Al Quran periode Mekah, seluruhnya, adalah dalam rangka menancapkan laa ilaaha illallaah dalam hati dan akal manusia; agar mereka memilih syiar ini –yang secara lahir penuh rintangan- dan bukannya syiar-syiar lainnya, dan konsisten di atas syiar ini.
Al Quran periode Mekah memprioritaskan persoalan keyakinan, tanpa menyentuh penjelasan mengenai tatanan yang berpijak pada akidah ataupun berkenaan dengan hukum-hukum yang mengatur muamalah. Karena itu, seharusnya para pengemban dakwah agama ini, dengan penuh kesadaran, bisa mengikuti metode tersebut.
Karakteristik agama Islam adalah agama yang didasarkan pada landasan ketuhanan yang esa. Segala aturan dan perundangan haruslah berdasarkan pada fundamen yang agung ini. Seperti halnya sebuah pohon yang besar, tinggi, subur, menjulang nan rindang, penuh ranting-ranting, dan mampu menahan angin, maka akar-akarnya haruslah menancap kuat di tanah yang dalam dan membentang luas kerindangannya di udara. Begitu pula dengan agama islam ini.
Sistem agama ini haruslah mencakup semua dimensi kehidupan. Semua persoalan manusia, baik besar maupun kecil tercakup disini. Islam mengatur kehidupan manusia, tidak sebatas kehidupan di dunia akan tetapi juga kehidupan di akhirat; bukan hanya meliputi alam yang kasat mata melainkan juga alam ghaib; bukan hanya persoalan muamalah material yang riil, akan tetapi semua persoalan yang ada di relung hati sanubari, dari yang semu sampai yang rahasia. Islam adalah institusi agung yang luar biasa, komprehensif, dan universal. Oleh sebab itu, Islam haruslah berakar kuat dan dalam, karena sifatnya yang luas, agung, mendalam, dan paripurna ini.
Inilah satu dimensi di balik misteri dan karakteristik agama Islam. Manhaj islam memfokuskan untuk membangun identitasnya dan mengembangkannya, kemudian memapankan akidah dan mengokohkannya, serta menjadikan akidah ini komprehensif dan berkesan dalam setiap relung jiwa. Sehingga, manhaj ini bisa menjadi suatu kebutuhan pokok yang hakiki; juga menjadi jaminan atas berbagai kemungkinan yang terjadi, dan atas keserasian antara pohon yang menjulang di udara dan akar-akarnya yang menancap di kedalaman bumi.
Ketika telah terpatri akidah laa ilaaha illallaah di relung hati yang paling dalam maka seketika itu pula menjadi mapanlah tatanan yang mencerminkan laa ilaaha illallaah, dan menjadi jelas bahwa inilah tatanan satu-satunya yang diridhai oleh jiwa yang menjadi tempat bersemayamnya akidah. Kemudian, jiwa akan patuh sepenuhnya untuk memulai tatanan ini, bahkan meski belum diterangkan rinciannya dan belum diterangkan juga perundangannya.
Kepatuhan adalah permulaan yang dibutuhkan keimanan. Wujud dari kepatuhan ini adalah jiwa akan menerima tata aturan dan perundangan Islam dengan penuh ridha dan lapang dada. Jiwa tidak berontak sama sekali terhadap aturan apapun sejak ditetapkannya, dan tidak menunda-nunda pengamalannya, meski baru sebatas mengetahuinya. Dari sinilah, diharamkan khamr, riba, permainan judi, dan semua adat-istiadat jahiliyah. Pengharaman ini melalui ayat-ayat Al Quran dan sabda-sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalaam. Berbeda halnya dengan pemerintahan-pemerintahan di bumi, mereka berusaha keras memutuskan sesuatu dengan undang-undang dan peraturannya, segenap sistem dan tenaganya, tentara dan senjatanya, dan dengan segala propaganda dan publikasinya. Namun, mereka tidak menghasilkan apa-apa kecuali mengatur perselisihan yang tampak di permukaan, sementara masyarakat masih dilanda kemaksiatan dan kemungkaran.[1]
***
Sisi lain karakteristik agama Islam tercermin dalam manhajnya yang lurus. Islam adalah manhaj yang aplikatif, dinamis, dan moderat. Islam hadir untuk mengatur kehidupan dalam tatanan realitas, dan mengarahkan realitas ini agar tertata menurut tatanan Islam.
