Kebangsaan (Syu’ubiyah)

Istilah ini (Syu’ubiyah) berasal dari akar kata jamak syu’ub yang bentuk tunggalnya adalah sya’b. Salah satu arti sya’b adalah kelompok manusia yang tunduk pada sebuah sistem sosial, atau berbicara dengan satu bahasa. Dalam Al Qur’an disebutkan:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal.” (Al Hujuraat: 13)

Kelompok manusia yang membentuk satu bangsa (sya’b) adalah yang menempuh jalan pembauran dan persatuan setahap lebih besar daripada yang masih ada pada ikatan suku. Maka suku-suku dengan proses pembauran dan pengembangan membentuk format baru menjadi satu bangsa. Sedangkan kebangsaan (syu’ubiyah), dalam pemikiran dan sejarah Arab Islam, merupakan terminologi yang menunjukkan karakter dan gerakan yang dibedakan dalam kerangkanya oleh dua aliran:

Pertama: syu’ubiyah dalam pengertian persamaan antara bangsa-bangsa dan suku-suku, yakni antara unsur Arab yang didominasi oleh sistem kesukuan dan golongan Mawali (penduduk negeri yang dikuasai oleh bangsa Arab), yang mana mereka itu berbangsa-bangsa –khususnya bangsa Persia. Pengertian syu’ubiyah ini mulai dipakai, yakni untuk memperoleh persamaan, untuk menghadapi kecenderungan Bani Umayah yang lebih mengutamakan unsur Arab baik karena fanatisme atau karena faktor keamanan Negara ketika terdapat keraguan terhadap loyalitas kaum Mawali –penduduk asli negeri yang dikuasai oleh penguasa yang berdarah Arab– di kalangan Dinasti Umayah. Maka syu’ubiyah dengan pengertian ini merupakan suatu orientasi yang dapat diterima menurut Islam yang tidak membedakan antara Arab dan non-Arab (‘Ajami) selain karena ketaqwaan.

Kedua: adalah syu’ubiyah yang penganutnya melampaui tuntutan persamaan antara bangsa-bangsa dan suku-suku, hingga mengklaim superioritas bangsa Persia atas suku-suku Arab dan mereka menyebarluaskan pemikiran dan teori-teori filsafat yang merendahkan ras Arab sebagai bangsa; merendahkan tradisi, adat istiadat, pakaian, kualitas makanan, perlengkapan hidup, model kehidupan serta kebudayaan mereka dengan menggeneralisasikan mereka secara mutlak.

Yang tampak dari permukaan dari aliran syu’ubiyah ini bahwa Islam diterima sebagai agama dan Arab ditolak sebagai bahasa, negara, tradisi, dan model hidup. Akan tetapi terdapat berbagai indikasi yang menunjukkan bahwa kecenderungan terhadap syu’ubiyah menyimpan sikap menolak Islam di balik penolakan terhadap Arabisme; dengan berusaha memelihara tradisi agama Persia klasik. Orientasi Aryanisme Persia laten ini dan pergerakan bawah tanah telah memberi andil besar dalam menjatuhkan Dinasti Umayah yang bercorak Arab. Dalam tubuh pasukan yang mendukung Abu Muslim Al Khurasani (wafat 755 M) terdapat unsur-unsur yang sangat menonjol memainkan peran ini. Bahkan kelompok yang mempunyai orientasi syu’ubiyah telah berhasil mengubah sistem khilafah sebelum mereka berhasil menjatuhkan Dinasti Umayah kemudian membersihkannya dari unsur-unsur Alawi dalam revolusi –karena mereka mempunyai orientasi Arab– yang diwakili oleh kaum Mu’tazilah yang berhasil mengadakan bai’at khilafah kepada Nafs Zakiah Muhammad bin Abdullah bin Al Hasan (712-762 M). Kaum syu’ubiyah berhasil mengalihkan khilafah kepada kelompok Bani Abbas yang penggalakan kampanyenya dilakukan dalam iklim Persia serta mengandalkan unsur-unsur Arab, bahkan kaum syu’ubiyah bersikap memusuhi Arab yang aspirasi mereka cenderung kepada Alawiyah (pendukung keluarga Ali bin Abu Thalib).

Sejarah menyebutkan bahwa Imam Dinasti Abbasiah Ibrahim bin Muhammad (701-749 M) telah menulis pesan kepada salah satu orang kepercayaannya di Persia: “Jika kamu sanggup, jangan biarkan ada seorangpun yang berbicara Bahasa Arab, jika ada dan kamu anggap perlu dibunuh, maka lakukanlah! Waspadalah terhadap Bani Mudhar, sebab mereka adalah musuh yang dekat, maka binasakanlah para tokoh mereka, jangan dibiarkan mereka di muka bumi sedikitpun.”

Inilah yang dilakukan Abu Muslim Al Khurasani yang mengalihkan khilafah dari kaum Alawi kepada Bani Abbas dengan memberi bai’at kepada Abu Al Abbas As Saffah (722-754 M), hal mana menjadikan kaum syu’ubiyah memegang kendali kekuasaan pada abad pertama pemerintahan Dinasti Abbasiah dan mendominasi berbagai bidang kehidupan.

Dalam kehidupan pemikiran dan sosial Islam telah tercipta aliran ketiga: penolakan fanatisme Arab dan fanatisme syu’ubiyah sekaligus, yang menyerukan kepada persatuan antar bangsa-bangsa dan suku-suku atas dasar petunjuk rambu-rambu Islam dan semangat ta’aruf (saling mengenal) antar kelompok. Tentang pemahaman ini, Al Jahizh (780-869 M) mengemukakan: “Sesungguhnya kaum Al Mawali lebih mirip dengan Arab, lebih dekat dengan mereka, lebih menbutuhkan mereka, karena sunnah menjadikan mereka bagian dari Arab. Mereka itu Arab dalam perserikatan dan dalam warisan. Inilah ta’wil sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Maula (hamba) kaum adalah bagian dari mereka sendiri,” dan sabdanya yang lain: “Wala’ (loyalitas) adalah daging seperti darah daging nasab.” Jika ini dipahami, maka jiwa menjadi lemah lembut, keruwetan menghilang, dan yang ada hanyalah kompetisi sehat.”[1]



[1] Lebih lanjut, lihat DR. Muhammad ‘Immarah, dalam Tayyarat Al Fikr Al Islami.