Jihad Fi Sabilillah (2)

Orang-orang yang menulis seputar jihad dalam Islam bertujuan membela Islam atas tuduhan palsu. Sebagian mereka yang minder (inferior) secara spiritual dan intelektual biasanya menjadikan tumpang tindih antara manhaj agama di dalam nash (yang mencela penggunaan kekerasan demi akidah) di satu sisi, dan manhaj yang meruntuhkan kekuatan politik yang riil di sisi lain –yakni kekuatan yang menghalangi manusia untuk bersentuhan dengan manhaj ini, yang menyebabkan manusia mengabdi kepada sesamanya, dan yang mencegah mereka dari peribadatan kepada Allah. Kedua manhaj itu merupakan dua hal yang tak ada sangkut pautnya, dan tak ada kesamaran di antara keduanya. Untuk penggabungan keduanya, dan karena kerancuan tersebut, mereka berusaha keras membatasi jihad dalam Islam hanya dalam upaya yang mereka sebut “Perang Defensif” (defensive war). Padahal, jihad dalam Islam adalah masalah lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan peperangan manusia dewasa ini; bukan merupakan faktor pemicu perang, dan bukan pula merupakan bentuk adaptasinya.

Faktor-faktor pemicu jihad dalam Islam perlu ditelusuri dalam substansi Islam, baik identitas dan perannya di bumi, maupun tujuan-tujuan mulianya yang telah ditetapkan Allah. Allah menuturkan bahwasanya demi tujuan tersebut, Dia mengutus Rasul-Nya dengan risalah ini, menjadikannya sebagai nabi terakhir, dan menjadikan risalah tersebut sebagai risalah paripurna.

Sejatinya, agama (Islam) ini merupakan proklamasi pembebasan manusia di bumi dari ketundukan kepada makhluk –termasuk juga ketundukan terhadap hawa nafsunya- dengan memproklamasikan ketuhanan Allah semata dan kemahakuasaan-Nya terhadap alam semesta. Pemakluman kemahakuasaan Allah terhadap alam semesta, berarti perombakan total terhadap kekuasaan manusia dalam segala bentuk, tatanan, aturan, dan kreasinya, dan juga kesombongannya atas semua yang terjadi di muka bumi. Hukum Allah –dalam pernyataan ini- bagi manusia mengejawantah dalam sebuah ideologi. Dikatakan demikian, karena hukum yang sumber ketentuannya pada manusia, dan sumber kekuasaannya adalah manusia, ini merupakan bentuk penuhanan terhadap manusia, di mana sebagian mereka menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Proklamasi di atas mengandung maksud mengambil wewenang Allah dan mengembalikannya kepada Allah, serta menyingkirkan pihak-pihak yang telah mengambil alih wewenang itu, yakni mereka yang mengendalikan khalayak dengan aturan-aturan menurut hawa nafsunya, seolah-olah mereka menggantikan posisi para dewa, sementara khalayak menempati posisi sahaya. Proklamasi ini berarti meruntuhkan “kerajaan manusia” untuk mendirikan “Kerajaan Allah” di bumi. Atau dengan ungkapan al-Qur’an:

“Dan Dia-lah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi, dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf [43] : 84)

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus…” (QS. Yusuf [12] : 40)

“Katakanlah: ‘Wahai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidaklah kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sesembahan selain Allah.’ Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” (QS. Ali Imran [3] : 64)

“Kerajaan Allah” di bumi tidak bisa tegak dalam situasi pemerintahannya di bumi dikendalikan oleh para pemuka agama dengan kekayaan mereka, sebagaimana fenomena yang terjadi dalam rezim gereja; tidak pula oleh tokoh-tokoh yang berbicara atas nama Tuhan sebagaimana situasi dalam apa yang dikenal dengan istilah “teokrasi” atau pemerintahan tuhan yang disakralkan. Akan tetapi, Kerajaan Allah bisa tegak apabila syariat Allah menjadi pemerintahnya, dan sumber ketentuannya ada di tangan Allah sesuai dengan aturan yang jelas yang telah ditetapkan-Nya.