Dalam hal ini, Islam menjaga kestabilannya, atau meluruskannya, ataupun mengubahnya mulai dari fundamennya. Jelaslah, di sini Islam hanya menetapkan syariat untuk kondisi yang benar-benar riil di dalam masyarakat yang pada dasarnya sudah mengenal bahwa kekuasaaan tertinggi di tangan Allah semata.
Islam bukanlah teori belaka yang hanya bergumul dengan hipotesa. Islam adalah manhaj yang bersentuhan langsung dengan realitas. Maka, pertama kali, tidak boleh tidak, harus berdiri masyarakat Islami yang membumikan akidah bahwa tiada sesembahan selain Allah dan bahwasanya kedaulatan tertinggi hanya di tangan Allah, dan yang menolak pengakuan kedaulatan tertinggi kepada seorang pun selain Allah. Tidak hanya itu, masyarakat ini juga menolak hukum apa pun yang tidak didasarkan pada landasan ini.
Ketika masyarakat Islami benar-benar tegak, niscaya ia memiliki kehidupan yang nyata, yang memerlukan pengaturan dan penataan. Ketika itulah, tiba waktunya memperundangkan Islam dan membentuk tata aturan bagi masyarakat Islam, serta menolak segala peraturan dan undang-undang selain dari Islam.
Oleh sebab itulah, demi akidah ini, umat Islam harus mempunyai kekuasaan atas diri mereka secara pribadi ataupun komunal, yang menjamin berlakunya peraturan dan perundang-undangan Islam dalam masyarakat. Dengan demikian, maka peraturan dan perundangan Islam menjadi agung. Adalah kebutuhan mendesak bagi kehidupan masyarakat Islam, yakni mengimplementasikan peraturan dan perundang-undangan Islam.
Umat Islam di Mekah belum mempunyai kekuasaan atas diri mereka secara pribadi ataupun komunal. Mereka belum mempunyai kehidupan yang bebas untuk menerapkan hukum-hukum Allah. Oleh sebab itu, pada periode ini Allah belum menurunkan kepada mereka peraturan dan perundang-undangan Islam. Allah hanya menurunkan tuntunan akidah dan moralitas yang berpijak pada akidah yang telah tertancap dalam sanubari yang paling dalam. Ketika mereka berada di Madinah dan mempunyai negara yang berdaulat, Allah menurunkan kepada mereka perundang-undangan dan menetapkan peraturan yang menjadi kebutuhan riil masyarakat Islam. Sementara peraturan ini dalam pelaksanaannya mendapat jaminan dari negara dengan kekuasaannya yang kuat.
Pada periode Mekah, Allah tidak menghendaki untuk menurunkan peraturan dan perundang-undangan kepada umat Islam. Demikian ini agar mereka mempersiapkan diri mereka sampai berdirinya negara di Madinah. Namun, ini bukanlah watak agama ini. Islam adalah agama yang sangat realistis. Islam tidak mencari-cari masalah dan kemudian memberikan solusinya. Islam akan mengarahkan realitas ketika sudah ada realitas masyarakat Muslim yang tunduk dan menjalankan syariat Allah, seraya menolak syariat lain, dalam kondisi apapun.
Belakangan ini, terdapat sebagian orang yang ingin agar Islam merumuskan teori-teori, membuat peraturan yang berbeda dari yang sudah ada, dan merancang peraturan perundang-undangan sendiri bagi kehidupan mereka. Sementara itu, di muka bumi ini tidak ada satu pun masyarakat yang menetapkan hukum Islam sebagai satu-satunya hukum dan menolak syariat lain selain hukum Allah. Padahal, sebenarnya, di antaranya ada yang memiliki kekuasaan yang bisa menjamin penerapan hukum Allah ini. Umat Islam yang berpikiran demikian, tidak memahami karakter Islam dan metodenya dalam mengatur kehidupan sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Mereka ingin mengubah karakter, manhaj, dan kesejarahan Islam agar menyerupai teori-teori kemanusiaan dan manhaj-manhaj kemanusiaan. Mereka tergesa-gesa merespons hasrat-hasrat temporer yang ada yang ada dalam jiwa mereka. Hasrat ini muncul disebabkan kekalahan batin dalam jiwa mereka dari sistem-sistem manusia yang sepele. Mereka ingin Islam membuatkan untuk dirinya teori-teori dan hipotesa-hipotesa yang berbeda, untuk menghadapi masa depan yang belum diketahui. Akan tetapi, Allah menginginkan Islam menjadi seperti apa yang dikehendaki-Nya.
