Berbeda halnya dengan situasi di Madinah. Pada awal periode hijrah, perjanjian damai yang ditandatangani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersama pihak kaum Yahudi –penduduk Madinah- dan kabilah-kabilah Arab yang masih dalam kemusyrikan –yang tinggal di Madinah dan sekitarnya- menjadi perihal yang mendukung substansi fase ini. Demikian ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, di Madinah Nabi berkesempatan untuk beretorika dan berwacana, tanpa ada tekanan dari suatu rezim politik yang mencegah beliau dan menghalangi beliau berdialog dengan khalayak. Bahkan, masyarakat di sana mengakui berdirinya Negara Islam Baru, dan menerima kepemimpinan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengatur urusan politik (political affairs). Selanjutnya, ditetapkanlah dalam perjanjian itu bahwa tidak dibolehkan seorangpun –penghuni Madinah- mengadakan perjanjian damai dan mengobarkan perang, serta menjalin kerja sama dengan pihak luar kecuali atas izin Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, jelaslah bahwa pemerintahan yang berjalan di Madinah berada di tangan kepemimpinan kaum muslim. Maka, kesempatan untuk mengembangkan dakwah menjadi terbuka lebar; dan kemerdekaan masyarakat untuk bebas memeluk keyakinannya bisa diwujudkan.
Dan kedua, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ingin memfokuskan diri –dalam fase ini- untuk menghadapi kaum Quraisy, di mana permusuhannya terhadap agama ini bisa menjadi batu sandungan untuk menghadapi kabilah-kabilah lain yang bersikap wait and see atas “episode akhir” konflik antara suku Quraisy dan beberapa baninya. Untuk itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam segera menyebarkan beberapa pasukan kecil (setingkat peleton). Dan beliau pertama kali memberikan posisi pemimpin pasukan kepada Hamzah bin Abdul Muthallib, pada bulan Ramadhan, tepatnya permulaan bulan ketujuh dari masa hijrah.
Pasukan-pasukan tersebut beroperasi secara berkesinambungan. Dimulai pada awal bulan kesembilan, lalu pada awal bulan ketiga belas, dan pada awal bulan keenam belas. Operasi ini kemudian dilanjutkan oleh pasukan Abdullah bin Jahsy pada Bulan Rajab, tepatnya awal bulan ke tujuh belas –ini adalah konfrontasi pertama kali, di mana terjadi pembunuhan dan pertempuran, padahal waktu itu termasuk dalam “bulan haram”. Pada saat itu, turun beberapa ayat surah al-Baqarah berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada “bulan haram”. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) dari pada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup…” (QS. Al-Baqarah [2] : 217)
Setelah perang kecil tersebut, kemudian berkecamuklah Perang Badar Kubra pada bulan Ramadhan tahun itu, dan dalam peristiwa itu turunlah Surat al-Anfal.
Mempertimbangkan posisi di tengah-tengah berbagai peristiwa yang terjadi, tentunya tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa pembelaan diri (defence) –dengan pemahamannya yang sempit- menjadi fundamen harakah islam, sebagaimana yang diteriakkan oleh mereka yang ciut nyali di hadapan realitas kekinian dan di depan tuduhan kaum orientalis yang licik.
Pihak-pihak yang bersembunyi di balik alasan-alasan yang bersifat apologis belaka demi gerakan pengembangan Islam, sesungguhnya mereka telah terpengaruh dengan tuduhan-tuduhan orientalis pada saat kaum muslimin memiliki senjata yang tak terhitung, juga loyalitas yang tak terhingga. Golongan ini selalu mencari-cari justifikasi moral berkenaan dengan jihad dalam Islam. Berbeda halnya dengan orang-orang yang senantiasa mengumandangkan Islam dengan pembebasan insan di bumi dari segala kekuasaan selain kekuasaan Allah, agar agama itu semata-mata untuk Allah; mereka adalah golongan yang selalu dilindungi oleh Allah.
Upaya pengembangan Islam tidak tergantung pada justifikasi moral melebihi justifikasi-justifikasi yang telah ditetapkan oleh nash-nash al-Quran sebagai berikut:
“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi engkau!’ Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut; sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu. Karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (QS. An-Nisa’ [4] : 74-76)
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya) niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka menghalangi lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap)orang-orang dahulu.
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran) maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah adalah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS. Al-Anfal [8] : 38-40)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu) orang-orang yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putra Allah.’ Dan orang-orang Nasrani berkata:’Al-Masih itu putra Allah.’ Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu; mereka dilaknati Allah. Bagaimana mereka sampai berpaling?
