Sirah Nabawiyah

Banu Qainuqa’: Pengkhianatan Pertama Kaum Yahudi terhadap Kaum Muslimin

Ibnu Ishaq berkata, Pada suatu kesempatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengumpulkan Banu Qunaiqa‘ di pasar Qunaiqa‘ kemudian bersabda,“Wahai kaum Yahudi, takutlah kalian kepada murka Allah yang pernah ditimpahkan-Nya kepada kaum Quraisy.Masuklah kalian ke dalam Islam karena sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah Nabi yang diutus (Allah), sebagaimana kalian dapati di dalam Kitab kalian dan Janji Allah kepada kalian!“

Jawab mereka,“Wahai Muhammad, apakah kamu mengira kami ini seperti kaummu? Janganlah kamu membanggakan kemenangan terhadap suatu kaum yang tidak mengerti ilmu peperangan. Demi Allah, seandainya kami yang kamu dapati dalam peperangan, niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini!“.

Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abdullah bin Ja‘far bin al-Musawwir bin Makhramah dari Abu ‚Uwaha bahwa, seorang wanita Arab datang membawa perhiasannya ke tempat perdagangan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ia mendatangi seorang tukang sepuh untuk menyepuhkan perhiasannya. Ia kemudian duduk menunggu sampai tukang sepuh Yahudi itu menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba datanglah beberapa orang Yahudi berkerumun mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab itu, secara diam-diam si tukang sepuh itu menyangkutkan ujung pakaiannya yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian punggungnya.

Ketika wanita itu berdiri terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi yang melihatnya tertawa gelak-bahak. Wanita itu menjerit minta pertolongan. Mendengar teriakan itu, salah seorang dari kaum Muslimin yang berada di perniagaan itu secara kilat menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di tempat itu kemudian mengeroyoknya hingga orang Muslim itu pun mati terbunuh. Tindakan orang-orang Yahudi yang membunuh orang Muslim itu menyebabkan kemarahan kaum Muslimin, sehingga terjadilah peperangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi Banu Qunaiqa‘. Dengan demikian, mereka adalah kaum Yahudi pertama kali melanggar perjanjian yang diadakan di antara mereka dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Insiden ini menurut riwayat ath-Thabary dan al-Waqidy, terjadi pada pertengahan bulan Syawawal tahun kedua Hijrah.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengepung mereka selama beberapa hari hingga mereka menyerah dan menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Setelah mereka berada di bawah kekuasaan beliau, datanglah Abdullah bin Ubay lalu berkata, “Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik.“

Permintaan Abdullah bin Ubay itu tidak diindahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Abdullah bin Ubay mengulangi lagi permintaannya, tetapi beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpaling muka sambil memasukkan tangannya ke dalam baju besinya. Wajah beliau tampak marah, hingga raut wajahnya tampak merah padam. Beliau mengulangi kembali ucapannya sambil memperlihatkan kemarahannya, “Celaka engkau, tinggalkan aku!“

Abdullah bin Ubay menyahut, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan melepaskan Anda sebelum Anda mau memperlakukan para sahabatku itu dengan baik. Empat ratus orang tnapa perisai dan tiga ratus orang bersenjata lengkap telah membelaku terhadap semua musuhku itu, apakah hendak Anda habisi nyawanya dalam waktu sehari? Demi Allah, aku betul-betul mengkhawatirkan terjadinya bencana itu!“

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akhirnya berkata, “Mereka itu kuserahkan padamu dengan syarat mereka harus keluar meninggalkan Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota ini.“

Orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘ itu kemudian pergi meninggalkan Madinah menuju sebuah pedusunan bernama‚ Adzara‘at di daerah Syam. Belum berapa lama tinggal di sana, sebagian besar dari mereka mati ditimpa bencana.

Sebagai seorang Muslim yang memiliki hubungna “persekutuan“ dengan orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘, sebagaimana Abdullah bin Ubay, maka‚Ubadah bin Shamit pun datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata,“Sesungguhnya aku memberikan loyalitas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya dan kaum Mukminin, dan aku melepaskan diriku dari ikatan persekutuan dengan orang-orang kafir tersebut.“

Sehubungna dengan kedua orang (Abdullah bin Ubay dan Ubadah bin Shamit) inilah Allah menurunkan firman-Nya, “Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Siapa saja di antara kamu mengambil mereka menjadi pimpinan, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafiq) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata: Kami takut akan mendapat bencana“. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Oleh sebab itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.“ QS Al-Maidah (5), 51- 52

Beberapa Ibrah.