Suatu akidah haruslah memenuhi relung hati dan menguasai sanubari. Akidah menghendaki manusia tunduk sepenuhnya hanya kepada Allah dan hanya mau menerima hukum-hukum Allah, tidak yang lain. Ketika akidah sudah tertata dalam hati umat Islam dan mereka sudah benar-benar mempunyai penguasa dalam masyarakat mereka, barulah dimulai perundang-undangan Islam untuk memenuhi kebutuhan riil mereka dan mengatur realitas kehidupan mereka.
Inilah yang dikehendaki Allah dari agama Islam ini. Hanya inilah yang dikehendaki oleh Allah meski terkadang tidak sesuai dengan hasrat-hasrat pribadi manusia.
Para pengemban dakwah Islam seharusnya mengerti bahwa ketika mereka menyeru kepada manusia untuk kembali mengembangkan agama ini maka yang pertama kali harus mereka lakukan adalah menyeru manusia untuk menganut akidah ini, meskipun yang mereka seru adalah orang yang mengaku muslim, dan dibuktikan oleh akta kelahirannya. Mereka wajib menegaskan bahwa islam, pertama kali, adalah menancapkan akidah laa ilaaha illallaah dengan maknanya yang hakiki. Yaitu mengembalikan kekuasaan tertinggi di tangan Allah dalam segala urusan, dan memisahkan diri dari kaum yang menentang kekuasaan Allah dengan klaim kebenaran dalam diri mereka. Mereka harus menancapkan akidah ini dalam sanubari dan ritual ibadah mereka, juga dalam tataran realitas kehidupan mereka.
Hendaknya persoalan akidah menjadi fundamen dakwah Islam kepada manusia, karena akidah sedari awal memang menjadi fundamen dakwah Islam kepada manusia. Dakwah inilah yang menjadi fokus Al Quran periode Mekah selama tiga belas tahun penuh. Jika konsep dasar agama Islam ini mendarah daging dalam diri umat Islam maka pengkristalan inilah yang akan menjadi landasan bagi apa yang disebut dengan “masyarakat Islami”. Masyarakat ini sangat tepat dalam membangun tatanan Islami dalam kehidupan sosial. Karena, ia mengandaikan –antara pribadi muslim dan masyarakatnya- kehidupan mereka berlandaskan akidah ini, dan hidup mereka sepenuhnya tidak diatur kecuali dengan hukum Allah.
Ketika masyarakat seperti ini benar-benar telah tegak maka dimulailah penjelasan dasar-dasar tatanan Islam yang berpijak pada tauhid. Seiring dengan itu, masyarakat ini menerapkannya selama masa penetapan undang-undang –yang dibutuhkan realitas kehidupan- dalam atmosfer kerangka umum tatanan Islami. Inilah tata urutan yang tepat dari langkah-langkah manhaj Islami yang realistis, aplikatif, dan moderat.
Terkadang, semua itu sebatas terbayang dalam pikiran sebagian orang –yang ikhlas namun tergesa-gesa- yang tak mau merenungkan karakter Islam dan karakter manhaj Rabbaninya yang lurus, yang didasarkan pada kebijakan Allah –yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana- dan pengetahuan-Nya atas karakteristik manusia dan kebutuhan hidupnya. Kadang kala terbayang di pikiran mereka untuk langsung memaparkan dasar-dasar sistem Islami –bahkan hukum-hukum Islam- kepada manusia, [sebelum mematangkan akidah, penerj.]. Tujuannya, agar mempermudah jalan dakwah mereka, dan membuat manusia mencintai agama Islam.
Mereka terlalu tergesa-gesa. Mereka itu sama seperti orang-orang yang selalu melontarkan masukan bahwa seharusnya dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalaam pertama kali, ditegakkan di bawah panji-panji kebangsaan, panji-panji kemasyarakatan, dan panji-panji moralitas, agar mempermudah jalan dakwah.