Penegakan Kerajaan Allah di bumi, penafian kerajaan manusia, pengambilan paksa kekuasaan dari tangan manusia yang merampasnya, dan pengembalian kekuasaan kepada Allah semata di satu sisi, dan implementasi syariat Allah semata dan pemakzulan undang-undang manusia di sisi lain, semua itu tidak bisa terealisasi hanya dengan retorika dan wacana. Karena, para penguasa yang berpengaruh dan pihak yang merampas otoritas Allah di bumi, mereka tidak akan menyerahkan otoritasnya begitu saja hanya disebabkan retorika dan wacana. Bila tidak demikian, tentunya lebih mudah bagi Rasulullah untuk memproklamasikan agama Allah di bumi. Maka, yang terjadi adalah kebalikan dari peristiwa yang telah tercatat dalam sejarah para Rasul –shalawatullah wa salamuh ‘alaihim– dan dalam sejarah agama ini sepanjang masa.

Seruan pembebasan manusia di bumi dari segala bentuk kekuasaan selain kekuasaan Allah, dengan memproklamasikan ketuhanan (uluhiyyah) Allah semata dan kemahakuasaan-Nya (rububiyyah) terhadap alam semesta, ini bukan merupakan seruan yang bersifat teoritis-falsafi yang pasif. Tetapi, berupa proklamasi yang menjelma dalam pergerakan kontemporer yang proaktif, yakni maklumat secara luas yang menghendaki implementasi pragmatis dalam bentuk sistem yang mengatur manusia dengan syariat Allah, dan yang melepaskan mereka dari ketundukan kepada makhluk menuju ketundukan kepada Allah semata.

Jadi jelaslah, seruan ini, mau tak mau, harus mengambil langkah pergerakan (alharakah), disamping langkah wacana (albayan). Demikian ini bertujuan untuk menghadapi realitas kemanusiaan –dengan segala dimensinya- dengan fasilitas-fasilitas yang relevan untuk masing-masing dimensinya.

Realitas manusia yang berperadaban –kemarin, kini, atau esok- senantiasa bergumul dengan agama ini dalam kapasitasnya sebagai seruan pembebasan manusia di bumi dari segala kekuasaan selain kekuasaan Allah. Dalam konteks ini, manusia menggunakan sekat-sekat teologi imajiner dan sekat-sekat kebendaan yang riil, serta sekat-sekat politik, kemasyarakatan, ekonomi, etnis, dan kasta. Bahkan sampai berupa sekat keyakinan sesat dan konsepsi-konsepsi yang irasional. Semuanya tumpang tindih, antara yang satu dan yang lain, dan saling mempengaruhi dalam sebuah ideologi yang mengkristal namun sangat rancu.

Sementara itu, apabila langkah wacana (albayan) tampil menghadapi berbagai teologi (aqidah) dan konsepsi, maka langkah pergerakan (al-harakah) tampil bergumul dengan sekat-sekat –yang bersifat fisik- lainnya. Awalnya, ia berhadapan dengan kekuatan politik yang lebih dominan dari pada unsur-unsur teologi-imajiner, etnis, kasta, kemasyarakatan, dan ekonomi, yang mengkristal dan memiliki jaringan (network). Keduanya –langkah wacana dan harakah- bersama-sama menghadapi realitas kemanusiaan secara totalitas, dengan fasilitas-fasilitas yang relevan untuk masing-masing komponennya. Keduanya, mau tak mau, harus memulai gerakan pembebasan bagi manusia di bumi…yakni bagi seluruh umat manusia di segala penjuru bumi. Inilah poin penting yang harus dikukuhkan sekali lagi.

Sesungguhnya agama ini bukanlah sebuah proklamasi pembebasan manusia bangsa Arab; bukan pula sebuah misi khusus untuk komunitas Arab. Sasaran proklamasi ini adalah manusia…ras manusia; dan medannya adalah bumi…seluruh (penjuru) bumi. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala bukanlah Tuhan bagi komunitas Arab saja, dan bahkan bukan pula Tuhan bagi orang yang memeluk akidah Islam semata, melainkan Allah adalah Tuhan bagi seluruh alam.