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai sesembahan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. At-Taubah [9] : 29 – 32)
Pernyataan-pernyataan (beberapa ayat) di atas merupakan justifikasi-justifikasi yang menegaskan ketuhanan Allah di bumi, yang menandaskan manhaj-Nya untuk kehidupan manusia, yang memusuhi kejahatan-kejahatan dan manhaj-manhaj setan, dan yang menyingkirkan kekuasaan manusiawi yang dipatuhi manusia. Bukankah manusia sejatinya menyembah kepada Allah semata? Mestinya, tak ada seorangpun hamba yang boleh mengendalikan mereka dengan kekuasaan (power) yang dimilikinya dan dengan aturan hawa nafsu dan pikirannya. Dengan konsiderans ini, sudah termasuk juga mengukuhkan prinsip: laa ikraha fid-diin (tiada pakasaan untuk [memasuki] agama ini)[1]. Maksudnya, tak ada paksaan dalam hal memeluk akidah setelah terbebas dari kekuasaan hamba, dan dalam hal menyatakan prinsip bahwa kekuasaan semata-mata hanyalah milik Allah, atau bahwa agama itu semata-mata hanyalah untuk Allah.
Ayat-ayat di atas juga merupakan justifikasi pembebasan universal bagi insan di bumi, yang bertujuan membebaskan manusia dari peribadatan kepada makhluk beralih kepada peribadatan semata-mata kepada Allah, tanpa disertai unsur syirik. Postulat ini sudah cukup jelas.
Justifikasi-justifikasi di atas mengejawantah dalam jiwa-jiwa para pejuang Muslim. Karena itu, tak ada seorang pun dari mereka –ketika ditanya tentang tujuannya berangkat jihad- akan menjawab: ‘Kami berangkat (jihad) untuk mempertahankan tanah air kami yang sedang terancam!’; atau ‘Kami bertolak untuk menghalau pasukan berkuda Persia atau Romawi yang hendak menyerang kami, kaum Muslimin!’; atau ‘Kami pergi berjihad untuk memperluas wilayah kami dan mendapatkan ghanimah (rampasan perang) yang banyak!’.
Pejuang muslim niscaya akan menjawab sebagaimana jawaban mereka –Ruba’i bin ‘Amir, Khuzaifah bin Muhshan, dan Mughirah bin Syu’bah- kepada Rustum, panglima pasukan Persia di Qadisiya, tatkala Rustum menawarkan perdamaian kepada mereka bertiga. Selama tiga hari berturut-turut, sebelum perang berkecamuk, mereka ditanya satu-persatu: ‘Apa yang hendak kalian peroleh (dari perang ini)?’
‘Allah telah mengirim kami untuk membebaskan orang yang ingin melepaskan diri dari ketundukan kepada makhluk menuju ketundukan kepada Allah semata; dari dunia yang sempit menuju dunia yang leluasa; dan dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam. Allah telah mengutus rasul-Nya –dengan membawa agama-Nya- kepada makhluk-Nya. Barangsiapa menerima (seruan) kami, kami akan menerima (perdamaian)nya, mencabut bendera perang dengannya, dan akan melepaskan dirinya dan wilayahnya. Namun, barangsiapa menolak maka kami akan memeranginya sampai kami merengkuh surga (mati syahid) atau meraih kemenangan.’
Di samping justifikasi-justifikasi di atas, sebenarnya juga terdapat justifikasi subjektif yang berkenaan dengan substansi agama ini, juga proklamasinya yang universal, dan berkenaan dengan manhajnya yang realistis dalam menghadapi fenomena kemanusiaan –dengan berbagai fasilitas yang relevan untuk masing-masing dimensinya- dalam beberapa tahapan (fase) yang direncanakan, dengan fasilitas-fasilitas yang up to date.
Justifikasi subjektif ini awalnya secara keseluruhan –meski belum dijumpai bahaya serangan musuh terhadap wilayah Islam dan kaum Muslimin di sana- merupakan justifikasi yang berkenaan dengan substansi manhaj dan implementasinya, serta berkenaan dengan kendala-kendala riil di dalam berbagai komunitas masyarakat; bukan semata-mata bertolak dari pergumulan-pergumulan apologis yang terbatas dalam ruang dan waktu.