Padahal, pertama kali, hati haruslah benar-benar ikhlas demi Allah. Hati haruslah mempersembahkan ketundukannya kepada Allah semata, dengan hanya menerima syariat Allah dan menolak segala syariat selain syariat-Nya. Demikian ini harus diprioritaskan, sebelum membicarakan berbagai penjelasan syariat yang diinginkannya.
Keinginan ini haruslah muncul dari keikhlasan menghamba kepada Allah dan kebebasan dari kekuasaan lain, bukannya berdasarkan pandangan bahwa aturan yang diusulkan sebenarnya lebih baik daripada peraturan yang ada, dalam hal apapun.
Peraturan Allah, pada hakikatnya, adalah lebih baik, karena itu termasuk syariat Allah. Kapan pun, syariat yang dibuat oleh manusia tidak akan menyamai syariat Allah. Akan tetapi, ini bukan landasan dakwah. Landasan dakwah adalah menerima syariat Allah apa pun adanya dan menolak syariat lain apa pun wujudnya. Beginilah Islam, pada hakikatnya. Islam tidak memiliki makna lain di luar makna ini.
Barangsiapa yang benar-benar senang kepada Islam, berarti ia telah mantap dengan makna ini, dan ia tidak memerlukan lagi motivasi berupa keindahan dan keistimewaan peraturan. Inilah salah satu pembuktian dari keimanan.
***
Dalam bahasan ini, kami harus menguraikan bagaimana Al Quran periode Mekah memberikan solusi atas persoalan akidah selama tiga belas tahun lamanya. Islam tidak pernah memaparkan akidah secara teoritis ataupun teologis. Islam juga tidak memaparkan akidah dalam bentuk perdebatan teologis seperti apa yang kemudian dikenal dengan ilmu tauhid.
Sekali-kali tidak! Al Quran al-Karim berbicara kepada fithrah manusia, baik mengenai eksistensinya maupun eksistensi yang ada di sekitarnya dengan bukti-bukti dan argumentasi-argumentasi. Al Quran menaungi fithrah manusia dari awan hitam, dan membebaskan indra penerimanya yang alami dari sesuatu yang memasungnya dan merusakkan fungsinya. Al Quran juga membuka pintu-pintu fithrah, agar bisa menerima segala inspirasi yang bermanfaat untuk kemudian meresponsnya dengan baik.
Ini adalah gambaran umum. Dan secara spesifik, Al Quran -dengan kaidah ini- bergumul di medan perjuangan yang dinamis dan riil. Islam bergumul di medan perjuangan menghadapi awan hitam yang membuat fithrah manusia tidak berfungsi dalam jiwa manusia yang bergelut dengan realitas. Oleh sebab itulah, format “teori” bukanlah format yang relevan bagi realitas yang spesifik ini.
Al Quran mengusung format face to face yang dinamis dalam menghadapi berbagai konsekuensi, sekat-sekat, tantangan, dan kendala baik berkaitan dengan kejiwaan ataupun realita. Begitu juga perdebatan intelektual -yang berpijak pada logika formal- yang belakangan ini dikembangkan oleh ilmu kalam bukanlah format yang relevan. Al Quran langsung berhadapan dengan realitas kemanusiaan secara totalitas dengan segala keterkaitannya yang dinamis. Di samping itu, Al Quran menyapa eksistensi fisik manusia secara totalitas dalam luasnya realitas ini. Dengan demikian, “teologi” pun bukan format yang relevan. Akidah Islam -meski berupa keyakinan- mencerminkan manhaj hidup yang realistis untuk dipraktikkan dalam perbuatan. Akidah Islam tidaklah terjebak dalam sudut sempit yang hanya berisi pembahasan-pembahasan teologi secara teoritis.
Mengingat perannya dalam pembangunan akidah di dalam sanubari komunitas Muslim, Al Quran dengan komunitas ini terjun dalam medan perjuangan besar melawan kejahiliyahan yang di sekitarnya. Demikian juga, Al Quran mengobarkan perlawanan akbar terhadap segala pengaruh jahiliyah yang ada dalam sanubari, moralitas, dan realitas masyarakat. Dari sini, jelaslah bahwa pemantapan akidah, tidak dalam format teori, tidak juga teologi ataupun perdebatan teologis, akan tetapi dalam format masyarakat organik yang dinamis dan struktur sistemik -yang bersentuhan langsung dengan kehidupan- yang mencerminkan masyarakat Islami sesungguhnya. Perkembangan komunitas muslim terjadi dalam hal konsepsi teologis, dalam perilaku positif yang sesuai dengan konsepsi ini, dan dalam keberaniannya menghadapi kejahiliyahan secara frontal. Pada dasarnya, perkembangan ini sepenuhnya mencerminkan adanya peningkatan pemantapan akidah dan dinamikanya. Demikianlah manhaj Islam yang mencerminkan karakteristiknya.
