Syari’ah adalah aturan buatan Allah, bersifat tetap, melalui wahyu Allah kepada para nabi dan rasul. la adalah jalan ilahi yang ditentukan oleh-Nya berupa agama, diperintahkan kepada orang-orang mukallaf agar menelusurinya atas dasar pilihan dengan tujuan agar orang mukallaf menjadikannya sebagai jalan hidup di dunia dan akhirat.[1]
Syari’ah hanya ada satu dalam satu umat dan satu risalah kenabian, dan syari’ah membentuk –dengan aqidah– peradaban risalah dan agama. Jika risalah para rasul seluruhnya telah sepakat pada satu aqidah agama ilahi, maka dalam syari’ah masing-masing terdapat peradaban. Sebab setiap rasul mempunyai syari’ah sendiri yang diwahyukan oleh Allah kepadanya. Dengan keistimewaan syari’ah Islam berupa apa yang sesuai dengan kematangan intelektualitas manusia, terdapat pula ciri dasar dalam menghadapi berbagai perubahan dengan prinsip kaidah-kaidah kulliyat, filsafat hukum yang bersifat tetap, tidak berubah dan sesuai fitrah manusia. Karena karakter syari’ah bersifat universal, maka merupakan keharusan bagi syari’ah dapat berlaku dalam menghadapi perkembangan baru yang menyambut tuntutan baru pula. Keistimewaan syari’ah Islam lainnya adalah bahwa ia merupakan syari’ah penutup bagi syari’ah-syari’ah yang pernah diturunkan kepada para nabi untuk manusia. Oleh sebab itu, syari’ah Islam dapat menjawab tuntutan modernitas yang ditimbulkan oleh perkembangan jaman selama masa-masa yang panjang hingga perkembangan masa depan kehidupan manusia, agar Allah mewariskan bumi ini seisinya.
Setelah Al Qur’an berbicara tentang keterangan syari’at-syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada umat-umat yang mendahului umat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, secara historis berjalan pada jalan risalah-risalah samawiah, Allah lalu berbicara kepada Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan firman-Nya:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa. Al Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.” (Al Jaatsiyah: 18-20)
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan umatnya memiliki syari’at universal, bersifat ilahiah dan istimewa –sebagai pedoman dan petunjuk– yang harus diikuti sebagai taklif (beban tugas agama) dari Allah. Selain dari ayat-ayat ini terdapat sejumlah ayat dalam Al Qur’an yang menegaskan taklif wujubi (tugas keharusan agama) tentang kewajiban memberlakukan hukum-hukum syari’ah Islam (tahkim Asy Syari’ah), seperti pada firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat.” (An Nisaa’: 105)
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy Syuura: 10)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan rasul-Nya (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih balk akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya mereka ketika menganiaya diri mereka (dengan berhakim kepada selain Nabi Muhammad) datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 64-65)
Jadi, umat Islam mempunyai syari’at Ilahiyah satu yang harus dijadikan pegangan hukum, sebab ia adalah aturan Allah dan kedaulatan (hakimiyah)-Nya pada umat penutup ini. Akan tetapi, apakah aturan Allah berarti kedaulatan Allah satu syari’at Islam dengan mengesampingkan kedaulatan manusia dalam fiqih hukum dan fatwa? Ataukah kesatuan syari’ah telah mewakili kumpulan menyeluruh aturan Allah dalam syari’at yang meluas bagi kedaulatan (hakimiyah) manusia yang ditugaskan Allah, karena jumlah hukum dan fatwanya sebanyak keragaman maslahat, kejadian, adat dan tradisi, serta apa yang menyebabkan keragaman dan banyaknya ijtihad pada ahli hukum: qadhi dan mufti?
Multi kekuasaan (hakimiyah) manusia dalam hukum dan keragaman dalam ijtihad manusia dalam fatwa– dalam kerangka kulliyat, batas-batas, prinsip dan kaidah-kaidah satu syari’ah Islam– merupakan satu kenyataan syari’at Islam yang tidak dipertentangkan oleh ulama manapun. Akan tetapi karena masalah ini menjadi titik inti penolakan dari golongan awam yang bertaklid, dan dipandang sebagai bidang yang masuk dalam kebudayaan Islam, mereka menolak adanya kewenangan manusia dalam kerangka kewenangan syari’ah ilahiyah. Oleh sebab itu, mereka mengingkari multi kewenangan Islam dalam kerangka satu syari’ah. Masalah ini membutuhkan pembicaraan mendetail.
