Jihad

Kata jihad berasal dari kata dasar jahada, berarti setiap usaha yang diarahkan pada tujuan tertentu dan berupaya dengan kemampuan yang ada berupa perkataan dan perbuatan serta ajakan kepada Agama yang haq. Dalam tradisi sufisme, jihad dipahami sebagai pengekangan jiwa (mujahadah An Nafs). Inilah jihad yang dipandang paling agung (Al Jihad Al Akbar) sedangkan perang adalah jihad kecil (Al Jihad Al Ashghar).

Jihad dalam bentuknya yang bermacam-macam, yang di antaranya adalah dalam bentuk perang, merupakan satu ketentuan Islam bilamana telah terpenuhi faktor-faktor dan syarat-syaratnya:

“Diwajibkan atas kamu berperang padahal berperang itu sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagi kamu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216)

Jihad hukumnya faridhah kifayah (kewajiban kolektif) bilamana sebagian Muslim telah melaksanakannya maka gugurlah kewajiban itu dari kaum Muslimin. Apabila umat tidak melaksanakan kewajiban kolektif ini maka beban dan dosanya ditanggung oleh umat secara keseluruhan. Kewajiban kolektif yang bersifat sosial ini mendapat penekanan lebih kuat dan lebih rawan daripada kewajiban individual (fardh ‘ain). Dalil yang menunjukkan kewajiban kolektif ini adalah firman Allah:

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali supaya mereka dapat menjaga diri.” (At Taubah: 122)

Jadi, jihad seperti halnya dengan menuntut ilmu pengetahuan tertentu dan seperti halnya juga dengan da’wah, merupakan kewajiban kolektif sosial. Allah juga berfirman:

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak turut berperang di jalan Allah) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang) satu derajat. Kepada mereka masing-masing Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk itu dengan pahala yang besar.” (An Nisaa’: 95)

Akan tetapi jihad dalam kondisi tertentu dapat menjadi kewajiban individual: Muslim laki-laki maupun perempuan, bahkan hingga wanita pun diperbolehkan keluar untuk berjihad tanpa izin suaminya, hal mana tidak dibenarkan baginya dalam menunaikan ibadah haji. Jihad menjadi wajib ‘aini (kewajiban individual) bilamana musuh telah menginjakkan kakinya di bumi Islam. Maka dalam keadaan seperti ini, jihad menjadi kewajiban individual bagi warga negara yang diserbu pasukan kafir, dan fardhu kifayah bagi negeri-negeri Muslim lainnya, kecuali jika warga negara yang diserbu itu tidak mampu menahan serbuan musuh dan mengusir mereka. Dalam hal ini jihad menjadi wajib ‘aini bagi warga negara terdekatnya:

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemukan kekerasan dari kamu. Dan ketahuilah bahwasanya Allah menyertai orang-orang yang bertaqwa.” (At Taubah: 123)

Disyaratkan bagi orang yang berkewajiban jihad bahwa ia adalah: seorang Muslim, baligh (mencapai usia dewasa), medeka (bukan budak), berakal, mampu melaksanakan tugas jihad. Jika jihad itu sifatnya fardhu kifayah maka ada syarat tambahan: izin orang tua, bagi yang orang tuanya –keduanya atau salah seorang dari keduanya– masih hidup.

Kewajiban jihad bersifat lslami murni yang berbeda dengan syari’at-syari’at kerasulan umat-umat terdahulu karena keumuman risalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada umat manusia seluruhnya, dan karena keabadiannya sebagai risalah penutup dari Allah. Maka keumumannya dengan sendirinya menuntut adanya da’wah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ini di setiap bangsa dan negeri, yang mana seringkali menuntut adanya jihad untuk melindungi kelancaran da’wah dan para da’i. Keabadiannya sebagai risalah pungkasan bagi risalah samawiah, menuntut adanya perlindungan dari sikap permusuhan terhadap Islam dan terhadap umatnya dengan jihad. Tanpa melindunginya dengan jihad maka –sesuai dengan hukum konflik antara yang haq dengan bathil– sikap permusuhan dari pihak yang bathil akan kembali muncul terhadap risalah ini, hal mana dapat mengancam Islam beserta umatnya, karena tidak ada seorang nabi lagi setelah kematian Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak ada syari’at lagi setelah syari’at yang dibawa oleh beliau, serta tidak ada kitab suci lagi setelah Al Qur’an. Maka menyebarluaskan Islam secara merata, menyampaikan dan menda’wahkannya merupakan suatu kewajiban; menjaga kelangsungannya adalah suatu kewajiban; dan kedua kewajiban ini menuntut adanya kewajiban jihad.