Oleh sebab itu, menjadi suatu keniscayaan bagi para pengemban dakwah islam, yakni memahami karakteristik agama ini dan manhajnya dalam pergerakan, sebagaimana format yang telah kami jelaskan. Tujuannya, agar mereka mengetahui bahwa fase pemantapan akidah yang berlangsung lama pada periode Mekah -dalam format di atas- tidak terlepas dari fase pembentukan perilaku bagi harakah Islami dan struktur riil pada komunitas muslim. Periode Mekah bukanlah fase perumusan dan pengkajian teori, melainkan periode pembangunan yang fundamental bagi akidah, masyarakat, harakah, dan eksistensi nyata, secara kolektif. Demikianlah, format ini seyogyanya terjadi, ketika saya (penulis) hendak membangunnya sekali lagi.
Jelaslah, fase pembangunan akidah membutuhkan waktu yang lama. Langkah-langkah pembangunan akidah perlu dilakukan secara perlahan, mendalam, dan dinamis.
Begitu pula, seyogyanya fase tersebut bukan sekedar fase pengkajian teori terhadap akidah, melainkan menjadi fase pengejawantahan akidah terlebih dahulu ke dalam konsep yang dinamis, yang tercermin dalam sanubari yang adaptif terhadap akidah. Konsepsi ini tercermin juga dalam konstruksi social dan masyarakat yang dinamis, yang perkembangannya -baik secara internal maupun eksternal- mengindikasikan peningkatan akidah secara nyata. Lebih dari itu, konsepsi ini tercermin dalam harakah nyata yang menentang kejahiliyahan, dan yang bergumul langsung dalam perjuangan melawan kejahiliyahan, baik dalam tataran pemikiran ataupun realitas. Demikian ini, agar akidah terejawantahkan secara dinamis, dan akan berkembang secara perlahan dalam medan perjuangan.
Adalah salah besar, dalam parameter Islam, jika akidah mengkristal dalam format “teori”; sebatas kajian intelektual ataupun episteme budaya. Bahkan pandangan semacam ini sangat membahayakan Islam.
Selama tiga belas tahun penuh membangun akidah, Al Quran belumlah tuntas, karena itu adalah periode pertama. Seandainya Allah menghendaki, Dia mampu menurunkan Al Quran semuanya sekaligus, kemudian membiarkan para hamba-Nya mempelajarinya selama kurang lebih tiga tahun sampai mereka memahami betul Islam secara teoritis.
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki hal lain. Allah menghendaki manhaj yang spesifik dan berbeda. Allah ingin membangun komunitas, harakah, dan akidah dalam waktu bersamaan. Dan Allah menghendaki pembangunan masyarakat dan harakah yang berakidah, dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan harakah. Allah menghendaki akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah, dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas riil dari akidah.
Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui bahwa membangun jiwa dan masyarakat tidak bisa dilakukan dalam sehari semalam. Perlu cukup waktu untuk membangun akidah yang mantap yang menjadi landasan bagi jiwa dan masyarakat. Jika pembentukan akidah benar-benar matang, maka masyarakat adalah indikator dari matangnya pembangunan akidah tersebut.
***
Inilah karakter agama Islam, seperti yang telah kami simpulkan dari manhaj Islam periode Mekah. Kita seharusnya memahami karakter ini. Jangan sampai kita berusaha mengubahnya sebatas demi memenuhi keinginan-keinginan temporal karena kekalahan terhadap teori-teori kemanusiaan. Dengan karakter inilah, dibangun masyarakat Islam di setiap momentum yang di dalamnya ada usaha untuk kembali menampilkan masyarakat Islam paada eksistensinya semula, sebagaimana Allah menciptakannya pertama kali.
