Ceramah

Peringatan Hijrah

Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, juga untuk segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.

Amma ba’du. Wahai Ikhwan yang mulia, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari sisi Allah yang baik dan diberkati: assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Merupakan keberuntungan bagi kita bahwa kita bisa menyambut tahun baru ini untuk mengambil pelajaran dari peringatan hijrah. Allah subhanahu wa ta’ala juga memberi saya kesempatan untuk mengunjungi para Ikhwan di berbagai negeri dan berbagai cabang, sehingga hampir setiap malam saya berada di tengah-tengah satu kelompok mulia para Ikhwan.

Kemarin saya di Ismailia, dua hari yang lalu saya berada di daerah pinggiran kota ini, dan sebelumnya saya mendapatkan taufiq dari Allah untuk mengunjungi Bani Suwaif. Hampir setiap malam bulan Muharam saya berbahagia dengan sambutan satu kelompok dari Ikhwan sebagaimana kalian dan menyaksikan lembaran-lembaran bercahaya dari kesatuan Ikhwan. Percayalah, bahwa setiap kali saya berada pada momen-momen demikian, hati saya bergetar lantaran gembira dan diliputi oleh perasaan-perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan, banyak kebaikan pribadi yang tidak bisa digambarkan dengan ungkapan pula.

Ikhwan sekalian, setiap kali saya mendapati diri saya di tengah-tengah kelompok Ikhwan, yang alhamdulillah kelompok-kelompok tersebut telah merekrut sejumlah manajer yang paling tegas, para pedagang yang paling jujur dan paling dekat kepada kebaikan, para pegawai yang paling bersih, bermental tinggi, dan akrab dengan kebaikan, para pekerja yang paling bersemangat, serta para petani yang paling cerdas dan paling peka perasaan… setiap kali saya berdiri di hadapan salah satu dari kelompok-kelompok yang baik ini, yang saya jumpai di cabang- cabang Ikhwan, maka saya merasakan diri saya sangat berbahagia dan bergembira. Di hati saya bermekaran perasaan-perasaan mulia. Saya mendapati dada saya meluas, penuh dengan cahaya dan kebaikan, yang —seperti telah saya katakan— ungkapan lewat kata-kata tidak mampu untuk menggambarkan hakikatnya.

Saudara-saudaraku, di tengah-tengah kegembiraan ini saya bertanya kepada diri sendiri, “Kelompok-kelompok yang sedang saya ajak bicara ini mempunyai tujuan. Tidak mungkinkah dari antara mereka itu akan muncul generasi sebagaimana penduduk Makkah dan Madinah yang disatukan oleh perasaan iman yang kuat dan fikrah yang satu, yang menjadikan mereka berada dalam satu barisan? Tidak mungkinkah dari mereka itu muncul pasukan penyelamat?”

Ikhwan sekalian, kaum muslimin hari ini mempunyai pemikiran, yang jika dilihat dari satu sisi benar, tetapi bila dilihat dari sisi lain salah. Mereka benar ketika berkeyakinan bahwa para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam merupakan contoh-contoh manusia yang sempurna, yang tidak pernah dilihat bandingannya oleh umat manusia, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan para sahabat lain. Kita mendapati mereka ibarat bintang-bintang yang bertaburan di langit kejayaan manusia. Ini benar.

Namun merupakan kesalahan jika kaum musilmin beranggapan bahwa keagungan, kebaikan, dan ketinggian ini telah diraih oleh para sahabat, dan setelah itu segalanya berakhir sehingga tidak akan pernah kembali ke dunia selama-lamanya. Kenapa, wahai Akhi? Sedangkan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tegak di atas kebenaran, tidak akan membahayakan mereka siapa yang berselisih dengan mereka.”

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Orang-orang yang terdahulu lagi pertamatamamasuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar danorang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (QS. At-Taubah: 100)

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami.'” (QS. Al- Hasyr: 10)

Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda, “Duhai, alangkah baiknya kiranya aku bisa menjumpai ikhwanku.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,siapakah ikhwanmu? Apakah kami termasuk dari mereka?” Beliau bersabda, ‘Tidak, kalian adalah sahabat-sahabatku. Ikhwanku adalah orang-orangyang datang setelah kalian, yang beriman kepadaku sebagaimana keimanan kalian, membelaku sebagaimana pembelaan kalian. Duhai, alangkah baik kiranya aku bisa menjumpai ikhwanku!”

Beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda, “Umat ini akan tetap tegak di atas perintah Allah, tidak membahayakan mereka siapa saja yang menyelisihi mereka, sampai datang keputusan Allah.”

Fondasi pertama adalah para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam dan mereka tidak mungkin untuk disusul. Tetapi ini bukan berarti bahwa selain mereka tidak akan memperoleh pertolongan. Barangsiapa yang menyangka bahwa rahmat Allah subhanahu wa ta’ala telah berhenti pada generasi pertama, berarti ia telah salah jalan. Iman adalah pilar kemuliaan dan kejayaan mereka, selama di dunia ini masih ada manusia. Maka jika keimanan kita kepada dakwah yang telah menyatukan kita ini benar, tidak ada sesuatu pun yang akan mampu menghadang perjalanan kita. Tetapi jika kita bersantai-santai atau tidak mau menyikapi permasalahan ini dengan serius, umat akan melupakan kita. Karena itu, berusahalah untuk menjadi sebuah kelompok yang kuat dan memahami agama, mengamalkan ajaran-ajarannya, berhenti pada batas-batasnya, memiliki hati yang terikat dengannya, dan memiliki keinginan yang satu di atasnya, sehingga kalian benar-benar menjadi para pewaris generasi pertama dan terwujudlah janji Allah kepada kalian.

“Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-A’raf: 128)

Ikhwan sekalian, kalian tidak akan dapat mewujudkan janji ini pada diri kalian kecuali jika hawa nafsu kalian mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasul shalallahu ‘alayhi wa sallam, “Tidaklah salah seorang dari kalian beriman sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang kubawa.”

“Maka demi Tuhanmu, mereka (hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Berapa orang di antara kita, wahai Akhi, yang hawa nafsunya mengikuti apa yang dibawa oleh dakwah? Berapa orang di antara kita yang ingin menampakkan dirinya dengan penampilan yang berbeda dari penampilan manusia? Berapa orang di antara kita yang berani menentang arus umum?

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). Dankalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besardari sisi Kami. Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nisa: 66-68)

Tetapi, kenyataannya, wahai Akhi, orang-orang yang berjuang jumlahnya sedikit sedangkan orang-orang yang berlambat-lambat jumlahnya banyak. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dan sesungguhnya di antara kalian ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kalian ditimpa musibah ia berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka.’ Dan sungguh jika kalian beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kalian dengan dia, ‘Wahai kiranya saya ada bersama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula).'” (QS. An-Nisa’: 72-73)

Kapan, Ikhwan sekalian, fikrah kita bisa mencapai tingkatan di mana barometer pertama bagi seluruh amal kita adalah fikrah tersebut, sehingga apa pun yang sesuai dengannya, kita memutuskannya dan apa pun yang bertentangan dengannya, maka kita akan menentangnya. Jika fikrah tersebut menguasai sebuah kelompok sebagaimana kelompok kita ini sampai dalam tingkatan seperti ini, niscaya ia akan mampu membuat peristiwa yang cukup berarti, yang cukup untuk menyatukan hati di sekeliling kalian. Kemudian fikrah ini akan berpengaruh nyata, dan akan menjadi pembuka bagi pintu kejayaan, dengan izin Allah.

Ikhwan sekalian, kembali saya katakan bahwa saya berharap kita bisa memahami dakwah hingga sedalam-dalamnya serta mengimani tujuan-tujuannya dengan keimanan yang mendalam, sehingga hawa nafsu kita tunduk kepada agama yang hanif ini, kita laksanakan apa yang diperintahkannya dan kita jauhi apa yang dilarangnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah memuliakan rasul-Nya shalallahu ‘alayhi wa sallam dengan dakwah ini, lantas beliau mengembannya sebagaimana cara orang-orang mulia mengemban tugasnya serta menyampaikannya kepada manusia sehingga menjumpai berbagai kesulitan dan penolakan. Beliau melaksanakan perintah Tuhannya, “WahaiRasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah: 67)

Kenabian beliau adalah sebuah kenabian yang menakjubkan, yang diliputi dengan perhatian terhadap kondisi sekarang, mendatang, maupun masa yang jauh telah berlalu dan mengatur manusia sebagai makhluk nyata maupun jin yang merupakan makhluk halus yang tersembunyi. Risalah ini, wahai Akhi, diperintahkan agar diimani oleh orang-orang fakir, baik fakir dipandang dari segi jumlah, harta, maupun kebutuhan. Dan mereka pun menyambut seruan ini tanpa ragu sedikit pun, seraya meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan membantu dakwah mereka dan memenangkan syariat mereka.

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.”(QS. Ash-Shaff: 9)

Mereka tidak ragu atau lemah; mereka hidup di tengah cita-cita yang besar, sekalipun kesempitan menerpa kehidupan mereka, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala merealisasikan janji-Nya terhadap mereka dan memenangkan mereka terhadap musuh-musuh mereka.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amalamal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku.” (QS. An-Nur: 55)

Wahai Akhi, ruh dan semangat ini serta keimanan yang agung itu, merupakan kunci kesolidan mereka dan sebab kesatuan mereka.

“Dan ingatlah (wahai para muhajirin) ketika kalian masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Makkah), kalian takut orang-orang (Makkah) akan menculik kalian, maka Allah memberi kalian tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kalian kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kalian rezeki dari yang baik-baik.” (QS. Al-Anfal: 26)

“Dan ingatlah di waktu dahulunya kalian berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kalian. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf: 86)

Kelompok yang diberkahi ini berhasil mengemban beban dakwah serta melaksanakan andilnya dalam rangka menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia. Adapun kaum muslimin di masa sekarang, persis sebagaimana yang digambarkan oleh sabda Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, “Akan tetapi kalian adalah buih, seperti buih di dalam aliran air bah.”

Ikhwan sekalian, ketika kita memperhatikan dakwah dan substansinya, kita mendapatinya sebagai sesuatu yang mudah dan fitri. Dakwah tidaklah datang dengan membawa teori-teori yang kompleks dan tidak mempunyai tujuan-tujuan yang beragam, tetapi ia datang dengan ajaran yang tersimpul pada satu hal yang merupakan esensi kebaikannya, merupakan kebaikan bagi siapa yang mengikutinya, dan merupakan segala-galanya di dalamnya, yaitu tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ma’rifah (pengetahuan) tentang rasul-rasul-Nya. Ia adalah dakwah rabbaniyah, yang hendak menghubungkan manusia dengan Tuhannya, sehingga seorang mukmin bisa menjadi manusia rabbani (manusia yang berorientasi ketuhanan), yang bekerja dengan perintah Allah, mengelola segala sesuatu dengan keridhaan Allah serta dalam batas-batas ma’rifah ini, sehingga ia tidak keluar darinya walaupun hanya seujung rambut. Esensi dakwah, wahai Akhi, adalah agar Anda membebaskan diri dari hawa nafsu, ambisi, dan pendapat Anda sendiri, kemudian beramal sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah.

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Sayidina Muhammad, juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya.

More from Ceramah