27. Sebagaimana telah kami jelaskan , bahwa hukum taklifi adalah ketetapan Allah tentang perintah, larangan atau takhyir (pilihan). Sedang untuk perintah dan larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti. Jika perintah itu bebentuk pasti, maka disebut wajib, jika tidak pasti disebut mandhub (sunnah). Demikian juga dengan larangan, bila berbentuk pasti maka disebut haram, dan bila tidak pasti maka disebut makruh. Sedang yang dimaksud takhyir (pilihan) adalah hukum mubah. Dengan demikian, hukum taklifi itu terbagi lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
Pembagian tersebut adalah menurut jumhur ulama, sedang menurut mazhab Hanafi hukum taklifi terbagi menjadi 7 (tujuh), yaitu: fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram dan mubah. Perbedaan tersebut akan dibicarakan ketika membicarakan hukum taklifi yang telah disepakati (yang berjumlah lima macam)
Wajib
28. Menurut pendapat jumhur, bahwa hukum wajib itu identik dengan fardhu. Itulah yang akan dibicarakan sekarang, dan setelah itu akan dibicarakan pengertian wajib menurut pendapat mazhab Hanafi.
Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, dimana orang yang meninggalkannya berdosa. Pengertian wajib disini sama dengan pengertian fardhu, mahtum dan lazim. Sebagian ulama ahli ushul fiqh memberikan defenisi bahwa “Wajib adalah suatu perintah dimana orang yang meninggalkannya tercela”. Orang yang meninggalkan shalat tercela, orang yang tidak membayar zakat tercela, orang yang tidak menghormati orang tua tercela, demikian juag orang yang meninggalakan setiap kewajiban adalah berhak memperoleh cercaan dan siksaan dari Allah. Defenisi tersebut bukannlah ta’rif bil had, melainkan ta’rif bir rasmi. Bila ta’rif bil had menjelaskan hal-hal yang hakiki (esensial), maka ta’rif bir rasmi menjelaskan hasil dan konklusi. Al-Amidi dalam kitabnya Al Ihkam mengunggulkan defenisi ini dengan mengatakan bahwa wajib syar’i adalah perintah Allah, yang apabila ditinggalkan akan menyebabkan timbulnya cercaan menurut syara’.
29. Sebagaimana telah dikatakan bahwa menurut mazhab Hanafi pengertian fardhu tidak sama denga wajib menurut syara’, meskipun secara etimologi (bahasa) pengertian fardhu sebagian sama dengan wajib. Hal tersebut disebabkan telah ada kesepakatan antara mazhab Hanafi dengan jumhur, bahwa baik itu wajib maupun fardhu sama-sama memakai perintah yang pasti. Hanya saja, menurut mazhab Hanafi, fardhu adalah perintah yang berdasarkan dalil qath’i (pasti) yang tidak ada kebimbangan lagi, sedangakan wajib adalah perintah yang berdasarkan dalil zhanni yang masih mengandung keraguan. Perbedaan tersebut tentu mempunyai konsekuensi terhadap perbedaan nilai masing-masing, yaitu kepastian perintah wajib nilainya di bawah kepastian perintah yang fardhu. Sehingga ada ulama yang berpendapat, bahwa orang yang meninggalkan perbuatan fardhu menurut syara’ maka batallah amal ibadahnya. Seperti orang yang menunaikan ibadah haji, tapi ia tidak wukuf di Arafah, maka batallah ibadah hajinya. Akan tetapi orang yang meninggalkan yang wajib, ibadahnya masih sah. Seperti orang yang menunaikan ibadah haji, tapi ia tidak mengerjakan sa’i anta bukit Shafa dan Marwah, berarti ibadah hajinya tidak batal karena kewajiban sa’i bukan berdasarkan dalil qath’i (pasti), tetapi hanya berdasarkan dalil zhanni yang mengandung keraguan.
Di samping itu juga masih ada perbedaan yang lain, yaitu bahwa orang yang ingkar terhadap ibadah fardhu, ia tergolong kufur, sementara orang yang mengingkari hukum wajib, ia tidak kufur. Seperti orang ingkar terhadap fardhunya shalat dan zakat, ia tergolong kufur, karena ia ingkar tethadap perintah yang telah ditetapkan Allah berdasarkan dalil qath’ i yang sama sekali tidak dapat diragukan. Sedang orang yang mengingkari perintah-perintah yang wajib berdasarkan dalil zhanni yang masih diragukan, ia tidak kufur.
Sebagian ulama madzhab Hanafi ada yang menyebut perbuatan wajib yang pasti itu sebagaifardhu ‘amali.Dengan demikian seakan-akan mereka membagi fardhu menjadi dua macam, yaitu :
- Fardhu dalam keyakinan dan amal (perbuatan), yaitu fardhu yang berdasarkan dalil qath’i.
- Fardhu dalam perbuatan saja, yaitu fardhu yang berdasarkan dalil zhanni. Hal tersebut disebabkan karena menurut ketetapan dasar-dasar hukum mereka, bahwa dalil-dalil zhanni itu wajib diamalkan, tetapi tidak wajib diyakini.
Dengan demikian, bahwa perbedaan tersebut lebih bersifat teoritis, bukan pada bentuk praktisnya.Akan tetapi dalam madzhab Hanafi terdapat masalah-masalah cabang yang menimbulkan khilaf dalam praktek. Sebagai contoh, menurut madzhab Syafi’i, bahwa membaca surat a!-Fatihah pada waktu shalat hukumnya fardhu, sehingga orang yang tidak membaca Fatihah shalatnya tidak sah. Akan tetapi menurut madzhab Hanafi, orang yang tidak membaca Fatihah shalatnya tetap sah, karena membaca Fatihah hukumnya tergolong wajib.
Sebenamya, faktor yang menimbulkan perbedaan tersebut bukan didasarkan pada perbedaan antara pengertian fardhu dengan wajib, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan dalam memberikan interprestasi terhadap firman Allah dalam surat al-Muzzammil
فَاقْرَؤُا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْا ٓنْ
Artinya: “Kerena itu, bacalah apa yang mudah (bagimu) dan al-Qur’an (QS. al-Muzzammil : 20)
Menurut pendapat madzhab Syafi’i, bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah surat al-Fatihah, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika shalat selalu membaca surat al-Fatihah. Setelah selesai beliau mengatakan
صَلُّوْا كَماَ رَأَيْتُمُنِى اُصَلّىِ
Artinya: “Shalatlah kamu sekalian, sebagamana shalatku yang kamu lihat”.
Sedang madzhab Hanafi tetap berpendapat bahwa ayat tersebut berifat umum yang memberikan kebebasan untuk membaca surat apa saja, meskipun bukan surat al-Fatihah.
Menurut analisa kami bahwa perbedaan tersebut adalah bersifat teoritis, karena madzhab Syafi’i dan yang lain tidak mengingkari adanya perbedaan antara dalil-dalil qath’i dan zhanni. Oleh karena itu, Imam al-Amidi dalam al-Ihkam berpendapat, bahwa perbedaan cara menetapkan hukum-hukum wajib dan fardhu dari aspek jelas dan samarnya, atau kuat dan lemahnya, tidak akan menimbulkan perbedaan adanya hakekat hukum wajib. (al-Ihkam, Juz 1, hal. 140)