Sebenarnya, dalam hal ini cukuplah seorang muslim berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah, demi menegakkan nilai-nilai di atas yang tidak dicampuri dengan selubung kepentingan pribadi. Dan jangan sampai kepentingan pribadi –yang masuk di dalamnya- malah menghempaskan mereka.
Sebelum bertolak jihad ke medan perang, seorang Muslim semestinya telah menceburkan diri dalam jihad akbar melawan syetan di dalam dirinya sendiri, yakni menepis hawa nafsu dan syahwatnya; ketamakan dan ambisi-ambisinya; kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya; serta melawan segala bentuk simbol selain simbol Islam dan segala motivasi selain motivasi peribadatan kepada Allah, implementasi kekuasaan-Nya di bumi, dan pemakzulan kekuasaan para thaghut yang merampas otoritas Allah.
Pihak-pihak yang mencari justifikasi jihad Islam dalam rangka memproteksi tanah air Islam, berarti mereka telah menurunkan harga diri manhaj ini dan menganggapnya tidak lebih berharga dari pada tanah air itu. Hal ini tidaklah sesuai dengan pandangan Islam, dan itu adalah cara pandang asing yang dibumbui dengan Islamic senses,karena akidah, manhaj (tempat akidah mengejawantah), dan masyarakat (tempat manhaj ini berkuasa) merupakan kesatuan point of view dalam Islamic senses. Adapun tanah air –secara mandiri- sejatinya tidak berarti dan tidak bisa dijadikan motif jihad. Tanah air menjadi bernilai dalam konsepsi Islam, apabila ia memiliki kontribusi terhadap supremasi manhaj Allah dan pemerintahan-Nya di bumi. Dalam hal ini, tanah air menjadi wahana lestarinya akidah, lingkungan berkembangnya manhaj, dan menjadi Negara Islam (Darul Islam), serta pusat pembebasan insan.
Sungguh, membela Negara Islam berarti membela akidah, manhaj, sekaligus masyarakat di mana manhaj ini mendominasi. Namun, hal ini bukanlah tujuan final. Pun demikian, membelanya bukan merupakan tujuan akhir harakah jihad Islam, namun hanya instrumen perantara (wasilah) demi terwujudnya Kerajaan Allah di bumi, agar dijadikan pusat gerakan pembebasan di seluruh penjuru bumi, dan pembebasan manusia secara masif. “Ras manusia” adalah sasaran agama ini, sementara “bumi” adalah medan gerakannya yang luas.
Sebagaimana telah kami uraikan sebelumnya bahwa pergerakan dengan paradigma Ilahi selalu dihadang oleh sekat-sekat fisik dari otoritas pemerintah, hukum positif, dan kondisi-kondisi lingkungan. Semua inilah yang sedari awal Islam bergerak untuk menghempaskannya dengan kekuatan, agar Islam bisa berdialog langsung dengan berbagai individu manusia. Sehingga, Islam berkesempatan berdialektika dengan hati nurani dan alam pikiran mereka –setelah membebaskan mereka dari belenggu-belenggu fisik- dan membiarkan mereka bebas memilih.
Kita tidak boleh tertipu dan gentar oleh hujatan-hujatan kaum orientalis terhadap doktrin jihad. Pun, jangan sampai himpitan dan beban berat kenyataan menyebabkan kita terpuruk di tengah-tengah neraca kepentingan duniawi, hingga kita mencari justifikasi moral –bagi jihad Islam- di luar substansi agama ini, dalam momentum-momentum pembelaan yang bersifat insidental. Bagaimanapun juga, jihad akan tetap dikobarkan di jalannya, tak peduli ada ataukah tidak ada momentumnya.
Sembari menelaah berbagai peristiwa sejarah, kita tidak boleh mengesampingkan begitu saja harga diri substansi agama ini, proklamasinya yang universal, dan manhajnya yang realistis. Di samping itu, kita tidak boleh menjadikan tumpang tindih antara harga diri tersebut dan keperluan-keperluan untuk membela diri yang bersifat temporer.
Sungguh, agama ini, mau tak mau harus mengantisipasi pihak-pihak yang hendak menyerangnya, karena eksistensinya itu sendiri berupa proklamasi universal atas kemahakuasaan Allah terhadap alam semesta, dan pembebasan insan dari ketundukan kepada selain Allah. Eksistensi ini mengejawantah dalam komunitas dinamis yang terstruktur di bawah tatanan yang baru di luar tatanan-tatanan jahiliyah, dan seiring munculnya masyarakat merdeka yang berbeda dari lainnya, yang belum pernah dikenal seorang pun manusia dalam hal pemerintahannya, karena pemerintahan di dalamnya adalah milik Allah semata.