Dikarenakan adanya kekhususan syari’ah Islam dengan adanya kewajiban jihad dan dikarenakan sejarah umat ini penuh dengan peperangan, khususnya melawan pasukan Romawi, Mongol, Pasukan salib klasik dan modern, maka tidak mengherankan jika syari’ah Islam dan kaum Muslimin menjadi sasaran tuduhan dari kalangan non-Muslim — khususnya kaum orientalis — yang menulis tentang institusi jihad. Tuduhan paling populer dalam hal ini adalah bahwa Islam disiarkan dengan kekuatan pedang: pedang jihad Islam, yang dengan meminjam kata-kata Mac Donald, D.B (1863-1942), “penyebaran Islam dengan pedang adalah kewajiban kolektif bagi semua Muslim”.

Sebab munculnya tuduhan ini –jika ditanggapi dengan niat baik– adalah adanya kerancuan antara penggunaan pedang perang dalam menegakkan negara dan penggunaan pedang jihad untuk menyebarkan dan menegakkan Agama. Kaum Muslimin –sebagaimana dapat ditemukan dalam realitas sejarah– telah mengalahkan beberapa negeri dan memasukkannya kedalam wilayah negara Islam dengan kekerasan atau dengan damai. Dengan demikian mereka membebaskan negeri-negeri Timur dari gelombang serbuan Barat –yang diwakili oleh Imperium Romawi– sehingga kekuatan pedang telah digunakan dalam menegakkan negara. Akan tetapi apakah pedang digunakan dalam menyebarkan Agama?

Di sini, terdapat realitas pemikiran yang menjadi ciri khas Islam, yaitu realitas pembebasan dhamir (hati) oleh Islam untuk beriman atau kafir, dengan kebebasan dan pilihan tanpa paksaan:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An Nahl: 125)

“Tidak ada paksaan untuk (masuk) Agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Al Baqarah: 256)

“Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, niscayalah beriman orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya?” (Yunus: 99)

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Al Ghasyiyah: 21-22)

Realitas pemikiran ini telah mengacu pada realitas alamiah yang muncul dari konsep dan makna iman dalam Islam. Sebab, iman adalah membenarkan dalam hati yang mencapai tingkat yakin. Dari sana lalu tidak mungkin memperoleh dan memiliki keyakinan dengan cara paksa. Paksaan seringkali membuahkan kemunafikan (membungkus kekafiran dengan kain iman) akan tetapi tidak menimbulkan iman yang murni di hati semata karena Allah, yang merupakan hakikat iman dalam tradisi Islam, yang dengan meminjam kata-kata Muhammad Abduh: “Tekanan tidak membuahkan iman dan paksaan tidak memberi pengaruh pada Agama.”

Hakikat pemikiran Islam ini tidak hanya sikap teoritis saja bagi kaum Muslimin, melainkan telah dipraktikkan dan dilaksanakan dalam kehidupan, tidak hanya memberi kebebasan bagi Ahlul Kitab untuk tetap pada Agama dan aturan syari’at mereka di dalam Negara Islam, bahkan bukti sejarah menunjukkan bahwa kaum Muslimin tetap menjadi golongan minoritas Agama di negara besar yang dikuasai oleh kaum Muslimin selama berabad-abad. Tidak dibantah bahwa kekuatan pedang telah digunakan –dalam banyak kasus– untuk menegakkan negara, akan tetapi rakyat negara ini yang terdiri dari non-Muslim, tetap pada agamanya yang lama selama beberapa abad, hingga mereka masuk Islam dengan kesadaran sendiri secara bertahap. Bahkan perjalanan Islam dan jihadnya bersama kemusyrikan dan kaum Musyrikin lebih mirip dengan perjalanannya dengan Ahlul Kitab.