Keraguan kelompok yang mempertanyakan masalah ini telah mulai, dalam peradaban Islam, dengan pernyataan keras kaum Khawarij di kubu pasukan Ali bin Abu Thalib, setelah timbul kekacauan, ketika mereka menyatakan: “Tidak ada aturan kecuali aturan Allah.” Mereka bermaksud mengharamkan dan menyalahkan aturan manusia dalam pertikaian yang timbul antara Ali bin Abu Thalib dan Muawiah bin Abu Sofyan mengenai kematian Utsman bin Affan. Mereka lalu membuat kontroversi antara kewenangan aturan Allah dan kewenangan manusia. Akan tetapi Imam Ali bin Abu Thalib telah dapat menjelaskan keraguan ini ketika ia membedakan antara aturan Allah dengan hukum perundang-undangAn Nya yang tidak ada campur tangan mitra didalamnya dan kewenangan hukum manusia yang dijadikan khalifah oleh Allah untuk menegakkan kewenangAn Nya di muka bumi ini, khususnya dalam wilayah fiqih dan ijtihad yang belum ditentukan olen nash-nash qath’i: isyarat dan ketetapan hukumnya. Sebab kewenangan hukum manusia –hingga meskipun banyak dilakukan ijtihad — adalah konsekuensi hukum Allah dengan istikhlaf manusia untuk menegakkan aturan hukum Allah. Imam Ali menyingkirkan keraguan ini ketika menangkis seruan kaum Khawarij dengan katakatanya: “Kata-kata mereka itu satu kebenaran yang dimaksudkan untuk suatu kebathilan!” Benar, bahwa tidak ada kewenangan hukum kecuali milik Allah saja, akan tetapi mereka mengatakan: Tidak ada kepemimpinan kecuali milik Allah! Padahal disana ada keharusan bagi manusia memiliki seorang pemimpin: pemimpin yang baik atau yang jahat.[2]
Jadi manusia adalah penguasa dan ia mempunyai kedaulatan khalifah. Kedaulatannya ini adalah aturan ilahi yang tanpa dengannya aturan hukum Allah tidak terwujud dalam istikhlaf: Pada masa modern skeptisisme kaum Khawarij itu menemukan tempat pada sebagian ahli jumud dan taklid yang ekstrim yang mengambil secara serampangan kata-kata yang ditulis oleh Abul A’la Al Maududi (1903-1979) dengan menganggap bahwa kata-katanya itu menafikan kewenangan hukum dari manusia dan menetapkan kontradiksi antara kewenangan hukum Allah dan kewenagan hukum manusia serta menolak memberi khilafah dan istikhlaf warna kewenangan hukum dalam masalah-masalah ijtihadiah. Mereka mengambil secara serampangan kata-kata Al Maududi dari maksud yang sebenarnya dan tidak melihat pada banyak kata-katanya yang lain yang mencerminkan pemikirannya dalam masalah ini. Mereka berhenti pada kata-kata yang dikemukakan Al Maududi: “Asas yang menjadi pusat tiang penyangga teori politik dalam Islam adalah bahwa semua kekuasaan (powers) yang memerintah dan yang membuat undang-undang dilepas dari tangan manusia baik individu maupun kolektif. Tidak dibenarkan bagi seseorang di antara mereka mengenakan perintahnya kepada sesama manusia lalu mereka mengikutinya, atau membuat undang-undang untuk mereka lalu mengikutinya. Sebab yang demikian itu adalah khusus urusan otoritas Allah sendiri, tidak seorangpun berhak ikut terlibat di dalamnya.”
“Karakter dasar bagi Negara Islam ada tiga:
- Tidak ada kedaulatan apapun bagi individu, atau keluarga atau kelas, atau partai atau semua unsur dalam negara. Sebab pemilik kedaulatan hakiki khusus milik-Nya sendiri. Semua yang ada di planet ini hanyalah makhluk yang berada di bawah kekuasaanNya yang Maha Agung.