Agama inii menghendaki agar seluruh alam dikembalikan kepada Tuhan mereka, dan melepaskan mereka dari perbudakan kepada selain-Nya. Perbudakan besar pada manusia –di mata Islam- adalah berupa ketundukan manusia pada hukum-hukum yang diberlakukan -kepada mereka- oleh sekelompok manusia. Hal ini merupakan bentuk ibadah; padahal telah ditetapkan bahwasanya ibadah, tidak boleh tidak, hanya kepada Allah. Sesungguhnya orang yang menghadap –dengan suatu ibadah- kepada selain Allah berarti telah keluar dari agama Allah meski ia mengaku bahwa ia memeluk agama (Islam) ini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  telah menggariskan bahwasanya mengikuti (al—ittiba’) aturan dan hukum tertentu merupakan suatu ibadah, di mana sebab inilah kaum Yahudi dan Nasrani menjadi golongan kaum musyrik yang melanggar “ibadah kepada Allah semata” yang telah diperintahkan kepada mereka.

Imam Tirmidzi r.a. –dengan sanadnya- meriwayatkan dari ‘Adiy bin Hatim, bahwasanya tatkala dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai kepadanya, ia pergi menuju Syam –ia memeluk Nasrani pada masa jahiliyah. Suatu ketika, saudara perempuannya dan sekelompok orang dari kaumnya tertawan. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik kepada saudara perempuannya, lalu membebaskannya. Lantas ia kembali kepada saudara laki-lakinya (yakni ‘Adiy), serta membujuknya untuk masuk Islam dan mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Adiy menceritakan kepada khalayak perihal kedatangannya. Kemudian ia mengunjungi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sementara di lehernya tergantung salib dari perak. Nabi lantas membaca ayat ini:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai sesembahan selain Allah…” (QS. At-Taubah [9]  : 31)

‘Adiy menepis, “Menurutku, kaumku tidak menyembah mereka (para alim dan rahibnya).” “Memang begitu. Namun, bukankah mereka mengharamkan bagi kaummu perkara yang halal, dan menghalalkan bagi kaummu perkara yang haram; lantas kaummu mengikuti mereka?! Maka, yang demikian ini merupakan ibadah (ketundukan) kaummu kepada mereka (para alim dan rahibnya)”, sabda Nabi menimpali.

Penafsiran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam atas firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas merupakan ketetapan yang menegaskan bahwasanya mengikuti aturan dan hukum tersebut berarti ibadah di luar agama; dan bahwasanya ibadah bisa berupa menganggap sebagian manusia sebagai tuhan bagi sebagian yang lain…inilah perkara yang yang hendak dihapuskan oleh agama ini sejak kehadirannya. Dan agama ini ingin menyerukan pembebasan manusia di bumi dari penghambaan kepada selain Allah.

Semakin jelaslah bahwa Islam, mau tak mau, harus membumi untuk menyingkirkan realitas yang bertentangan dengan seruan pembebasan. Dengan wacana dan harakah sekaligus. Islam harus mempersiapkan berbagai strategi untuk menghadapi kekuatan politik yang memperbudak manusia kepada selain Allah –maksudnya, mengatur mereka dengan selain aturan dan ketentuan Allah- dan yang menghalangi manusia dari upaya mengakses wacana (al-bayan) dan mendekati akidah secara bebas, tanpa intervensi penguasa. Kemudian, agar Islam menjalankan tatanan sosial, ekonomi, dan politik, yang mendorong “gerakan kemerdekaan diri” dengan kebebasan yang aktif –pasca runtuhnya rezim diktator- entah berupa aktivitas politik murni, maupun aktivitas yang melebur dengan etnis tertentu atau kasta tertentu di dalam etnis yang sama.

Sesungguhnya Islam sama sekali tidak bermaksud memaksa manusia untuk memeluk akidahnya…karena Islam bukanlah semata-mata akidah. Islam –sebagaimana telah kami katakan- adalah seruan pembebasan manusia dari ketundukan kepada makhluk. Sebagai permulaan, Islam memfokuskan pada penghapusan beberapa sistem dan tatanan rezim yang berdiri di atas perbudakan manusia terhadap sesama, dan ketundukan insan kepada insan. Kemudian, setelah penghapusan itu, dilanjutkan pembebasan individu-individu secara bebas-aktif agar ia memilih akidah yang dikehendaki oleh pilihannya sendiri; yakni, bila sudah tidak ada tekanan politik terhadap mereka, dan setelah adanya wacana yang mencerahkan bagi jiwa dan akal mereka. Akan tetapi, usaha ini bukan berarti menjadikan hawa nafsu sebagai ‘tuhan’ mereka, atau mereka dengan sendirinya memilih menjadi ‘budak’ kepada sesamanya. Juga bukan berarti sebagian manusia menganggap sebagian lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