Kaum musyrikin pada awal kedatangan Islam telah melakukan penindasan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para pengikutnya dan Islam. Mereka memerangi umat Islam karena alasan agama, mengusir mereka dari negeri mereka sendiri, dan bersekongkol untuk memusnahkan mereka, sehingga mereka berhijrah meninggalkan negeri mereka, menyebrang laut Merah menuju ke Habasyah, dengan penuh kepedihan dan beban mental mengadu kepada Allah:

“Ya Tuhan Kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pendukung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!” (An Nisaa’: 75)

Namun, dan meskipun kaum Muslimin terpaksa melarikan diri dengan membawa agama mereka, untuk meninggalkan negeri, tempat tinggal, harta dan keluarga, jihad tetap merupakan benteng untuk menjaga negara yang baru lahir dari ancaman kaum Musyrikin. Maka pemaklumatan perang adalah sebagai langkah pencegahan terhadap agresi yang mengancam Islam dan kaum Muslimin serta perlakuan sewenang-wenang di samping menepati perjanjian dengan kaum Musyrikin tetap menjadi sifat dan etika Islam yang dipelihara. Jihad terus berjalan sebagai respons terhadap agresi, bukan agresi terhadap orang lain dan tidak pernah terjadi kekuatan pedang dan cara paksa sebagai jalan untuk mengimani agama baru ini.

Kisah Islam telah dimulai disertai kewajiban jihad dengan tiga ayat turun tepat bersamaan dengan peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah dan berdirinya negara Islam, yaitu ayat-ayat yang memberi izin –sekedar izin– bagi kaum Muslimin untuk menggunakan cara perang untuk memberi respons atas perlakuan zalim terhadap mereka sebagai perwujudan sunnatullah dalam proses dorong mendorong pemikiran dan kultural.

“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang berkhianat bagi mengingkari nikmat. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, selain karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah! Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, maka tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadat-rumah ibadat Yahudi dan masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al Hajj: 38-40)

Telah diizinkan –sekedar izin– bagi orang-orang yang teraniaya yang diperangi untuk mernpergunakan cara perang sebagai respons menolak kezaliman. Antara tahun pertama hingga ke tujuh hijrah, pasca Perjanjian Hudaibiyah, di mana umrah qadha dilaksanakan, selama jangka tujuh tahun ini terjadi lebih dari dua puluh peperangan. Namun demikian, perang mereka ini tetap dalam kerangka izin ilahi bagi orang-orang yang mendapat perlakuan zalim dalam mempergunakan sarana konflik dalam menolak kezaliman pihak yang mengusir dari negeri mereka.

Pada tahun ke tujuh hijrah dan ketika kaum Muslimin bersiap-siap untuk pergi dari Madinah menuju Makkah untuk menunaikan umrah qadha, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiah, terbetik dalam benak kaum Muslimin rasa khawatir akan pengkhianatan kaum musyrikin terhadap mereka saat menunaikan ibadah umrah. Padahal mereka akan segera memasuki kota Makkah tanpa senjata selain senjata musafir; di bulan Haram yang di dalamnya tidak dibenarkan mengadakan perang; dan di Bait Al Haram yang suci tidak dibenarkan pula dijadikan tempat ajang perang. Dalam keadaan dihantui rasa khawatir dan takut akan pengkhianatan kaum musyrikin ini terhadap Perjanjian Hudaibiah, kaum Muslimin, melalui wahyu kepada Nabi Muhammad diizinkan berperang untuk menolak tindakan permusuhan, hingga sekalipun di Tanah Suci dan di bulan suci pula:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di manapun kamu menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pada pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memerangi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu semata-mata hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (tidak memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Bulan Haram dengan Bulan Haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadap kamu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (Al Baqarah: 190-194)

Karena agresi kaum Musyrikin, pelanggaran mereka terhadap perjanjian damai, dan pelanggaran kesucian Tanah Haram dengan perang di bulan suci dan di tempat suci maka kaum Muslimin tidak menemukan jalan lain selain berperang melawan orang-orang yang telah mengeluarkan mereka dari negeri mereka; serta upaya mereka dengan gigih memusuhi agama Islam tanpa ada rasa enggan terhadap kesucian bulan dan bumi Makkah. Sebab dalam Al Hurumat terdapat qishash dan dalam qishash terdapat satu kehidupan bagi uli Al albab. Bahkan lebih dari itu, jika ayat-ayat perang ditelaah secara seksama, dalam surah Al Baqarah dan At Taubah yang membuat kaum orientalis meyakini bahwa Islam tersiar dengan perang jihad karena ayat ini memerintahkan penyebaran Islam dengan perang, sehingga ayat ini tidak diawali dengan ucapan Basmalah (Bismillah Ar Rahman Ar Rahim) agar tidak dibuka dengan meyebut kata Ar Rahman Ar Rahim. Ayat-ayat perang ini semua ternyata memerintahkan kaum Muslimin memerangi kaum yang melanggar perjanjian dan mengkhianatinya, bukan terhadap orang yang menghormati perjanjian, meskipun mereka adalah kaum musyrikin. Ayat-ayat ini memerintahkan untuk menaklukkan agar kaum Muhajirin, yang diusir dari negeri mereka kembali ke negeri asal mereka itu; agar orang-orang yang melanggar perjanjian menerima qishash (hukum balas) dan pelajaran; agar da’wah Islam terjamin kelancarannya dari permusuhan mereka yang melanggar perjanjian. Jadi, ayat-ayat perang ini tidak ada kaitannya dengan agresi dari pihak Muslim sebab perang ini bersifat defensif dan tidak ada hubungannya dengan penyiaran Agama melalui perang:

