun jihad yang fardhu kifayah sebagaimana yang difatwakan oleh Ibnu Taimiyah.[6] Oleh sebab itu kaum muslimin diharamkan menyimpan atau menabung harta di saat kaum muslimin memerlukannya dalam keperluannya yang sangat mencemaskan. Bahkan Ibnu Taimiyah pernah ditanya; ketika harta kaum muslimin sedikit, sementara timbul kelaparan dan serangan musuh yang bersamaan yang bila ditinggalkan salah satunya akan membahayakan kaum muslimin, mana yang didahulukan?
Ibnu Taimiyah menjawab: Kita akan mendahulukan jihad dalam melakukannya walaupun orang yang kelaparan itu mati karena kelaparan tersebut, sebagaimana dalam masalah tameng hidup. Kalau kita hendak menyerbu musuh, sedangkan di sana musuh menjadikan sebagian kaum muslimin sebagai tameng hidup kita tetap menyerangnya meskipun tawanan yang menjadi tameng hidup itu meninggal karena tindakan kita sedangkan orang kelaparan tadi mati dengan perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala.[7]
Al Qurtubi menyatakan, “Para ulama telah bersepakat bahwasanya bila datang keperluan kaum muslimin setelah penunaian zakat, maka kaum muslimin wajib mengeluarkan harta lagi untuk menyelesaikan keperluan tersebut.”[8]
Imam Malik menyatakan wajib atas sekalian kaum muslimin untuk menebus orang-orang Islam yang ditawan musuh walaupun akan menyebabkan habisnya harta mereka dan ini merupakan ijma ulama.[9]
Memelihara agama harus lebih didahulukan daripada nyawa dan memelihara nyawa harus lebih didahulukan daripada harta. Maka oleh sebab itu harta orang-orang kaya itu bukanlah sesuatu yang paling mahal dan tidak lebih mahal daripada darahnya kaum mujahidin. Oleh sebab itu para hartawan hendaknya berhati-hati terhadap hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam membelanjakan hartanya. Sedangkan jihad adalah seutama-utama keperluan.
Sementara agama kaum muslimin dan rumah-rumah mereka dihadapkan kepada program penghancuran, dan pada saat yang sama para hartawan tenggelam dalam kenikmatan syahwatnya. Kalau seandainya para hartawan itu menahan diri sehari saja dari segala kenikmatan syahwatnya dan menahan tangannya dari menghambur-hamburkan hartanya dalam kehidupan mewah sehari itu, kemudian disumbangkan kepada kaum mujahidin di Afghanistan, yang mereka itu mati karena kedinginan, dan kaki mereka pecah-pecah karena salju, dan mereka tidak mendapatkan kain untuk menutup dirinya dari kedinginan, dan mereka tidak mempunyai simpanan apa-apa untuk diri mereka sendiri dan untuk menahan darah mereka yang mengalir.
Aku katakan: Seandainya para hartawan itu mau menyumbangkan hartanya yang dipakai untuk membelanjakan kehidupan mewahnya sehari saja kepada para mujahidin Afghanistan, niscaya dengan hartanya itu akan membawa perubahan yang besar dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam jihad mereka menuju kemenangan. Dan para ulama besar sungguh telah mengeluarkan fatwa , yang paling terkenal ialah Syaikh bin Bazz rahimahullah yang menyatakan bahwa membelanjakan zakat bagi kaum muslimin mujahidin Afghanistan adalah sebesar-besar usaha pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan semulia-mulianya sedekah.
Rangkuman:
- Jihad dengan kesediaan mengorbankan nyawa adalah fardhu ‘ain atas segenap kaum muslimin di seluruh dunia.
- Tidak ada keharusan izin dari siapapun dalam menjalankan jihad ini. Oleh sebab itu kedua orang tua tidak mempunyai hak mengizinkan atau tidak, terhadap anaknya yang akan berangkat jihad fi sabilillah.
- Jihad dengan membelanjakan harta bagi usaha-usaha memerangi musuh adalah fardhu ‘ain dan haram hukumnya menyimpan harta selama jihad pembebasan suatu wilayah negara kaum muslimin masih berlangsung dan masih memerlukan harta kaum muslimin.
- Sesungguhnya meninggalkan jihad hukumnya sama dengan meninggalkan shalat dan puasa. Bahkan meninggalkan jihad di hari-hari ini lebih besar dosanya. Ibnu Rusydi menyatakan bahwa jihad bila telah diputuskan untuk dilaksanakan, adalah lebih diutamakan daripada menunaikan haji yang wajib sekalipun
[1] Hadits Hasan. Hadits ini adalah potongan dari hadits yang panjang dengan lafal yang beraneka macam, diriwayatkan dari Abu Sa’id oleh Ahmad, Musnad, 3:82, ath-Thabrani, Mu’jam Ash Shaghir, 2:156, Abu Ya’la, Al Musnad, . Diriwayatkan pula dari Abu Dzar oleh Ibnu Hibban, Mawarid Dham’an 1:52-56 dan Shahih Ibnu Hibban, 2:76-81. At Thabrani, Musnad Al Kabir, 2:157, Musnad As Syihab, 1:431, Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik oleh Ibnu Al Mubarak,Kitab Al Jihad, 1:35
Lihat juga di Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, Al Albani, no hadits, 4305
[2] Hadits Mursal shahih, hadits ini diriwayatkan secara mursal oleh Rasyid bin Sa’d di dalam An Nasa’I, Sunan Kubro, 1;660, As Sunan, 4;99, Ibnu Abi Ashim, Al Jihad, 2;571
Periksa juga, shahih Al Jami’ Ash Shaghir, Al Albani, no hadits 4359
[3] Hadits Shahih, diriwayatkan dari Abu Umamah Al Bahili oleh Bukhari, Ash Shahih, 2;817, Lihat juga pada Silsilah Ahadits Shahihah, Al Albani, nomor hadits 10
[4] Hadits Shahih, diriwayatkan dari Ibnu Umar oleh Abu Dawud, As Sunan, 3;274, Ahmad, Al Musnad, 2;28, 84, Al Baihaqi, Sunan Al Kubro, 5;316, Lihat Silsilah Ahadits Shahihah, Al Albani, nomor hadits 11
[5] Hadits hasan, diriwayatkan dari Ibnu Umar, oleh At Tirmidzi, As Sunan, 4;565, Ibnu Hibban, Ash Shahih, 2;487, Mawarid adh-Dham’an, 1;612, Al Hakim, Al Mustadrak, 4;358, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7;84, Ahmad, Al Musnad, 1;377,426,443. LihatSilsilah Ahadits Shahihah, Al Albani, nomor hadits 12
[6] Al Fatawa Al Kubro, 4;607
[7] Al Fatawa Al Kubro, 4;608
[8] Al Qurthubi, 2;242
[9] Ibid