Peristiwa ini secara keseluruhan menunjukkan watak pengkhianatan orang-orang Yahudi. Mereka tidak pernah putus sebelum dapat mengkhianati orang-orang yang bertetangga atau bergaul dengan mereka. Dengan menghalalkan segala cara mereka siap melaksanakan pengkhianatan.

Dengan peristiwa ini terdapat beberapa pelajaran dan prinsip di antaranya,

  1. Hijab (Cadar) Wanita Muslimah.

Seperti kita ketahui bahwa biang keladi peristiwa (pengusiran Yahudi Banu Qainuqa‘) ini berawal justru gara-gara ulah mereka sendiri, yaitu membuat onar dengan cara berusaha memaksa untuk membuka tutup muka wanita Muslimah ketika wanita tersebut datang ke pasar mereka untuk menyepuhkan perhiasannya.

Sumber terjadinya peristiwa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam ini tidak bertentangan dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa sebab timbulnya peristiwa ini ialah kedengkian orang-orang Yahudi terhadap kemenangan kaum Muslimin di perang Badr sehingga mereka berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Demi Allah, seandainya kami yang kamu hadapi dalam peperangan, niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini?“

Berkemungkinan dua sebab tersebut memang terjadi kedua-duanya bahkan yang satu saling menyempurnakan yang lainnya. Karena tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan pembatalan perjanjian dengan mereka hanya karena munculnya tanda-tanda pengkhianatan dalam perkataan mereka. Di samping itu, pasti mereka telah melakukan tindakkan-tindakkanpengkhiantan kepada kaum Muslimin sebagaimana dinyatakan oleh riwayat Ibnu Hisyam tersebut.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa hijab yang disyariatkan oleh Islam kepada wanita ialah dengan menutup muka. Seandainya tidak demikian, niscaya wanita tersebut tidak perlu ke luar rumah dengan menutup mukanya. Seandainya menutup muka bagi kaum Muslimah bukan menjadi hukum agama yang diperintahkan Islam, niscaya orang-orang Yahudi itu tidak akan memaksa wanita Arab tersebut untuk membuka tutup mukanya. Sebab dengan tindakan ini mereka hanya bermaksud menodai perasaan keagamannya yang secara jelas-jelas nampak dalam pakaiannya.

Mungkin ada orang membantah bahwa peristiwa yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam ini terdapat sedikit kelemahan dalam periwayatannya, sehingga tidak kuat untuk menetapkan hukum seperti ini. Tetapi riwayat ini ternyata juga dikuatkan oleh sejumlah Hadits Shahih, di antaranya,

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, dalam Bab Pakaian Bagi Orang Yang Ihram, ia berkata,

“Janganlah ia (wanita yang sedang berikhram) menutup muka dengan cadar dan memakai pakaian yang dicelup dengan waras (wewangian) atau za‘faran“.

Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Malik di dalam al-Mawaththa dari Nafi‘ bahwa Abdullah bin Umar pernah berkata, “Tidak boleh wanita yang sedang ihram memakai cadar muka, begitu pula memakai sarung tangan.“

Apa arti larangan memakai cadar (tutup muka) bagi wanita yang sedang melakukan ihram di waktu melaksanakan haji? Mengapa larangan ini khusus bagi wanita saja, tidak termasuk lelaki? Tidak diragukan lagi bahwa larangan atau pengecualian ini menunjukkan bahwa menutup muka (memakai cadar) merupakan sesuatu yang biasa dilakukan oleh wanita Muslimah di luar pelaksanaan haji.

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari Fatimah binti Qais bahwa setelah dia diceraikan oleh suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkannya supaya dia (Fatimahbinti Qais) menunggu masa iddah di rumah Ummu Syarik, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberitahukan kepadanya bahwa rumah Ummu Syarik banyak dihuni oleh para sahabatnya(sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan Fatimah binti Qais agar menunggu masa iddah-nya di rumah anak paman Fatimah binti Qais yaitu Ibnu Ummi Maktum, karena dia (Ibnu Ummi Maktum) seorang buta yang tidak akan melihat manakala iamelepas kerudungnya.