“(Inilah pernyataan) suatu pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (Muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir. Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari Haji Akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritahukanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Kecuali orang-orang musyrikin yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari perjanjianmu) dan mereka tidak (pula) membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janji itu sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika seseorang dari orang-orang musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya, yang demikian itu disebabkan mereka tidak mengetahui. Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (At Taubah: 1-7)

“Jika mereka merusak janji-janji mereka sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah para pemimpin orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti. Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah yang berhak untuk kamu takuti jika kamu benar-benar orang yang beriman. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki. Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” (At Taubah: 13-15)

Meskipun situasi diliputi dengan kematangan kondisi politik untuk menaklukkan Makkah bagi kaum Muslimin, yaitu penaklukan yang merupakan kembalinya kaum Muhajirin ke negeri asal yang dulu mereka diusir dari sana secara lalim dan kejam; meskipun penaklukan ini merupakan syarat pokok untuk memberi jaminan kebebasan da’wah Islam dan para da’inya di Jazirah Arabia dengan memukul kaum musyrikin yang memusihi agama baru; meskipun adanya alasan ini semua, perintah ilahiah untuk berperang dalam surah At Taubah itu tetap terikat dengan etika Islam dalam berjihad: tidak ada tindakan permusuhan selain terhadap orang-orang yang melakukan agresi dan permusuhan yang melanggar perjanjian damai.

Suatu keteladanan tinggi yang ditunjukkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam –meskipun terhadap musuh yang zalim –kaum Quraisy– ketika pertolongan Allah dan Makkah ditaklukkan lalu kota ini masuk di bawah naungan Negara Islam, beliau tidak memberlakukan kewajiban memeluk Agama Islam terhadap penduduknya dengan kekuatan pedang, melainkan yang beliau lakukan adalah ajakan dengan nada bertanya:

“Apa yang ada di benak kalian tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”

Mereka menjawab, meskipun menyadari kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap beliau beserta para sahabatnya: “(Anda akan berbuat) seperti layaknya seorang saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Pergilah, kamu sekalian bebas!”

Di manakah penyebaran Islam dengan pedang yang dituduhkan itu? Anggapan bahwa Islam desebarluaskan dengan kekuatan pedang dan merupakan kewajiban kolektif kaum Muslimin seluruhnya, erat kaitannya antara upaya mendistorsi realitas institusi jihad Islam dan fase-fase sejarah di mana Barat melakukan agresi imperialis modern terhadap Dunia Islam. Kehadiran penjajah Barat untuk menguasai secara militer; menguasai ekonomi dan politik; serta menjajah secara kultural, maka penyalahartian tentang institusi jihad Islam dimaksudkan untuk memalingkan kaum Muslimin dari pengambilan jalan jihad sebagai cara untuk membebaskan diri dari penjajahan.

Pada saat kelompok orientalis –unsur intelektual Barat yang bekerja untuk kepentingan penjajah– menampilkan distorsi ini, di sana terdapat sekelompok sempalan Babiah dan Baha’iyah di Persia menolak legalitas dan legitimasi jihad dalam Islam! Jihad adalah satu institusi Islam yang sangat menakutkan bagi musuh-musuhnya. Sebab bilamana semangat kewajiban jihad dihidupkan, akan mengembalikan kejayaan Islam dan membangkitkan kekuatan dahsyat.

“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana. Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (Al Munaafiquun: 8)

Dengan jihad kaum Muslimin dapat memelihara pilar-pilar dan idealisme serta tujuan-tujuan mereka. Benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Barang siapa terbunuh karena membela agamanya, dia mati syahid; barang siapa terbunuh karena membela darahnya dia mati syahid; dan barang siapa yang terbunuh karena membela keluarganya dia mati syahid.” (Tirmidzi)