Kita harus menyadari kekeliruan langkah sekaligus bahayanya dalam mentransformasi akidah islam yang dinamis dalam realitas yang senantiasa berkembang dan dinamis, juga dalam masyarakat organik yang dinamis. Yakni, ketika akidah ditransformasikan –dari karakternya- ke dalam format teori pengkajian dan episteme kebudayaan, hanya demi keinginan kita bergumul dengan teori-teori kemanusiaan yang kering dari teori Islam.
Akidah Islam haruslah tercermin dalam jiwa yang dinamis, dalam tatanan nyata, dalam masyarakat organik, dan dalam harakah yang melakukan perlawanan terhadap kejahiliyahan di sekitarnya; sebagaimana harakah ini melawan kejahiliyahan yang merasuk ke dalam jiwa para pengembannya- yang pernah menjadi bagian dari kejahiliyahan sebelum akidah ini memasuki hati mereka dan kemudian menyelamatkannya.
Akidah Islam, dalam konsep seperti ini, haruslah mengarahkan hati dan akal –juga kehidupan ini- dalam ruang lingkup yang lebih besar, lebih luas, dan lebih komprehensif dibandingkan hanya sebatas teori. Pastinya, akidah ini juga meliputi –dalam hal cakupannya- ruang lingkup teori dan materinya, akan tetapi ia tidak hanya sebatas teori.
Konsepsi Islam dalam persoalan teologi, eksistensi semesta, kehidupan dan manusia adalah konsepsi yang komprehensif dan sempurna. Konsepsi Islam adalah konsepsi yang realistis dan responsif. Karakternya tidak ingin mencerminkan konsepsi intelektual yang epistemis, sebab ini akan menyalahi karakter dan tujuan dari konsepsi Islam yang sebenarnya. Konsepsi Islam harus tercermin dalam kemanusiaan, sistem yang dinamis, dan harakah yang nyata. Cara pembentukannya haruslah tumbuh melalui kemanusiaan dan tatanan yang dinamis serta harakah yang nyata. Oleh sebab itu, konsepsi Islam bersifat teoritis sekaligus realistis. Konsepsi Islam bukanlah teori yang lepas dari realitas, akan tetapi mengejawantah dalam realitas yang dinamis.
Biasanya, suatu teori didapatkan dari realitas yang dinamis, sehingga teori merupakan representasi dari realitas. Ini adalah suatu kesalahan jika dianalogikan dengan karakter dan tujuan Islam serta cara pembentukan dirinya.
“Dan Al Quran (Kami turunkan) berangsur-angsur, agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan, dan Kami menurunkannya secara bertahap.” (QS. Al – Isra’ [17] : 106)
Turunnya Al Quran secara berangsur-angsur mempunyai tujuan; demikian pula penjelasannya secara perlahan-lahan. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan konstruksi formal akidah, yaitu akidah yang terimplementasikan dalam bentuk tatanan yang dinamis, bukan sekedar teori.
Para pemeluk Islam –yang merupakan agama Rabbani- wajib memahami dengan saksama bahwa manhaj Islam dalam tindakan nyata adalah juga manhaj Rabbani yang sesuai dengan karakternya. Dan tidak mungkin memisahkan substansi Islam dari manhajnya dalam hal tindakan.
Umat Islam juga harus memahami bahwasanya Islam –sebagaimana hadir untuk mereformasi konsepsi teologis sekaligus realitas dinamis- hadir dengan misi mereformasi manhaj yang dibangun oleh konsepsi teologis tersebut, dilanjutkan dengan mereformasi realitas dinamis. Islam hadir untuk membangun akidah sekaligus membangun umat.
Selain itu, Islam hadir untuk menumbuhkembangkan manhaj pemikiran (tafkir) yang bercirikan Islam, secara bersamaan dengan pengembangan konsepsi teologis dan realitas yang dinamis. Antara manhaj pemikiran yang bercirikan Islam, konsepsi teologis yang spesifik, dan konstruksi dinamis yang berciri khas, tidak dapat dipisahkan. Karena, ketiganya adalah satu kesatuan.
Jika kita telah mengetahui manhaj Islam dalam tindakan seperti yang telah kami jelaskan, maka kita akan menyadari bahwa manhaj ini adalah otentik. Manhaj ini bukanlah manhaj yang hanya berlaku pada fase tertentu, ataupun kondisi tertentu yang sesuai dengan pertumbuhan masyarakat Islam yang pertama. Tetapi, manhaj ini satu-satunya manhaj yang menjadi acuan untuk menumbuhkembangkan agama ini. Kapan pun itu.
