Kebijakan Politik Sultan Orkhan

Semua peperangan yang terjadi di masa Orkhan terfokus pada kekaisaran Romawi. Namun peristiwa berbeda terjadi pada tahun 736 H/ 1336 M. Saat itu kepala pemerintahan Saljuk Romawi, Qarashi, wafat. Setelah kematiannya, terjadi perselisihan antara dua anaknya dalam memperebutkan kursi kekuasaan. Orkhan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, maka dia pun melibatkan diri dalam konflik, sampai akhirnya berhasil menguasai wilayah itu. Memang salah satu tujuan berdirinya Negara Utsmani adalah untuk mewarisi wilayah-wilayah yang semula berada di bawah kekuasaan Saljuk di Asia Kecil. Konflik ini terus terjadi antara pemerintahan Utsmani dan negeri-negeri kecil itu, hingga masa pemerintahan Al-Fatih yang kemudian ditandai dengan penyerahan seluruh Asia Kecil ke dalam kesultanan Utsmani.

Orkhan berusaha menguatkan penopang kekuasaannya. Untuk itu, dia melakukan pekerjaan-pekerjaan reformatif dan pembangunan, menertibkan administrasi, menguatkan militer, membangun masjid-masjid, dan akademi-akademi ilmu pengetahuan.[1] Akademi-akademi itu dipimpin oleh para ulama terkemuka yang sangat dihormati pemerintah. Pada setiap desa ada sekolah, sedangkan di setiap kota ada fakultas yang mengajarkan tata bahasa, logika, metafisika, fikih bahasa, balaghah, arsitektur, ilmu falak,[2] dan tentu saja hafalan Al-Quran dan ilmu-ilmunya, juga sunnah, fikih, dan akidah Islam.

Demikianlah kebijakan yang diambil Orkhan tatkala dia menguasai Qarashi, selama 20 tahun tanpa timbul peperangan satu kali pun. Bahkan dia berhasil menghapusnya dan menggabungkannya dalam masyarakat sipil dan militer yang dibentuk oleh pemerintahannya. Satu bukti kebesaran Orkhan adalah adanya stabilitas di dalam negeri, pembangunan masjid-masjid, pemberdayaan wakaf, pembangunan tempat-tempat umum. Orkhan memiliki pandangan yang sangat bijak karena semua peperangan yang sedang berlangsung di masanya tidak ditujukkan sekedar memperluas wilayah kekuasaan. Dia melakukan semua itu agar kekuasaannya memiliki wibawa di mata wilayah-wilayah yang sudah dikuasai. Dalam setiap pembukaan wilayah, dia selalu membangun masyarakat madani, militer, terdidik, dan berbudaya, sehingga wilayah-wilayah itu manjadi bagian tidak terpisahkan dari kekuasaan pemerintahan Utsmani di Asia Kecil yang berjalan stabil.

Ini semua menunjukkan pada pemahaman Orkhan yang luas tentang apa yang disebut dengan “sunnah gradualistik” (proses bertahap) dalam pembangunan sebuah negara dan peradaban, serta dalam membangkitkan sebuah negara.

Tak lama setelah Orkhan berhasil membangun pemerintahan dalam negerinya, terjadilah konflik perebutan kekuasaan di internal kekaisaran Byzantium (Romawi). Sementara itu kaisar Kontakusianus meminta bantuan Sultan Orkhan untuk melawan musuhnya. Sultan pun mengirimkan pasukan Utsmani untuk memperkuat pengaruh kekuasaan Utsmani di Eropa.

Pada tahun 1358 M, terjadi sebuah gempa besar di kota-kota Turaqiya sehingga menyebabkan ambruknya benteng-benteng Gallipoli. Peristiwa ini melicinkan jalan bagi kaum muslimin untuk memasukinya. Kaisar Byzantium melayangkan protes terhadap apa yang dilakukan oleh tentara Orkhan itu. Namun tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Jawaban Orkhan saat itu adalah, kekuasaan Illahi telah membuka pintu kota di depan kekuatan pasukannya. Dengan demikian maka jadilah Gallipoli sebab basis pertama kesultanan Utsmani di Eropa. Dari sinilah kemudian bergerak pasukan Islam pertama yang akhirnya mampu menguasai kepulauan Balkan.

Tatkala Hana V di Luyulujis menyatakan diri terpisah dari pemerintahan Byzantium, maka semua wilayah yang dikuassai Orkhan menyatakan diri berada di wilayah kekuasaan Sultan, dengan syarat Sultan akan mengirimkan bahan makanan dan bantuan lain ke Konstantinopel. Orkhan mengirimkan beberapa kabilah muslimin dalam jumlah besar dengan tujuan untuk menyebarkan Islam serta dalam rangka mencegah pengusiran orang-orang Islam oleh orang-orang Nasrani dari Eropa.[3]



[1] Muhammad Al Fatih, Dr. Salim Ar-Rassyidi, hlm.25

[2] Fit Tarikh Al-Islami, Muhammad Abdur Rahim, hlm.40

[3] Ushulut Tarikh Al-Islami, hlm.47