Itulah dalil-dalil yang mewajibkan wanita Muslimah agar menutup muka dan seluruh anggota tubuhnya dari lelaki asing. Adapun dalil-dalil yang melarang lelaki melihat wanita termasuk wajahnya, dapatkami sebutkan di antanya,

Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi dari Barirah ra, ia berkata,Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Ali, “Wahai Ali, janganlah kamu melihat (wanita) pandang demi pandang, karena kamu hanya punya hak pada pandangan yang pertama tetapi tidak pada pandangan keuda (dan seterusnya).“

Dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra. Disebutkan bahwa Fadlal bin Abbas pernah mengikuti di belakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari penyembelihan qurban. Pada kesempatan ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya oleh seorang wanita dari suku Khats‘amiah yang terkenal ceriwis. Ketika itu Fadlal memandang agak lama kepada wanita tersebut, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang dagu Fadlal dan memutarnya kebelakang.

Di dalam kandungan Hadits-hadits di atas terdapat dua larangan. Larangan bagi wanita untuk membuka wajahnya atau salah satu bagian dari anggota tubuhnya di hadapan lelaki asing, dan larangan bagi kaum lelaki untuk melihatnya. Kiranya Hadits-hadits yang telah kami sebutkan di atas cukup sebagai dalil bahwa, wajah wanita adalah aurat di hadapan lelaki asing dalam kondisi-kondisi tertentu seperti, dharurat berobat, belajar, kesaksian dan lain sejenisnya.

Tetapi di antara Imam Madzhab ada yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat yang wajib ditutup. Mereka menafsirkan Hadits-hadits mengenai masalah ini sebagai perintah yang bernilai anjuran (nadb), bukan wajib. Kendatipun demikian, semua fuqaha telah menyepakati bahwa seorang lelaki (asing, bukan muhrim) tidak boleh melihat salah satu anggota tubuh wanita dengan syahwat, dan wajib atas wanita menutup mukanya manakala kefasikkan telah menyebar luas sedemikian rupa di tengah-tengah masyarakat, karena semua orang yang memandangnya adalah orang-orang fasik dan bermata jalang.

Jika Anda perhatikan kondisi kaum Muslimin sekarang dengan segala kefasikkan dan kemungkaran, akibat lemahnya pembinaan dan akhlak, niscaya Anda akan menyadari bahwa tidak ada alasan untuk membolehkan wanita membuka wajahnya dalam kondisi seperti itu.

Sesungguhnya jurang berbahaya yang sedang dilalui masyarakat Islam dewasa ini menuntut hati-hati dan pengetatan-pengetatan sampai kaum Muslimin mampu melewati tahapan berbahaya tersebut dan mampu pula menguasai serta mendendalikan masalah yang dihadapinya.

Atau dengan ungkapan lain, sesungguhnya orang yang selalu mengambil rukshah (keonggaran) dan kemudahan-kemudahan agama, lambat laun akan menghanyutkan diri yang bersangkutan kepada tindakkan melepaskan diri dari kewajiban secara keseluruhan selagi tidak ada arus sosial Islam yang mengendalikan keringan-keringanan tersebut dalam suatu Manhaj Islami yang bersifat umum dan memeliharanya dari segala bentuk pelampauan batas yang disyariatkan.

Tetapi anehnya ada sebagian orang yang berpegang teguh kepada apa yang mereka namakan perubahan hukum mengikuti perubahan jaman, dalam masalah keringan, kemudahan dan usaha-usaha melepaskan diri dari kewajiban saja, namun mereka tidak menyebutkan kaidah tersebut sama sekali ketika situasi menuntut kebalikan daripadanya, sampai sekarang saya belum mendapatkan satu contoh yang lebih tepat untuk menerapkan kaidah perubahan hukum mengikuti perubahan jaman selain dari keharusan menetapkan kewajiban menutup wajah bagi wanita, mengingat tuntutan-tuntutan jaman pada masa kita hidup sekararang ini di samping mengingat banyaknya ranjau-ranjau yang menuntut kita agar lebih banyak berhatihati dan berwaspada dalam meniti dan melangkahkan kaki, sambil menunggu datangnya pertolongan Allah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang kita cita-citakan.

2.- Insiden yang timbul karena Yahudi banu Qainuqa‘ ini menunjukkan kedengkian yang terpendam selama ini di dalam hati mereka terhadap kaum Muslimin. Tetapi mengapa buktibukti kedengkian itu baru muncul dan terbongkar setelah sekitar tiga tahun mereka memendam kedengkian tersebut?

Jawabannya, karena sesuatu yang menyulut kedengkian yang telah lama membara di dalam dada mereka itu ialah peristiwa kemenangan kaum Muslimin pada perang Badr. Suatu kemenangan yang tidak pernah mereka bayangkan sama sekali. Hati mereka terbakar oleh kedengkian dan kebencian. Sementara itu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menumpahkannya, sehingga akhirnya mereka melakukan tindakkan-tindakkan tersebut.