 Sejatinya, sistem yang mengatur manusia di bumi haruslah berprinsip pada ketundukan semata-mata kepada Allah; dan ini bisa terjadi dengan berpedoman pada aturan-aturan dari Allah semata. Dalam kondisi ini, setiap individu –di bawah naungan sistem yang umum ini- bebas memeluk akidah yang hendak dianutnya. Inilah realisasi ad-din kulluhu lillah (agama itu semata-mata untuk Allah), yakni ketergantungan, ketundukan, ittiba’, dan peribadatan, semata-mata ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sesungguhnya orientasi agama lebih luas cakupannya daripada orientasi akidah. Karena, agama adalah manhaj sekaligus tatanan yang mengatur kehidupan. Memang, agama di dalam Islam berlandaskan pada akidah, akan tetapi ia lebih luas cakupannya daripada akidah. Sementara dalam Islam, dimungkinkan adanya loyalitas berbagai macam komunitas terhadap manhajnya yang umum, yang berdiri di atas prinsip ketundukan kepada Allah semata, meski di antara komunitas tersebut tidak memeluk akidah Islam.

Orang yang memahami substansi agama ini –sesuai gambaran yang telah disebutkan terdahulu- akan memahami pula kebebasan sejati dalam harakah Islam dalam bentuk jihad dengan pedang, di samping berjihad dengan wacana. Selain itu, ia juga akan memahami bahwa langkah tersebut bukan merupakan pergerakan defensif (defensive movement) dalam arti sempit[1], melainkan gerakan keberanian dan kebebasan untuk memerdekan manusia di bumi. Ini dilakukan dengan berbagai fasilitas yang sebanding dengan segala dimensi realitas kemanusiaan, dan dalam beberapa tahapan yang ditentukan; yakni bagi masing-masing tahapan terdapat fasilitas-fasilitas yang up to date.

Apabila tak ada alternatif selain menamakan harakah jihad Islam sebagai pergerakan defensif, mau tak mau, kita harus mengubah pemaknaan kata difa’ (yang berarti ”membela diri”), dengan makna “pembelaan atas manusia” (difa’an ‘anil-insan). Maksudnya, pergerakan melawan segala unsur yang membelenggu kemerdekaan diri dan menghalangi kebebasan aktivitas manusia. Unsur-unsur tersebut menjelma dalam berbagai kepercayaan dan konsepsi, serta menjelma dalam sistem-sistem politik yang berlandaskan pada sekat-sekat ekonomi, kasta, dan etnis. Semua itu sudah menghagemoni di seluruh penjuru bumi pada hari ketika Islam datang, dan sampai sekarang coraknya masih dominan dalam masyarakat modern.

Dengan perluasan makna difa’ (defensif) ini, kita bisa menemukan substansi motif kebebasan Islami di bumi dengan jihad dan menjumpai karakter Islam yang sejati. Yakni, bahwa Islam adalah seruan pembebasan manusia dari perbudakan sesama manusia; penetapan ketuhanan Allah semata dan kemahakuasaan-Nya atas semua makhluk; dan pemusnahan cengkeraman nafsu manusia di bumi, sekaligus pembangunan Kerajaan Syariat Ilahi di dunia manusia.

Adapun langkah pembentukan pos-pos pertahanan untuk jihad Islam dalam arti sempit bagi pemahaman kontemporer atas perang defensif; dan upaya penggalangan dukungan untuk menegaskan bahwa fenomena jihad Islam semata-mata bertujuan menghadang musuh dari negara yang berbatasan langsung dengan teritorium tanah air Islam (yang cukup populer yaitu Jazirah Arab), keduanya merupakan langkah yang memperlihatkan minimnya pemahaman akan watak sejati agama ini dan substansi peranan yang hendak diusungnya di bumi, di samping mengindikasikan inferior complex di tengah himpitan realitas kekinian, dan di hadapan tuduhan orientalisme yang licik menghujat jihad Islam.

Menurut Anda, andaikata Abu Bakar, Umar, dan Utsman –radhiyallah ‘anhum- merasa aman dari agresi Romawi dan Persia  ke Jazirah Arab, lantas apakah mereka hanya bersambalewa dari langkah ekspansi Islam ke berbagai wilayah?! Bagaimana –menurut Anda- mereka berusaha memproteksi wilayah ekspansi tersebut, sementara di hadapan dakwah berdiri sekat-sekat kekuatan fisik yang berasal dari rezim-rezim politik negara, aturan main (berkenaan dengan etnis dan sistem kasta) dalam masyarakat, dan sistem ekonomi yang berkembang atas dasar pertimbangan keetnisan dan kekastaan, serta sistem yang ditopang kekuatan fisik negara?!