Sebenarnya, eksistensi agama ini sendiri, dalam formula yang demikian, harus mengantisipasi masyarakat-masyarakat jahiliyah di sekitarnya, yang berdiri di atas fundamen ketundukan kepada makhluk, karena mereka akan berusaha menghabisi agama ini, sebagai langkah membela eksistensi mereka. Sehingga, mau tak mau, komunitas baru (Muslim) mengambil langkah mempertahankan dirinya.
Demikian tadi situasi yang pasti terjadi, yang muncul seiring kehadiran Islam. Inilah medan perang yang harus dihadapi Islam, tak ada pilihan selain berjibaku di dalamnya. Ini adalah pergulatan yang wajar di antara dua entitas yang tak mungkin hidup berdampingan dalam waktu yang lama.
Semua yang kami uraikan akan menjadi kenyataan. Menurut konsepsi ini, Islam tak punya alternatif selain mempertahankan identitasnya. Islam, mau tak mau, harus berjibaku dalam peperangan defensif yang benar-benar harus dijalaninya.
Hanya saja, terdapat substansi lain yang lebih penting dari pada substansi ini, yakni termasuk karakteristik eksistensi Islam adalah sejak awal selalu bergerak maju untuk menyelamatkan insan di bumi dari keetundukan kepada selain Allah; ia tidak boleh berhenti pada batas-batas geografis; tidak pula mengisolasi diri dalam sekat-sekat etnis, sehingga membiarkan manusia (ras manusia) di seluruh bumi berbuat kejahatan, kerusakan, dan peribadatan kepada selain Allah.
Sesungguhnya, pihak-pihak yang memusuhi Islam terkadang mengalami momentum di mana mereka terkesan dengan Islam. Bila sudah demikian, mereka tidak akan menyerang Islam, dengan catatan Islam membiarkan mereka mempraktikkan perbudakan sesama manusia di dalam batas-batas regional mereka, rela membiarkan mereka dan kondisi mereka, dan tidak menyampaikan –kepada mereka- dakwahnya dan deklarasi pembebasannya yang universal. Akan tetapi, Islam tidak akan berdamai dengan mereka, kecuali bila mereka menyatakan ketundukannya kepada pemerintahan Islam dalam praktik membayar jizyah, dan mereka menjamin terbukanya pintu-pintu bagi dakwah Islam, yang bebas dari tekanan-tekanan fisik dari penguasa-penguasa setempat.
Demikianlah watak alamiah agama ini. Dan inilah tugas beratnya, mengingat bahwa agama ini adalah deklarasi universal atas kemahakuasaan Allah terhadap alam semesta, dan pembebasan manusia dari segala perbudakan manusia kepada selain Allah.
Bandingkanlah antara konsepsi Islam dengan watak seperti ini dan konsepsinya yang terkungkung dalam sekat-sekat teritorial dan keetnisan yang pergerakannya selalu dibayangi ketakutan melanggar sekat-sekat tersebut! Dalam konsepsinya yang terakhir ini, Islam telah kehilangan motivasi-motivasi diri dalam pergerakannya.
Sebenarnya motivasi-motivasi pergerakan Islam akan muncul secara jelas dan menyentuh perasaan ketika mereka membayangkan bahwa Islam adalah manhaj Allah bagi kehidupan kemanusiaan, bukannya manhaj individual, bukan pula ideologi sebagian manusia ataupun tatanan bagi suatu etnis. Kita tidak perlu mencari-cari motivasi-motivasi eksternal kecuali pada saat motivasi tersebut melemah di sela-sela hingar-bingar keberhasilan yang gemilang, yakni pada saat kita melalaikan prinsip yang utama bahwa ketuhanan Allah dan penghambaan makhluk; dan bahwa seorang manusia tidak mungkin mampu memformulasi manhaj yang luar biasa ini. Bila demikian adanya, barulah dicari motivasi lain bagi jihad Islam.
Jarak, dari persimpangan jalan, terkadang tidak kelihatan jauh.[2] Di satu sisi, digambarkan bahwa Islam sebenarnya terpaksa terjun dalam medan perang karena tidak ada pilihan lain. Mengingat, Islam memiliki identitas sendiri, sementara terdapat masyarakat-masyarakat lain yang jahiliyah yang senantiasa menyerangnya. Dan di sisi lain, digambarkan bahwa Islam sendiri sejak awal memang berpola gerakan, karena itulah terjun ke medan perang.