- Tidak seorangpun selain Allah, yang memiliki kewenangan legislatif dan kaum Muslimin, meskipun satu sama lain saling membantu, tidak dapat dibenarkan membuat undang-undang.
- Negara Islam, bangunannya hanya dapat ditegakkan di atas undang-undang yang dibawa oleh Nabi (saw) dari sisi Tuhannya, meskipun kondisi dan situasi berubah.”[3]
Islam senantiasa menggunakan kata khilafah (vicegerency) dalam berbicara kepada orang-orang yang melaksanakan undang-undang ilahi di muka bumi, daripada memakai kata hakimiyah (sovereignty) atau kedaulatan, kekuasaan dan kewenangan hukum.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengarahkan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebelum mereka berkuasa.” (An Nuur: 55)[4]
Kata ilah (Tuhan) dan istilah hakimiyah (vicegerency) adalah dua kata yang memiliki satu pengertian.[5]
Mereka berhenti pada kata-kata yang dikemukakan Al Maududi ini yang dipahami secara salah bahwa ia menolak secara mutlak hakimiyah dari manusia manapun secara mutlak. Mereka juga menganggap bahwa Al Maududi menolak implikasi khilafah dari istikhlaf pada jenis kedaulatan manusia apapun dalam perundang-undangan bahkan juga dalam pelaksanaan. Mereka tidak menolak pada kata-kata Al Maududi lainnya yang menetapkan bahwa manusia mempunyai hakimiyah basyariyah, berdasarkan pada kekhalifahannya dan istikhlaf Allah kepadanya, seperti dalam pernyataannya: “Sesungguhnya Allah ta’ala sendiri yang mengatur dengan dzat dan diri-Nya bahwa selain Dia diberi wewenang dan dilimpahi kekuasaan hukum.”[6]
Di sini Al Maududi membedakan antara kewenangan Allah yang asli dan kewenangan manusia yang merupakan pemberian dan pelimpahan dari Allah kepada khalifah-Nya, manusia. Begitu pula dapat ditemukan dalam pernyataan Al Maududi lainnya:
“Sesungguhnya dalam khilafah terdapat makna hakimiyah dan kekuasaan. Manusia dalam sistem alam adalah penguasa bumi, akan tetapi kekuasaan atas bumi ini bukanlah pada dzatnya dan aslinya, melainkan kekuasaan yang didelegasikan (mufawwadh).”[7]
Ini merupakan pernyataan tegas dari Al Maududi bahwa manusia adalah penguasa bumi dengan istikhlaf (menerima tugas kekhalifahan) dari Allah untuk menegakkan hakimiyah Allah dalam pemakmuran manusia. Pada kesempatan lain Al Maududi menyatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberi kaum Muslimin, dalam pemerintahan Islam, kedaulatan populer terbatas (limited popular sovereighty).”[8] Bahkan Al Maududi telah mengingatkan bahwa di hadapan kedaulatan manusia terdapat bidang-bidang luas dalam hukum Islam: bidang parsial dan turunan yang mendetail yang dibiarkan oleh Al Qur’an sebagai medan ijtihad, ketika syari’at berhenti pada kulliyat (prinsip-prinsip umum). Sebab Al Qur’an Al Karim bukanlah kitab yang membicarakan hal-hal yang terperinci (juz’iyat at tafshil) melainkan sebuah kitab yang berbicara tentang prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah umum dan tugas pokoknya adalah memaparkan dasar-dasar ideologis dan moral dalam sistem Islam secara jelas. Kemudian menetapkan secara mantap dengan kedua cara: mengarahkan akal dan membangkitkan citarasa. Adapun hal yang berhubungan dengan bentuk praktis kehidupan Islam, Al Qur’an tidak menjelaskan dengan meletakkan aturan-aturan terperinci, melainkan memberi batas-batas pokok saja.[9] Masalah-masalah yang tidak ditemukan nash syara’nya, yang mana ini adalah medan yang sangat luas, maka menjadi tugas ahlul halli wal ‘aqdi, –yaitu orang-orang yang berkompeten untuk memberi penjelasan boleh atau tidaknya secara hukum— untuk melakukan ijtihad dalam merumuskan aturan yang dapat membawa maslahat bagi umat dengan musyawarah timbal balik dengan syarat bersesuaian dengan kerangka umum dasar-dasar syari’ah.[10]