Sederhana saja sebenarnya, yakni manusia yang beradab mendambakan sebuah dakwah yang memproklamasikan pembebasan manusia, ras manusia di bumi, di seluruh penjuru bumi. Kemudian dakwah ini melawan sekat-sekat di atas, yakni menghadapinya dengan retorika dan wacana. Retorika dan wacana digunakan dalam dakwah ketika sekat-sekat tersebut bisa dipisahkan dari individu-individu, sehingga dakwah bisa leluasa berdialog dengan mereka, sementara mereka sendiri bebas dari segala pengaruh (tekanan). Maka, di sinilah wujud firman-Nya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”[2]

Namun, apabila masih dijumpai sekat-sekat dan tekanan-tekanan fisik, maka dakwah mau tak mau, harus menyingkirkannya lebih dulu dengan kekuatan fisik, agar lebih leluasa ketika berdialog dengan hati dan akal manusia dalam kondisi terbebas dari belenggu-belenggu tersebut.

Sesungguhnya jihad merupakan sesuatu yang diperlukan bagi dakwah jika tujuannya adalah proklamasi pembebasan manusia dengan seruan yang serius untuk menghadapi realitas pragmatis, dengan berbagai fasilitas yang relevan untuk setiap dimensinya; dan tidak cukup hanya dengan wacana filosofis-teoritis belaka. Sama saja, entah tanah air Islam (al-wathan al-islami)[3] dalam kondisi aman atau sedang di bawah tekanan negara tetangga. Ketika berusaha keras mewujudkan perdamaian, Islam tidaklah menghendaki perdamaian yang fleksibel, yakni semata-mata ketenteraman daerah tertentu yang penduduknya memeluk akidah Islam. Tetapi Islam menghendaki kedamaian di mana agama itu semata-mata hanya untuk Allah. Maksudnya, ketundukan semua penduduknya  semata-mata kepada Allah, tidak ada diantara penduduknya yang menjadikan sesamanya sebagai sesembahan selain Allah.

Dan yang penting adalah tahap (fase) terakhir yang hendak dilalui oleh gerakan jihad dalam Islam –atas perintah Allah-, bukannya tahap-tahap awal perjalanan dakwah, bukan pula tahap pertengahan. Fase harakah ini benar-benar mencapai titik akhir sebagaimana dituturkan oleh Ibnul Qayyim:

Posisi kaum kafir terhadap Nabi, pasca turunnya surat Bara’ah, telah ditetapkan menjadi tiga kelompok. Pertama, pihak yang memerangi beliau; kedua, pihak yang terikat perjanjian (ahlul ‘ahdi); dan ketiga, pihak yang meminta jaminan keamanan (ahlu dzimmah). Pada fase selanjutnya, posisi kelompok kedua -yakni pihak yang memilih perjanjian dan perdamaian, bergeser posisi di pihak Islam. Sehingga, tinggallah mereka hanya dua kelompok yang bersinggungan: kelompok yang memerangi beliau dan kelompok ahlu dzimmah. Dalam pada itu, kaum yang memerangi beliau ternyata takut kepada beliau. Dengan demikian, jadilah penduduk bumi, di hadapan Nabi, terbagi dalam tiga kelompok: kaum muslim yang beriman kepada beliau, kaum yang berdamai dan berlindung kepada beliau, dan kaum penakut yang melawan beliau.

Demikianlah, langkah-langkah rasional disertai tabiat dan tujuan-tujuan agama Islam, tidak seperti apa yang dipahami oleh kaum intelektual yang minder di hadapan realitas kekinian, dan di depan hujatan licik kaum orientalis.

Allah melarang kaum muslimin mengobarkan perang di Mekah, dan pada periode awal Hijrah di Madinah. Dalam fase ini, difirmankan kepada kaum Muslimin:

Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!” (QS. An-Nisa’ [4] : 77)

Pada periode kemudian, mereka diizinkan melakukan perlawanan. Difirmankan kepada mereka:

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah’.”

