Kata Pengantar ‘Dari Perbendaharaan Lama’

Membaca sejarah nenek moyang adalah suatu hal yang meninggalkan kesan yang mendalamdi jiwa kita, apatah lagi apabila kita baca dengan rasa cinta. Kian dia dibaca kian terbayanglah masa-masa yang lampau dan masa lampau akan meninggalkan jejak yang dalam untuk menghadapi zaman kini dan zaman depan. Dalam sejarah kita melihat betapa mereka itu, nenek moyang kita, telah menanamkan dasar-dasar bagi berdirinya pusaka suci yang kita perjuangkan sekarang.

Meninjau sejarah hendaklah dengan rasa cinta. Meninjau sejarah hendaklah kita seakan-akan merasai bahwa kita turut hidup dengan mereka. Sebab rasa hati kita sekarang, suka duka kita sekarang, adalah rasa hati dan suka duka yang mereka telah tinggalkan buat kita.

Kadang-kadang kita berjumpa dongeng-dongeng yang sepintas lalu kita merasa bahwa itu hanya  khayal belaka, ceritera yang tidak-tidak. Tetapi apabila kita tukikkan pandang dan kita renungkan lebih mendalam, akan kelihatanlah bahwa dongeng khayal itu mengandung kebenaran. Dalam yang tersurat nampak yang “tersirat”. Ternyata bahwa dongeng adalah mengandung filsafat.

Orang pernah bertanya kepada saya  buku apa yang saya baca ketika saya menyusun “Dari Perbendaharaan Lama” ini, lalu saya katakan bahwa buku-buku yang saya baca, selain dari Buku-buku lama pusaka nenek moyang kita, yang setengahnya benar-benar dikeluarkan dari simpanan perbendaharaan lama, adalah buku-buku yang mereka baca juga. Perbedaannya hanya sedikit, yaitu bahwa saya melihat apa yang tidak mereka lihat. Sayapun membaca buku-buku catatan sarjana sejarah Belanda, namun setelah saya baca buku-buku itu, ternyata pula bahwa mereka pun kadang-kadang tidak melihat apa yang saya lihat.

Penyelidik-penyelidik Belanda menyusun sejarah bangsa-bangsa dari kerajaan-kerajaan kita di zaman purbakala, tetapi mereka melihat dari luar. Yang mereka banggakan ialah kemenangan mereka dan kekalahan nenek moyang kita, kepintaran mereka dan kebebalan nenek moyang kita, ataupun rasa kemegahan bangsa Belanda dapat menaklukkan suku-suku bangsa  Indonesia yang jauh lebih besar daripada mereka. Dan kadang-kadang terselip jugalah rasa kebencian orang Belanda Kristen kepada suku-suku bangsa Indonesia Islam. Sedang saya adalah seorang Muslim Indonesia .

Maka saya tinjaulah “Perbendaharaan Lama” itu kembali, meskipun fakta yang dinilai satu macam, tetapi caranya menilai terdapat perbedaan yang jauh. Maka hasil renungan saya “Dari Perbendaharaan Lama” ini telah saya mulai pada tahun 1955 dimuat berturut-turut dalam “Mingguan Abadi” yang terbit di Jakarta, dan barulah terhenti setelah surat kabar harian “Abadi” itu diberhentikan terbitnya pada tahun 1960.

Syukurlah karena di dalam membina kepribadian Indonesia, pemimpin-pemimpin negara kita selalu menganjurkan supaya meninjau kembali sejarah Tanah Air Kita dengan perasaan kita sebagai bangsa Indonesia, terutama lagi sebagai seorang Islam yang melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. Syukurlah beberapa kali seminar tentang sejarah Tanah Air Kita, telah diadakan dan pada bulan Maret 1965 telah diadakan pula seminar Sejarah Masuknya  Islam ke Sumatera Utara di Medan. Maka dalam seminar itu mulailah tumbuh dengan suburnya pendaian sejarah dengan pandangan kita sendiri sebagai bangsa. Perasaan inilah ya ng telah saya pupuk, terutama dalam “Dari Perbendaharaan Lama” ini.

Apabila saudara membaca rangkaian “Dari Perbendaharaan Lama” ini, saya mengharap moga-moga kisah perjuangan zaman lampau akan bertumbuh dalam jiwa saudara, seakan-akan mereka hidup di tengah-tengah saudara, atau saudara hidup di tengah-tengah mereka. Itulah modal kita menghadapi zaman kini dan zaman depan.

Kebayoran Baru, Juli 1963.

Pengarang

Haji Abdul Malik Karim Amrullah