Demikianlah, imam Ali bin Abu Thalib telah memberi argumentasi terhadap kaum Khawarij klasik ketika mereka menolak kedaulatan hukum dari manusia dengan menganggap ini bertentangan dengan kedaulatan hukum Allah. Begitu pula Al Maududi telah memberi argumentasi dengan menjelaskan sikapnya serta memberi batasan pemikirannya dalam masalah yang sama: kedaulatan Allah dan kedaulatan manusia, yaitu ketika menegaskan adanya kedaulatan manusia di bidang-bidang yang sangat luas dalam hukum Islam. Pada setiap bidang ini terdapat kedaulatan manusia yang beragam dengan keragaman ijtihad untuk mewujudkan aturan manusia yang memegang khilafah dari Allah dalam rangka membangun peradaban, memakmurkan bumi dan menerapkan aturan Allah pada peristiwaperistiwa pemakmuran ini. Al Maududi telah memberi argumentasi dengan memberi batasan pemikirannya dengan menolak terhadap kelompok ekstrimis modern, yang mengemukakan penolakan tentang adanya kewenangan manusta, dengan mempergunakan, secara tidak benar, kata-katanya yang mereka ambil secara parsial tanpa memperhatikan kata-katanya yang lain yang menegaskan pemikirannya yang sebenarnya.
Aturan syari’ah, hingga sekalipun terdapat dalam nash yang mempunyai dilalah qath’yah (kepastian isyarat) dan tsubut (kejelasan makna) ia tidak menutup kemungkinan adanya pemahaman ganda sehingga beragam pula kesimpulan hukumnya; dari nash ini, dapat beragam pada sistem perumusan aturan dalam bentuk undang-undang; disamping beragam dalam cara pelaksanaan aturan ini -setelah dipahami, ditarik kesimpulannya dan dirumuskannya– terhadap peristiwa-peristiwa dan kondisi khususnya ketika peristiwa-peristiwa ini, sebagaimana yang biasa terjadi, berbeda dengan perbedaan maslahat, adat istiadat, dan perubahan jaman dan tempat.
Sedangkan apabila nash syar’i bersifat zhanni (tidak qath’i), maka perbedaan pemahaman, keragaman ijtihad, dan beraneka macam hukum yang disimpulkan dari nash itu, bidang-bidang yang terkait didalamnya menjadi luas. Begitu pula jika nash itu adalah sumber prinsip atau kaidah atau filsafat hukum maka ijtihad menjadi beraneka macam dan kesimpulan dari prinsip, kaidah dan filsafat hukum ini beragam dan masalah ini berbeda dan beraneka macam dengan adanya perbedaan ijtihad pada masa yang sama dan kenyataan yang sama disamping juga masa yang berbeda dan peristiwa-peristiwa yang berbeda pula.
Manusia adalah pengemban tugas khilafah dari Allah dalam memahami kedaulatan syari’ah ilahiah. Oleh sebab itu, ia bertugas merumuskan dan melaksanakan syari’at itu, sehingga Ibnu Hazm Al Andalusi (994-1064) mengatakan tentang kedaulatan manusia pengemban tugas khilafah ini: “Sesungguhnya termasuk kewenangan Allah adalah menjadikan kewenangan bagi selain Allah.”[11] Keberadaan kewenangan hukum manusia banyak dalam kerangka kewenangan satu syari’ah ilahiah, yaitu dengan banyaknya ijtihad dalam masalah-masalah yang dapat dilakukan ijtihad di dalamnya. Kewenangan hukum manusia adalah salah satu kenyataan syari’ah ilahiah dan fiqih Islam di bidang ini.