Kedengkian mereka terhadap kaum Muslimin itu tampak jelas dengan sungutan dan cibiranmereka terhadap kemenangan kaum Muslimun pada perang Badr, sebagaimana dapat kita bada dalam beberapa riwayat.

Ibnu Jurair meriwayatkan bahwa Malik bin Shaif salah seorang Yahudi berkata kepada sebagian kaum Muslimin ketika mereka kembali dari perang Badr, “Janganlah kalian tertipu oleh kemenangan terhadap kaum Quraisy yang tidak mengerti ilmu peperangan! Seandainya kalian menghadapi kami, niscaya kalian tidak akan berdaya …“

Seandainya orang-orang itu menghormati “perjanjian“ yang telah mereka sepekati dengan kaum Muslimin dipastikan tidak akan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mengusik dan menyakiti mereka. Tetapi mereka tidak menghendaki selain kejahatan, sehingga kejahatan itu sendiri kembali kepada diri mereka.

3.- Perlakuan Islam kepada Orang Munafik.

Peristiwa ini berikut pembelaan Abdullah bin Ubay kepada orang-orang Yahudi dalam bentuk yang telah kita ketahui dengan jelas membeberkan kemunafikan orang tersebut. Dari sikapnya itu jelaslah sudah bahwa dia adalah seorang munafik yang menyimpan kedengkian dan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin.

Tetapi kendatipun demikian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap memperlakukannya selaku seorang Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikkannya. Tidak juga memperlakukannya sebagai seorang musyrik atau murtad atau yang berdusta dalam menganut Islam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meluluskan permintaan dan tuntutannya itu.

Ini menunjukkan sebagaimana disepakati para ulama bahwa orang munafik selama di dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslimin sebagai seorang Muslin. Mereka harus diperlakukan sebagai orang-orang Muslim sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan.

Ini karena hukum-hukum Islam secara keseluruhan terdiri dari dua aspek. Aspek yang harus diterapkan di dunia di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat mereka, dengan dipimpin oleh seorang Khalifah atau kepada negara. Dan Aspek lain yangakan diterapkan kelak di akherat, yang pada saat itu segala urusan dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Sejauh menyangkut aspek yang pertama, seluruh persoalannya harus didasarkan kepada bukti-bukti hukum yang bersifat material dan empirik, karena setiapkeputusan hukum didasarkan kepadanya. Alasan-alasan yang didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan kesimpulan dari indikasi, tidak boleh digunakan di sini.

Adapun aspek yang kedua, maka sepenuhnya didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan yang akan bertindak mengadili adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kaidah ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Umar ra, “Kami sekarang ini memutuskan (perkara) hanya berdasarkan kepada amalan kalian yang bersifat lahiriah.“

Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kepadaku, yang mungkin saja sebagian orang di antaranya kalian lebih pandai berhujjah daripada yang lainnya sehingga aku memutuskan perkaranya berdasarkan apa yang aku dengar. Maka siapa saja yang mendapatkan keputusan dariku dengan kuberikan sesuatu yang sebenarnya menjadi hak saudaranya, hendakllah ia tidak mengambilnya karena itu hanyalah segenggam dari api neraka.“

Hikmah ditetapkan kaidah ini, agar keadilan di antara manusia tetap terpelihara dan tidak menjadi ajang permainan. Sebab, mungkin saja ada sebagian penguasa memutuskan suatu perkara semata-mata berdasarkan kepada hal-hal yang bersifat dorongan perasaan dan keyakinan hari, hanya karena ingin bertindak dzalim kepada sebagian orang.

Sebagai pelaksanaan terhadap kaidah syariat inilah maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kendatipun banyak mengetahui ikhwal kaum Munafiqin dan apa yang terpendam di hati mereka melalui wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam Hukum-hukum syariat secara umum memperlakukan mereka (Munafiqin) sebagaimana halnya terhadap kaum Muslimin tanpa membeda-bedakan.

Ini tidak bertentangan dengan kewajiban kaum Muslimin untuk bersikap hati-hati terhadap kaum Munafiqin dan bertindak arif dalam menghadapi berbagai tindakkan mereka. Kerena hal ini merupakan kewajiban kaum Muslimin pada setiap waktu dan situasi.

