Pada tahun keempat, tahun terakhir di Darul ‘Ulum, keinginan untuk mengubah pakaian seragam semakin kuat. Para mahasiswa telah siap untuk melakukan sebuah gerakan dalam rangka mewujudkan keinginan itu. Langkah itu juga dibantu oleh para alumnus Darul ‘Ulum.
Ide itu bukanlah pendapat saya atau pendapat sebagian kecil mahasiswa. Namun semua menginginkan itu. Beberapa bulan terakhir Darul ‘Ulum tampak dimasuki oleh sekian banyak orang dari kalangan Afandiyah dan Syuyukh. Dampaknya, setiap hati orang-orang yang memakai tharbus (topi khas mesir) semakin banyak, sementara yang memakai imamah (sorban) semakin sedikit, sampai tinggal dua orang, yakni Ibrahim Al-Wara’ dan saya sendiri.
Tibalah waktu ujian praktek mengajar. Kepala sekolah (tempat kami praktek), seseorang yang berhati muli bernama Muhammad Bek As-Sayid rahimahullah, memanggil kami berdua. Beliau berbicara kepada kami bahwa sebaiknya kami pergi ke madrasah di mana ujian praktek (mengajar) dilaksanakan dengan mengenakan pakaian seragam, sehingga di hadapan para murid nanti kami tidak tampil dengan pakaian yang bervariasi, sebagaian mengenakan imamah, sebagian yang lain mengenakan tharbus. Sekalipun kata-kata beliau tidak mengandung tekanan, tetapi karena kuatnya pengaruh beliau dan hormat kami kepadanya, kami memandang hal itu sebagai suatu keharusan. Kami pun akhirnya menunaikan apa yang menjadi janji kami, lalu kami pun mengenakan badzlah (setelan) dan tarbus, sebagai ganti dari pakaian jubah dan imamah. Hal itu terjadi beberapa waktu sebelum kami lulus dari Darul ‘Ulum.