Tugas Islam bukanlah sekadar melakukan reformasi terhadap akidah dan realitas manusia. Termasuk tugasnya juga adalah mereformasi manhaj pemikiran dan penanganan masalah secara konsepsional dan realistis. Manhaj ini adalah manhaj yang Rabbani yang karakternya berbeda dengan semua manhaj manusia yang sangat terbatas.
Kita tidak akan mampu sampai pada konsepsi Rabbani dan juga mencapai kehidupan Rabbani, kecuali dengan cara menempuh manhaj pemikiran yang Rabbani. Inilah manhaj yang dikehendaki oleh Allah agar dijadikan landasan bagi manhaj pemikiran manusia, dan agar konsepsi akidah mereka menjadi benar dan pembentukannya juga berjalan dengan dinamis.
***
Jika kita menghendaki Islam hanya sebatas teori kajian, berarti kita telah mengeluarkannya dari karakter manhaj pembentukannya yang Rabbani; juga dari karakter manhaj pemikirannya yang Rabbani. Berarti juga, kita telah menundukkan Islam di bawah manhaj pemikiran manusiawi. Kita seakan-akan menganggap bahwa manhaj Rabbani lebih rendah dari pada manhaj manusia. Dan, seakan-akan kita ingin mengangkat manhaj Allah, baik dalam konsepsi ataupun harakah, agar sejajar dengan manhaj-manhaj manusia. Pandangan seperti ini sangatlah berbahaya. Dan ini adalah kesalahan besar.
Tugas manhaj Rabbani adalah memberikan kita –sebagai juru dakwah Islam- manhaj pemikiran yang berciri khas. Dengan itu, kita terbebas dari bahaya manhaj pemikiran jahiliyah yang menghagemoni di muka bumi, yang telah menindas akal kita dan merusak kebudayaan kita. Jika kita hendak mengarahkan Islam agar searah dengan manhaj pemikiran yang asing dari karakternya –berupa manhaj pemikiran jahiliyah yang hegemonik- berarti kita sama saja telah menghapus tugas Islam yang memperjuangkan kemanusiaan. Kita sama saja telah menghapus kesempatan untuk bebas dari penindasan manhaj jahiliyah yang hegemonik di zaman kita ini, dan menghapus kesempatan untuk melepaskaan diri dari segala bahaya yang mendera akal dan bangunan kita. Pandangan ini sangatlah berbahaya. Dan ini adalah kesalahan besar.
Manhaj pemikiran dan harakah dalam membangun Islam tidak kalah pentingnya dari manhaj konsepsi teologis dan tatanan yang dinamis. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun juga, sangat berbahaya apabila kita hendak mewujudkan konsepsi dan tatanan ini secara ekspresif. Dalam hal ini, kita harus beranggapan, dalam benak kita bahwa Islam tidak muncul di muka bumi dalam bentuk harakah realistis. Bahkan kita berasumsi bahwasanya Islam dalam formatnya tersebut tidak akan menghasilkan manfaat atas dedikasi kita, kecuali bagi orang yang benar-benar aktif dalam harakah Islam. Intinya, sesuatu yang hendak dicapai oleh diri mereka atas usaha Islam –bagi mereka- dalam format ini, yaitu mereka ingin berjuang sebisa mungkin –dalam format ini- untuk benar-benar mencapainya dalam perjalanan harakah mereka.
Penulis tegaskan sekali lagi bahwa konsepsi teologis harus tercermin seketika dalam masyarakat dinamis. Dan hendaknya, masyarakat yang dinamis ini, pada saat itu juga, menjadi cerminan yang benar dan perwujudan hakiki bagi konsepsi teologis.
Sekali lagi penulis tegaskan, ini adalah manhaj yang alami bagi Islam yang bersifat Rabbani. Manhaj ini adalah manhaj yang agung, lurus, paling efektif, dan lebih sesuai dengan fithrah manusia. Manhaj ini adalah formulasi teori-teori yang sempurna dan independen yang dipersembahkan bagi intelektualitas manusia sebelum mereka disibukkan dengan realita harakah, dan sebelum diri mereka menjadi sebuah biografi dinamis, yang berkembang –selangkah demi selangkah- untuk menjadi simbol bagi konsep teoritis ini.