“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar. Dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj [22]  : 39 – 41)

Tahap selanjutnya, kaum Muslimin diwajibkan memerangi pihak-pihak yang memerangi mereka, di luar pihak yang tidak memerangi mereka. Dalam konteks ini, dititahkan kepada mereka:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu…” (QS. Al-Baqarah [2] : 190)

Barulah setelah itu, kaum muslimin diwajibkan berjibaku melawan kaum musyrik secara total. Berkenaan dengan hal ini, Allah berfirman:

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya…” (QS. At-Taubah [9] : 36)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang yang benar (agama Allah), (yaitu) orang-orang yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah [9] : 29)

Dengan demikian, hukum berperang –menurut pendapat Ibnul Qayyim- awalnya adalah dilarang, kemudian diizinkan, lalu diperintahkan (perang) melawan pihak yang memulai perang, barulah setelah itu diperintahkan (perang) terhadap semua kaum musyrik.

Keseriusan nash-nash al-Quran membicarakan jihad; kesungguhan hadist-hadist Nabi menganjurkannya; dan pengalaman fenomena jihad di masa awal Islam, dan di sepanjang perjalanan sejarahnya, semua kenyataan tersebut dengan sendirinya menepis interpretasi yang diutarakan kaum intelektual yang minder di depan himpitan realitas kekinian dan di hadapan tuduhan orientalis yang licik menghujat jihad Islam.

Siapa lagi yang akan mendengarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Rasul-Nya dalam masalah ini, lalu mengikuti langkah jihad Islam dan menganggapnya sebagai hal baru yang inheren dengan situasi-situasi yang serba dinamis, jika ia berhenti pada paradigma pembelaan (defence) untuk memproteksi wilayah teritorial?!

Padahal, Allah telah menjelaskan kepada kaum mukmin, dalam permulaan ayat yang turun berkenaan dengan legalitas perang bagi mereka bahwasanya merupakan keniscayaan sejarah (sunnatullah, hukum alam – penerj.) dalam kehidupan dunia ini, manusia akan saling berebut kekuasaan terhadap sesamanya, untuk melindungi diri dari marabahaya di bumi, sebagaimana firman-Nya:

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah’. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah…(QS. Al-Hajj [22]  : 39 – 40)

Demikian ini adalah keniscayaan sejarah (sunnatullah), bukan fenomena yang baru. Termasuk keniscayaan sejarah, kebenaran dan kebatilan selamanya tidak bisa hidup berdampingan di bumi. Tatkala Islam telah melancarkan seruannya untuk menegakkan kemahakuasaan Allah atas alam semesta dan membebaskan manusia dari perbudakan terhadap sesamanya, niscaya pihak-pihak yang mengambil alih otoritas Allah di bumi akan menentangnya dan sama sekali enggan berdamai dengannya. Demikian halnya apabila Islam berinisiatif melumpuhkan mereka untuk melepaskan manusia dari cengkeraman mereka dan melindungi manusia di bumi dari penguasa yang diktator itu. Selamanya akan demikian adanya. Dan seiring dengan itu, gerakan jihad pembebasan (liberation) tidak akan berpangku tangan, sampai akhirnya agama itu semata-mata untuk Allah.

Sesungguhnya larangan berperang di Mekah tidak hanya berlaku pada periode tertentu dalam catatan perjalanan yang panjang; begitu pula, ketetapan (legalitas perang) pada fase awal hijrah. Adapun faktor yang mendorong komunitas Muslim di Madinah -setelah berlalunya fase awal- berinisiatif (jihad) bukanlah semata-mata langkah protektif terhadap Madinah. Ini memang target utama yang otomatis, akan tetapi bukanlah tujuan final. Faktor itu berupa tujuan mengamankan fasilitas kemerdekaan dan memproteksi landasan harakah, yakni harakah untuk membebaskan manusia dan melepaskan sekat-sekat yang membelenggu kebebasan dirinya.

Langkah kaum muslimin menahan diri dari berjihad dengan pedang bisa dimaklumi, karena langkah ini memungkinkan terpeliharanya kebebasan menyampaikan dakwah di Mekah. Dengan langkah ini, sang pengemban dakwah -yakni Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam– bisa leluasa berdakwah dengan perlindungan pedang-pedang Bani Hasyim, berdialektika dengan pendengaran, akal, dan nurani manusia, serta bertatap muka dengan berbagai individu.