Sekali lagi, dari persimpangan jalan, jarak terkadang tidak kelihatan jauh. Bagaimanapun juga, Islam dalam dua situasi di atas tetap saja akan terjun ke medan perang. Hanya saja, di akhir perjalanan akan kelihatan jarak yangg luar biasa jauh, yang benar-benar akan mengubah kesadaran dan pemikiran Islam secara signifikan.
Terdapat jarak yang signifikan antara status Islam sebagai manhaj Ilahi yang hadir untuk menegakkan ketuhanan Allah di bumi di satu sisi, dan ketundukan seluruh manusia kepada Tuhan yang satu di sisi lain. Upaya penegakan ini dituangkan dalam tataran realitas, yakni komunitas insani di mana khalayak manusia merasa bebas –dari penghambaan kepada sesama manusia- dengan penghambaan kepada Tuhan manusia. Manusia hanya akan diatur oleh syariat Allah, yang di dalamnya tercermin kedaulatan Allah –dengan kata lain, di dalamnya tercermin ketuhanan Allah. Oleh karena itu, sudah semestinya Islam menyingkirkan semua hal yang merintangi di jalannya, agar ia leluasa berdialektika dengan hati dan pikiran setiap individu manusia, tanpa ada penghalang dan kendala yang terkondisikan dari undang-undang negara yang bersifat politis dan aturan-aturan sosial masyarakat.
Pun, terdapat jarak yang signifikan, antara status Islam sebagai manhaj di satu sisi, dan statusnya sebagai tatanan domestik di suatu daerah, di sisi lain. Maka, adalah wajar jika Islam mengantisipasi serangan-serangan yang muncul di dalam batas-batas teritorialnya tersebut.
Kedua konsepsi di atas sama benarnya, dan bagaimanapun juga Islam dalam dua kondisi tersebut akan senantiasa berjihad. Hanya saja konsepsi komprehensif yang meliputi variabel-variabel, tujuan-tujuan, dan konsekuensi-konsekuensi jihad akan berbeda secara signifikan, bahkan sampai pada masalah keyakinan; di samping itu, juga berbeda dalam penentuan langkah dan orientasi.
Sudah semestinya, Islam mulai mengambil inisiatif gerakan. Karena, Islam bukanlah aliran suatu kaum, dan bukan pula aturan yang berlaku di suatu daerah. Islam adalah manhaj Ilahi dan tatanan bagi dunia. Adalah haknya, Islam berinisiatif melenyapkan segala kendala yang berupa sistem-sistem dan aturan main yang membelenggu kebebasan manusia dalam menentukan pilihan. Cukup demikian. Islam tidak perlu mengintimidasi setiap individu untuk memaksa mereka agar menganut akidahnya. Yang perlu dilakukannya adalah menyerang sistem-sistem dan aturan main tersebut untuk membebaskan setiap individu dari pengaruh-pengaruh yang sesat, yang bertentangan dengan fitrah dan membelenggu kebebasan memilih.
Sudah seharusnya Islam melepaskan manusia dari ketundukan kepada manusia menuju ketundukan kepada Allah semata, agar ia bisa merealisasikan deklarasinya yang universal tentang kemahakuasaan Allah atas semua makhluk dan tentang pembebasan seluruh manusia.
Sementara itu, ketundukan kepada Allah semata tidak bisa teraktualisasi –baik dalam tataran konsepsi yang Islami ataupun dalam realitas praktis- kecuali di bawah naungan sistem yang Islami. Hanya inilah sistem yang hendak diberlakukan Allah bagi semua hamba-Nya, baik para pemimpinnya ataupun yang dipimpin, yang berkulit hitam ataupun yang berkulit putih, para tokohnya ataupun orang biasa, dan kalangan miskin ataupun kalangan kaya. Diberlakukan hukum yang sama yang harus dipatuhi oleh semuanya.
Dalam sistem-sistem di luar Islam, manusia tunduk kepada sesamanya. Mereka mendapati aturan bagi kehidupannya dari manusia, padahal hal ini sebenarnya termasuk otoritas Allah. Maka, siapa pun yang mengaku dirinya mempunyai otoritas menetapkan undang-undang bagi manusia, berarti ia telah mengklaim ketuhanan dirinya secara implisit maupun eksplisit, entah ia mengklaim itu dengan ucapan ataupun tanpa mengucapkannya. Dan siapa saja yang memberikan pengakuan atas klaim orang itu maka berarti ia telah mengakuinya memiliki otoritas ketuhanan; ia menyebutkannya atau tidak, sama saja.