***
Jika konsep tersebut sudah benar dalam dasar teorinya maka sudah tepat waktunya untuk membangun dasar-dasar tatanan Islam yang mencerminkan konsepsi Islami atau memaparkan hukum-hukum yang menjelaskan tatanan ini.
Kejahiliyahan yang ada di sekitar kita telah menindas urat syaraf sebagian juru dakwah Islam yang ikhlas. Kejahiliyahan ini mendorong mereka tergesa-gesa menempuh prosedur sistematis dari penggunaan manhaj Islam. Kejahilayahan ini juga terkadang menciderai pikiran mereka. Jahiliyah akan melontarkan pertanyaan kepada mereka: Manakah penjelasan-penjelasan tatanan yang kalian dakwahkan? Apa saja yang kalian persiapkan untuk mengimplementasikannya? Penelitian, kajian, ataukah fiqih yang berdasarkan prinsip-prinsip modern? Banyak orang di zaman ini yang menganggap bahwa penegakan syariat Islam di muka bumi hanya sebatas hukum-hukum fiqih dan pembahasan-pembahasan fiqih Islam; seakan-akan orang yang tunduk kepada kedaulatan Allah cukup ridha dengan hanya berhukum dengan hukum-Nya. Hanya saja, mereka tidak menemukan orang-orang yang bisa berijtihad fiqih secara mendetail dengan metodologi modern. Sungguh, ironi yang sarkastis yang harus disingkirkan jauh-jauh oleh setiap orang yang mempunyai hati untuk menyadari bahwa Islam harus dimuliakan.
Jahiliyah, dengan kondisi terpojok ini, hanya ingin menemukan justifikasi untuk menyingkirkan syariat Allah dan melanggengkan penghambaan manusia kepada sesamanya. Jahiliyah ingin memalingkan komunitas muslim dari manhaj Rabbaninya; ia mendorong mereka melewati begitu saja fase pembangunan akidah dalam bentuk harakah, di samping membelokkan manhaj para juru dakwah Islam dari karakternya. Padahal, karakter inilah yang menjadikan teori mengkristal di tengah-tengah harakah, menampilkan wajah tatanan Islam melalui praktik, dan menjalankan hukum-hukum Islam dalam kehidupan Islami yang realistis dengan segenap problematikanya.
Menjadi keharusan bagi juru dakwah untuk tidak menanggapi manuver ini. Mereka harus menepis upaya pendiktean manhaj asing atas harakah dan agama mereka. Mereka tidak boleh gentar terhadap orang-orang yang tidak mempunyai keyakinan.
Para juru dakwah Islam harus bisa menyingkap manuver marginalisasi di atas, lalu mengatasinya. Mereka juga harus menepis ironi sarkastik yang kemudian dikenal dengan “pengembangan fiqih Islam” dalam masyarakat yang tidak tunduk pada syariat Allah dan tidak menolak syariat yang lainnya. Mereka harus mencegah upaya pengalihan umat dari tindakan yang bernilai guna dengan penebaran benih di udara. Mereka harus mengantisipasi muslihat yang licik ini.
Para juru dakwah wajib beraktivitas sesuai dengan manhaj Islam. Ini termasuk bagian dari rahasia kekuatannya. Begitu pula, hal ini menjadi sumber kekuatan mereka.
Manhaj dalam Islam adalah sama dengan kebenaran. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Segala manhaj asing tidak mungkin bisa mewujudkan Islam. Manhaj-manhaj asing barang kali bisa mewujudkan sistem kemanusiaan, akan tetapi tidak mungkin bisa mewujudkan manhaj kita. Sedangkan berpegang teguh pada manhaj adalah suatu keharusan seperti halnya berpegang teguh pada akidah; juga seperti berpegang teguh pada sistem, bagi setiap harakah islamiyah.
“Sungguh, Al Quran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus.” (QS. Al – Isra’ [17] : 9)
[1] Lihatlah bagaimana Allah mengharamkan khamar pada Juz V, Fi Zhilal Al Quran, hlm. 78 – 85; juga bagaimana ketidakmampuan Amerika Serikat melakukan hal itu dalam kitab Ma Dza Khatsira al-‘Alam bi Inkhithat al Muslimin, karya Sayyid Abu Al Hasan An Nadawi yang menukil kitab Tanqihat karya Sayyid Abul A’la Al Maududi