Pada masa itu, tidak ada hagemoni rezim politik yang memberangus penyampaian dakwah, ataupun yang menghalangi dakwah sampai kepada berbagai individu. Oleh karena itu, pada fase ini, tidak diperlukan kekuatan fisik. Hal tersebut, di samping faktor-faktor lain, bisa jadi sebenarnya diperlukan pada fase ini. Berkenaan dengan hal ini, penulis telah merangkum ikhtisarnya dalam kitab Fi Zhilalil-Quran ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!’” (QS. An-Nisa’ [4] : 77)

Dan tidak ada salahnya, pada kesempatan ini penulis menuturkan sebagian ikhtisar tersebut di bawah ini.

Barangkali, tidak dibolehkan berperang karena periode Mekah merupakan periode penggemblengan dan persiapan (fatrah tarbiuah wa i’dad), dalam lingkungan yang eksklusif, terhadap suatu komunitas yang spesifik, dan di tengah-tengah berbagai keterbatasan. Diantara tujuan penggemblengan dan persiapan secara mandiri dalam nuansa seperti ini adlah sebagai berikut.

Pertama, menggembleng jiwa individu Arab untuk bersabar menghadapi penindasan yang umumnya tak mampu dihadapi oleh pribadinya ataupun orang-orang dekatnya. Demikian ini agar jiwanya menjadi bersih dan pikirannya obyektif. Sehingga, dirinya dan orang-orang dekatnya tidak kembali ke jalan hidup menurut pikirannya dan motif aktivitas kesehariannya.

Kedua, menggembleng pengendalian emosi; jangan sampai emosinya mudah terpancing terhadap kejadian penting yang mengharukan -sebagaimana terjadi pada watak asalnya; dan jangan sampai emosinya mudah bergejolak terhadap stimulan yang kuat. Dengan demikian, menjadi sempurnalah keseimbangan dalam tabiat dan aktivitasnya.

Dan ketiga, gemblengan untuk berbaur dalam organisasi yang terstruktur rapi yang memiliki kepemimpinan yang bisa dipedomani dalam segala bidang kehidupan, sehingga seseorang hanya akan berperilaku sesuai apa yang ditetapkannya -meski terkadang bertentangan dengan kebiasaan dan hukum adatnya. Hal ini sungguh merupakan “batu fondasi” dalam mempersiapkan kepribadian bangsa Arab untuk menumbuhkan masyarakat Islam yang loyal terhadap kepemimpinan yang terarah, yang berkembang nan berperadaban, yang tidak biadab ataupun sektarian.

Barangkali juga, karena dakwah “dengan tangan kosong” lebih efektif dan lebih praktis, untuk lingkungan seperti kaum Quraisy yang mempunyai arogansi dan reputasi. Sehingga, berseteru dengan kaum Quraisy pada fase permulaan dakwah ini bisa menyebabkan mereka kian menentang dan memicu balas dendam berdarah sebagaimana aksi-aksi balas dendam yang terkenal di tanah Arab, di mana telah menyebabkan perang saudara, kelaparan merajalela, dan pengusiran massal, selama bertahun-tahun…berbagai kabilah saling berseteru -pada masa-masa itu- sampai titik darah penghabisan. Aksi-aksi balas-membalas yang berkelanjutan ini, dalam pikiran dan kenangan mereka, dikait-kaitkan dengan Islam, sehingga mereka (bangsa Arab) selamanya tidak bisa tenang. Dalam keadaan demikian, Islam memalingkan dari penyampaian suatu dakwah dan agama, dialihkan pada upaya menghilangkan dendam-dendam dan permusuhan -inilah yang menjadi tujuan utamanya pada masa-masa awal. Sehingga, dengan demikian bangsa Arab selamanya tidak lagi mengenangnya.

Kemungkinan lain, langkah tersebut bertujuan menghindari timbulnya pertikaian dan perselisihan internal antar anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Karena, di dalam rumah, tidak ada otoritas sistemik yang bersifat umum. Inilah faktor yang menyiksa dan menimbulkan bahaya bagi orang-orang mukmin. Perselisihan yang terjadi diserahkan kepada para wali (kepala keluarga) tiap-tiap individu, yang bisa jadi akan menyiksa, menindas, dan “memberi pelajaran” terhadap mereka (kaum mukmin). Adapun makna izin berperang (al-idzn bil qital) -dalam situasi seperti ini- yaitu kebolehan berseteru dan bertikai dalam lingkungan rumah (keluarga) sendiri. Sampai-sampai dikatakan: “Ini toh Islam itu!” Ucapan (cibiran) ini sering dilontarkan, hingga akhirnya Islam menyuruh menahan diri dari berjibaku.