Islam tidak mengenal sistem kepastoran yang membatasi pendapat pada din seorang yang suci (dari dosa) yang kata-katanya menjadi hukum Tuhan yang suci, tanpa mengakui kata-kata orang lain. Dalam Islam ketika kitab sucinya berbicara tentang orang-orang tertentu yang memiliki tingkat pemahaman hukum dan kemampuan berijtihad dalam syari’ah, membuka pintu lebar-lebar bagi semua orang yang mempunyai tingkat kedalaman ilmu agama, sebagaimana firman Allah:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang Muslim itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama dan untuk memberi peringatan kepada kaum mereka apabila telah kembali, supaya mereka itu dapat menjaga diri.” (At Taubah: 122)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Apabila sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An Nisaa’: 82)
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri)…” (An Nisaa’: 83)
Dalam fiqih dan para ulama fiqih terdapat kemajemukan, begitu pula dalam menyimpulkan dan para pengambil kesimpulan hukum terdapat kemajemukan ulil amri dan ulama, tanpa ada monopoli hukum, atau kepastoran, atau kesucian (dari dosa) yang menghapus perbedaan pendapat dari ijtihad. Sebab dalam Islam tidak ada ‘ishmah (kebebasan dari dosa) selain Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menyampaikan risalah dari Allah ta’ala.
Sejarah kenyataan ini telah dimulai dari kenyataan sistem hukum dan syari’ah Islam secara konsepsional dan dalam praktik sejak masa kenabian; di bawah naungan masa pewahyuan; dan di bawah bimbingan dari orang yang ma’shum (Nabi). Hingga masa itupun wahyu –yang membawa kewenangan satu syari’ah ilahiah– tidak memonopoli kedaulatan meskipun menetapkan dan membuka jalan kedaulatan manusia; memberi dasar pijakan ijtihad, sebagai perwujudan bagi istikhlaf (tugas kekhalifahan) yang dibawa oleh manusia menetapkan dalam membela pintu kedaulatan manusia dibawah naungan runtut turunnya wahyu dari langit.
Di antara wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para komandan pasukan Islam adalah apabila mereka berhasil menguasai sesuatu benteng pertahanan musuh dan membicarakan perjanjian dan perdamaian dengan penduduknya agar mereka tidak menanti keputusan hukum ilahiah untuk menetapkan butir-butir isi perjanjian serta klausa-klausa perdamaian itu –seperti halnya yang ditemukan dalam pasal-pasal Taurat dalam peperangan yang dialami oleh bangsa lbrani– melainkan wasiat-wasiat Rasul itu kepada para komandan pasukan dikenal dengan ijtihad yang menunjukkan kewenangan aturan hukum mereka. Diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang amir pasukan tentara atau pasukan dalam suatu peperangan beliau memberi pesan:
“Apabila kamu mengepung penduduk benteng lalu mereka menginginkan dikenakan hukum Allah maka janganlah kamu menggunakan hukum Allah terhadap mereka melainkan gunakanlah hukum kamu sebab kamu tidak tahu apakah kamu menerapkan hukum Allah dengan benar atau tidak.” (At Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ad Darami dan Imam Ahmad)
Ini masalah ijtihad yang membuahkan aturan manusia dan kedaulatannya, yang majemuk dengan kemajemukan pembuat aturan, disamping masalah pembedaan antara satu kedaulatan Allah dan kedaulatan hukum manusia yang majemuk dengan adanya kemajemukan ijtihad. Dengan demikian sejak masa itu, telah ada dalam sistem hukum Islam kemajemukan kedaulatan dan aturan-aturan Islam dalam kerangka satu syari’ah llahiah.