4.- Memberikan Wala‘ (Kepemimpinan) kepada Non-Muslim.

Jika kita perhatikan Hukum Syariat yang dikeluarkan menyusul peristiwa ini, yaitu ayat-ayat al-Quran yang diturunkan sebagai komentar terhadap kasus tersebut, dapatlah diketahui bahwa seorang Muslim tidak boleh menjadikan non-Muslim sebagai Wali (pemimpin atau tempat memberikan loyalitas), atau sebagai teman setia atau sejawat untuk melakukan kerjasama dan menjalin tanggung jawab kewalian.

Masalah ini termasuk Hukum-hukum Islam yang tidak pernah diperselisihkan oleh kaum Muslimin sepanjang masa, kerana ayat-ayat al-Quran menyangkut masalah ini banyak sekali jumlahnya. Bahkan Hadits-hadits Nabawi pun yang menegaskan masalah ini, mencapai derajat mutawatir ma‘nawi. Di sini tidak perlu kami sebutkan dalil-dalil tersebut, mengingat sudah banya diketahui oleh masyarakat luas.

Tidak ada pengecualian dalam hukum wala‘ ini melainkan tersebab oleh satu kondisi, yaitu apabila kaum Muslimin dalam keadaan terlalu lemah menghadapi berbagai intimidasi dipaksa sedemikian rupa untuk memberikan wala‘nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keringanan ini dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan menidak-acuhkan atau meninggalkan orang-orang Mukmin (lainnya). Siapa saja berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Terkecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu terhahap diri (siksa)-Nya. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali(mu).“ QS Ali Imran, 28

Hendaknya diketahui bahwa larangan menjadikan non-Muslim sebagai Wali ini, tidak berarti sebagai perintah untuk dengki terhadap mereka. Seorang Muslim dilarang berlaku dengki kepada siapapun. Harus disadari pula bahwa seseorang marah terhadap orang lain karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu tidak sama dengan berbuat dengki kepadanya. Sebab tindakkan yang pertama bersumber dari kemungkaran yang tidak diridhai Allah yang membuat seorang Muslim marah karenanya, sedangkan tindakkan yang kedua bersumber dari pribadinya, tanpa memandang tindakkan dan perbuatannya.

Marah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sebenarnya timbul karena rasa kasihan kepada orang yang berbuat maksiat atau orang kafir yang sepatutnya mendapatkan murka tersebut. Sebab, orang Mukmin diperintahkan supaya mencintai semua orang sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh seorang Mukmin selain daripada membebaskan dirinya dari siksa hari Kiamat, dan meraih kebahagiaan abadi. Oleh sebab itu, jika ia marah kepada orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang kafir maka itu hanya karena ghirahnya kepada mereka dan keprihatinannya melihat mereka terancam oleh kesengsaraan abadi dan siksa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di akherat. Ini tentu bukan tindakkan dengki yang dilarang. Tindakkan ini tak ubahnya seperti seorang ayah yang marah kepada anaknya demi kemaslahatan dan kebahagiana sang anak tersebut.

Tindakkan ini juga tidak bertentangan dengan perintah bertindak “keras“ terhadap kaum kafir. Karena seringkali tindakkan keras itu merupakan satu-satunya sarana untuk perbaikan. Seorang penyair pernah berkata, “Bertindaklah keras supaya mereka sadar, Siapa yang mengasihi seseorang, hendaklah sekali-sekali bertindak keras kepadanya.“

Hendaknya diketahui pula bahwa larangan memberikan wala‘ kepada kum kafir tidak berarti memberikan peluang untuk bertindak tidak adil kepada mereka atau tidak menghormati perjanjian-perjanjian yang sedang berlangsung antara kaum Muslimin dengan kaum kafir. Keadilan harus selalu ditegakkan. Kebencian dan kemarahan karena Allah sama sekali tidak boleh menghalangi pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan.

Firman Allah, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.“ QS Al- Maidah:8

Hal ini bertujuan supaya Anda menyadari bahaw kaum Muslimin, tidak seperti ummat yang lain, adalah satu ummat sebagaimana ditegaskan oleh naskah perjanjian yang telah kami jelaskan terdahulu. Dengan demikian wala‘ dan persaudaraan mereka harus dibatasi hanya pada lingungan mereka saja. Adapun pergaulan (mu‘amalah) mereka kepada semua orang maka harus didasarkan kepada prinsip-prinsip keadilan dan keinginan akan kebaikan bagi semua orang.

More from Sirah Nabawiyah