“Tidak ada seorang hamba yang dipercaya memimpin rakyatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan Jannah baginya.”[1]
Dalam ilmu psikologi sosial, teori kepemimpinan sering digunakan dalam menganalisis kelompok kecil (small groups). Dalam sosiologi umum, kepemimpinan dianalisis sebagai pengaruh kekuasaan dalam kolektifitas sosial. Max Weber[2] (1946) menulis teorinya yang sangat terkenal tentang 3 tipe kepemimpinan yang dihubungkan dengan perbedaan bentuk wewenang dan legitimasi. Pemimpin karismatik menurutnya memimpin berdasarkan kekuatan pesona dari dalam dirinya, sementara pemimpin tradisional memimpin berdasarkan adat atau status kebangsawanan yang sudah diakui oleh masyarakatnya. Sementara pemimpin legaladalah mereka yang memimpin berdasarkan keahlian dan sesuai dengan aturan formal dalam masyarakat modern.
Dalam hadits di atas, Islam memperingatkan kepada para pemimpin, siapapun dia dan dari kelompok manapun dia dan berapa pun orang yang dipimpinnya agar hendaklah menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari menipu rakyat atau pun menipu bawahannya. Di dalam hadits yang lain juga ditegaskan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya pada Hari Kiamat kelak.[3] Bahkan di dalam salah satu riwayat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus urusan ummat lalu ia malah menyengsarakan mereka, sebagaimana dalam sabdanya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ya Allah, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk mengurusi ummatku lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang diberi kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah ia.”[4] Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinanummat maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat kelak.[5]
Islam menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-Nya pada Hari Kiamat kelak,[6] ia pun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari Kiamat.[7] Dan pemimpin yang demikian akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya.[8] Sehingga dalam salah satu haditsnya, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3 golongan manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, disamping yang kedua adalah orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta.[9]
Oleh karena itu di dalam Islam pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan diataslah yang berhak dan wajib untuk ditaati (tafsir QS An Nisaa’, 4: 59) dan bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya, jika ia memiliki sifatsebaliknya maka tidak wajib sama sekali untuk didengar dan ditaati[10] (dalam ayat di atas, sebenarnya juga disebutkan bahwa syarat taat pada pemimpin adalahmu’allaq/tergantung pada apakah ia taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam atau tidak, dimana cirinya adalah ia senantiasa kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam jika terjadi perbedaan pendapat atau pun perselisihan). Sehingga pemimpin yang memiliki sifat demikian maka ia sebenarnya telah menjadi pewaris nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang wajib ditaati, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sama dengan taat kepada Allah, dan barangsiapa yang tidak taat kepadaku maka ia sama dengan tidak taat kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada pemimpin (yang sesuai dengan syariat) maka ia sama dengan taat kepadaku dan barangsiapa yang tidak taat kepada pemimpin (yang sesuai dengan syariat) maka ia sama dengan tidak taat kepadaku.”[11]
Dan ketaatan kepada pemimpin yang adil dan menjalankan syariat adalah wajib, barangsiapa yang keluar dari ketaatan atas pemimpin yang demikian maka ia akan bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala pada Hari Kiamat nanti tanpa punya alasan apapun untuk membela dirinya.[12] Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari ras dan kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib ditaati, sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang kepalanya bagaikan buah-buah anggur[13] (saking hitamnya). Islam oleh karenanya tidakmembeda-bedakan warna kulit, ras atau pun bahasa dalam masalah kepemimpinan, yang dinilai adalah ketaqwaannya dalam menjalankan aturan dan syariat Allah dan kemampuannya memimpin. Dan bagi mereka yang meremehkan pemimpin yang adil dan menghinanya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menghina dan meremehkannya.[14]
Seorang pemimpin yang adil tentunya akan memilih pembantu-pembantu, wakilwakil dan menteri-menteri yang adil pula. Tidak mungkin seorang yang baik akan mengangkat atau memilih wakil dan menteri yang merupakan para musuh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing (QS Al Mumtahanah, 60: 1). Karena tidak ada gunanya berpura-pura membela Islam atau seolah-olah tiba-tiba menjadi Muslim yang sangat taat, karena kaum Muslimin yang cerdas akan bisa menilai siapa saja teman-teman mereka dahulunya, dan siapa orang-orang yang dekat dengan kelompok-kelompok mereka (sebelum ada maunya), atau bagaimana sikap mereka terhadap para ulama serta hukum syariat.
Benarlah pernyataan pemimpin abadi kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa, maka Ia akan memberikan untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika ia khilaf maka selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu dibantu/didorong. Dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki keburukan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikanuntuknya para menteri yang jahat. Jika penguasa itu lupa, maka tidak diingatkan dan jika ia ingat maka tidak didorong/dibantu.”[15]
[1] Hadits Riwayat: 1. Bukhari, juz-XIII/112-113. 2. Muslim, juz III/1460, hadits no.21-22.
[2] From Max Weber: Essay in Sociology (1946), London, Routledge & Kegan Paul, edited by H.H Gerth & C.W. Mills.
[3] HR. Bukhari II/317 juga XIII/100; dan Muslim no. 1829; dan Abu Daud no. 2928.
[4] HR. Muslim no. 1828.
[5] HR. Abu Daud no. 2948; Tirmidzi no. 1332; Al Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri sanad-nya shahih karena ada syahid dari hadits Muadz Radhiyallahu ‘Anh yang diriwayatkan oleh Ahmad V/238-239; demikian pula menurut Albani dalam Ash Shahihah no. 629.
[6] HR. Bukari II/119 dan 124; Muslim no. 1031.
[7] HR. Muslim no. 1827; Nasa’i VIII/221; Ahmad II/160.
[8] HR. Muslim no. 1855.
[9] HR. Muslim no. 2865.
[10] HR. Bukhari XIII/109; Muslim no. 1839; Abu Daud no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasa’i VII/160.
[11] HR. Bukhari XIII/99; Muslim no. 1835; Nasa’i VII/154.
[12] HR. Muslim no. 1851.
[13] HR. Bukhari XIII/108.
[14] HR. Tirmidzi no. 2225 dan ia berkata hasan dan disepakati oleh Imam Al Mundziri; Ahmad V/42; Thayalisi II/167.
[15] HR. Abu Daud no. 2932, dengan sanad yang baik menurut syarat Muslim; juga Nasa’i VII/159 dengan sanad yang shahih.