Pada masa-masa itu, propaganda kaum Quraisy gencar dilancarkan di tengah-tengah khalayak Arab yang menjalankan ibadah haji dan perdagangan. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad telah memisahkan anak dari orangtuanya, lebih dari itu, juga memisahkannya dari kaum dan sanak familinya. Lantas, bagaimana seandainya ia juga menyuruh sang anak membunuh orang tuanya, dan menyuruh budak membunuh majikannya, di setiap rumah dan setiap tempat?!”

Kemungkinan juga, itu dilakukan berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah bahwasanya banyak penentang Islam yang -karena alasan agama- menyiksa, menyakiti, dan menindas orang-orang yang terdahulu masuk Islam, di kemudian hari, diri mereka akan menjadi bagian dari pasukan Islam yang sejati, bahkan termasuk diantara para panglima Islam.

Bisa jadi, hal tersebut terjadi karena semangat kearaban, dalam nuansa sukuisme. Biasanya, suku Arab akan menuntut balas bagi anggotanya yang dizalimi, yang menanggung kepedihan, dan mereka akan pantang mundur! Lebih-lebih bila hal tersebut menimpa para tokoh terkemuka mereka. Sungguh, banyak peristiwa yang bisa menjadi bukti atas asumsi ini -dalam nuansa sukuisme. Ibnu Daghnah misalnya, tidak bisa meninggalkan Abu Bakar -tokoh yang dihormatinya- ikut berhijrah dan keluar dari Mekah. Ia menganggap kejadian itu sebagai “aib” bagi kaum Arab. Ia bahkan memberikan perlindungan dan penjagaan bagi Abu Bakar. Gejala ini mencapai puncaknya tatkala ia melanggar kesepakatan pemboikotan Bani Hasyim terhadap massa Abu Thalib -setelah cukup lama mereka kelaparan dan sangat menderita. Mengingat, di tempat lain yang berperadaban kuno -yang terkungkung dalam inferioritas- terkadang sikap berpangku tangan atas penderitaan orang malah bisa menimbulkan ejekan, sarkasme, dan cemoohan dari masyarakat; begitu pula dengan sikap memuji pihak penganiaya yang zalim nan kejam!

Bisa jadi juga, langkah tersebut disebabkan sedikitnya jumlah pemeluk Islam pada waktu itu, dan terkonsentrasinya kaum Muslimin di Mekah. Karena, ketika itu dakwah Islam belum menyentuh wilayah lain Jazirah. Atau, barangkali dakwah sudah menyebar akan tetapi tidak terkoordinasi, karena biasanya kabilah-kabilah mengambil sikap netral bila terjadi pertikaian internal suku Quraisy dengan beberapa baninya, sampai kabilah itu mengetahui duduk persoalannya. Dengan mengangkat senjata, bisa jadi pertikaian internal itu dengan sendirinya terhenti dengan kalahnya kelompok minoritas Muslim -sampai-sampai jika mereka (kaum Quraisy) mengangkat senjata, maka kabilah tersebut termasuk di antara yang akan diperangi. Sehingga, kemusyrikan tetap saja lestari; kelompok Muslim kemungkinan akan musnah; tatanan Islam tidak sempat tegak di bumi; dan tidak akan dijumpai eksistensi Islam yang fenomenal. Padahal, Islam adalah agama yang hadir untuk menjadi way of life (minhajul-hayah) dan tatanan realistis yang aplikatif bagi kehidupan.



[1] Baru muncul belakangan ini, dipahami dari istilah “Perang Defensif” (al-harb ad-difa’iyyah, defensive war). Istilah ini diwacanakan oleh kaum intelektual yang minder (mahzum) di tengah himpitan realitas kekinian dan di hadapan tuduhan kaum orientalis yang licik menghujat formulasi pergerakan jihad dalam Islam.

[2] QS. Al-Baqarah [2] : 256

[3] Lebih tepatnya dikatakan “Negara Islam” (DarulIslam)