Berbeda dengan sistem-sistem di luarnya, Islam bukanlah semata-mata akidah hingga merasa cukup dengan menyampaikan akidahnya melalui wacana kepada manusia. Islam adalah manhaj yang tercermin dalam komunitas sistemik-dinamis yang tampil untuk membebaskan seluruh manusia. Komunitas-komunitas lain tidak akan memberikan Islam momentum untuk mengatur kehidupan para anggota mereka sesuai manhajnya.
Jika demikian adanya, maka Islam wajib menyingkirkan sistem-sistem mereka yang menjadi penghalang bagi pembebasan universal. Inilah –kami tegaskan lagi- pemaknaan ad-din kulluhu lillah (agama itu semata-mata untuk Allah). Dengan ini, maka tidak boleh ada ketergantungan dan ketundukan kepada diri seorang pun manusia. Setali tiga uang, terhadap sistem-sistem lain yang menjadi dasar penghambaan manusia kepada sesamanya.
Para peneliti Muslim kontemporer, yang minder di tengah-tengah realitas kekinian dan di hadapan serangan orientalis yang licik, berusaha menghindar dari pengakuan pada keniscayaan di atas. Karena, pihak orientalis telah menggambarkan Islam sebagai gerakan kekerasan (harakah qahr) bersenjata yang memaksakan akidahnya. Padahal, kaum orientalis yang keji ini sebenarnya tahu persis bahwa bukan seperti itu fakta aslinya. Akan tetapi, mereka telah mendistorsi variabel-variabel jihad Islam sedemikian rupa. Dari sini, kaum yang membela keluhuran Islam –yakni mereka yang pesimistis- berusaha menampik tuduhan ini, dengan bersembunyi di balik penggunaan justifikasi-justifikasi apologis. Mereka bahkan mengesampingkan substansi dan tugas suci Islam, serta misinya dalam membebaskan manusia sedini mungkin.
Ilustrasi Barat tentang substansi agama ini –sebagaimana tersebut di atas- telah menyelubungi alam pikiran para peneliti kontemporer yang ciut nyalinya. Lebih lanjut, di mata Barat, Islam adalah sebatas akidah di dalam hati, yang tidak memiliki kedudukan di mata tatanan praktis kehidupan. Untuk itu, jihad agama adalah perjuangan (jihad) untuk menancapkan akidah di dalam sanubari.
Namun, di mata Islam, persoalan jihad tidak sebatas itu. Islam merupakan manhaj Allah bagi kehidupan kemanusiaan. Islam adalah manhaj yang berlandaskan pengesaan Allah semata sebagai Tuhan –yang tercermin dalam pemerintahan. Islam mengatur kehidupan nyata dalam segala aktivitas kesehariannya. Dan jihad, di mata Islam, adalah perjuangan untuk menegakkan manhaj dan membangun sistem. Adapun urusan akidah diserahkan kepada kebebasan dalam merasakan ketenangan, di bawah naungan sistem yang universal, setelah hilangnya segala faktor yang memengaruhi. Karena itu, persoalannya menjadi berbeda secara prinsip. Dan Islam memiliki bentuk baru yang komprehensif.
Dimanapun terwujud komunitas Muslim –di mana manhaj Ilahi tercermin di dalamnya- maka Allah akan menganugerahkan kepadanya otoritas pergerakan dan kebebasan untuk menerima kedaulatan-Nya dan membumikan undang-undang-Nya, sembari menyerahkan persoalan akidah yang bersifat intuitif kepada kebebasan intuisi. Apabila Allah menahan tangan-tangan umat Islam –suatu ketika- dari jihad (perang), maka ini adalah persoalan strategi, bukan persoalan tataran prinsip; ini adalah persoalan kepentingan harakah, bukan persoalan akidah.
Atas dasar keterangan yang jelas ini, kita bisa menggunakan nash-nash Qur’ani yang begitu banyak, di dalam fase-fase sejarah yang senantiasa modern. Kita tidak boleh asal menggabungkan antara petunjuknya yang bersifat temporer dan petunjuknya yang bersifat umum (universal), dalam rangka menskema harakah Islam yang kuat dan berkesinambungan.
[1] QS. Al-Baqarah [2] : 256
[2] Kata kiasan yang artinya: kadang perbedaan kelihatan kecil namun cukup berarti – penerj.