Kemajemukan ini dalam kedaulatan manusia, dalam kerangka kesatuan syari’ah tampak lebih banyak dalam siyasah syar’iyah yang merupakan manajemen dan fiqih Islam yang dikendalikan oleh kaidah-kaidah keseimbangan antara maslahat dan kerusakan yang tidak ada batas-batas ketentuannya mana yang keluar dari wilayah persoalan-persoalan yang telah ditetapkan, dan mana yang keluar dari wilayah persoalan-persoalan yang berubah, terutama keluar dari wilayah aqidah. Jika syari’ah Islam yang merupakan ciptaan Allah yang bersifat tetap telah menjelaskan secara rinci mengenai urusan ibadah, ketentuan-ketentuan muamalat; sistem moral dan nilai, maka syari’at telah membiarkan banyak persoalan detail, parsial, dan perubahan-perubahan muamalat serta urusan dunia bagi ijtihad Islam untuk memahami masalah-masalah furui’yah, maka di sini terjadi kemajemukan kedaulatan antara pemegang hukum, fuqaha, dan para mufti. Masalah yang ditemukan adalah bahwa kemungkinan kecil adanya masalah imamah –khilafah dan negara– dan penanganan urusan politik dan masalah-masalah pemakmuran keluar dari kerangka aqidah yang kriteria persoalannya adalah iman dan kufur. Klasifikasi masalah ini adalah berada dalam kerangka persoalan furui’yah yang di dalamnya terdapat kemajemukan ijtihad dan kriteria persoalannya adalah benar atau salah yang diberi dua pahala bilamana ijtihad itu benar dan satu pahala bilamana salah. Imam Al Ghazali mengemukakan: “Teori tentang imamah bukanlah persoalan pokok melainkan persoalan fiqih (furui’yah).[12] Teori politik ada dua bagian: satu bagian berkaitan dengan dasar-dasar kaidah (iman) dan satu bagian lagi berkaitan dengan persoalan furui’yah. Dasar-dasar iman ada tiga: Iman kepada Allah, kepada para rasulnya dan kepada hari akhir, sedangkan selain itu adalah furui’yah sifatnya. Kesalahan dalam dasar imamah, pemilihannya, persyaratannya dan hal-hal yang berkaitan dengannya (yaitu urusan negara dan politik), tidak harus dengan sendirinya menjadi kafir.”[13]
Imam Al Haramain, Al Juwaini (1028-1085) mengemukakan: “Sesungguhnya pembicaraan tentang imamah bukanlah termasuk dasar-dasar aqidah.”[14] Sedangkan Adhududdin Al Iji (wafat 1355) dan Al Jurjani (1340-1413) mengemukakan: “Imamah tidaklah termasuk dasar-dasar agama dan aqidah, melainkan termasuk furui’yah yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf (yang mendapat beban tugas agama).”[15] Begitu pula Asy Syahristani berpendapat sama seperti mereka bahwa imamah bukanlah bagian dari dasar-dasar aqidah.[16] Ibnu Khaldun (1332-1406) menolak bahwa imamah bagian dari pilar agama sebab imamah adalah bagian dari kemaslahatan umum yang didelegasikan kepada tugas manusia.[17]
Maka masalah politik, rekayasa pemakmuran bumi, dan negara adalah bagian dari bidang ijtihad –kemaslahatan umum yang didelegasikan kepada upaya manusia– yang mana di dalamnya terdapat kemajemukan ijtihad, aturan-aturan dan kewenangan dalam kerangka kedaulatan satu syari’ah ilahiah. Yang demikian itu tidak terlintas di benak siapa pun bahwa sikap ini asing dan jauh dari ijtihad para ulama penganut paham salaf dalam tradisi pemikiran Islam, bahkan hal-hal yang tidak dipahami oleh banyak orang adalah bahwa kejernihan aliran ini lebih banyak muncul dalam bidang pemikiran politik. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Ibnu Al Qayyim (1292-1358) membedakan dalam hukum antara persoalan-persoalan khusus yang berkaitan dengan perubahan yang di dalamnya terdapat kemajemukan aturan serta kewenangan hukum, dan yang khusus dengan ketetapan-ketetapan yang berada mutlak di bawah kedaulatan serta syari’ah ilahiah. la mengemukakan: “Aturan hukum ada dua jenis, pertama tidak berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. la tetap pada posisinya, tidak berubah oleh waktu, tempat dan tidak pula oleh ijtihad ulama seperti kewajiban hal-hal yang wajib, keharaman hal-hal yang haram, ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh syara’ (hudud) atas tindakan kriminal, dan lain sebagainya. Ini semua tidak dapat diubah, tidak dapat dijadikan medan ijtihad dengan ijtihad yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’ah. Jenis kedua adalah hukum-hukum yang berubah karena tuntutan maslahat sesuai dengan waktu dan kondisi seperti ukuran ta’zir, jenis-jenisnya dan sifat-sifatnya –yang merupakan bidang luar dalam perundang-undangan– dimana badan legislatif dapat beragam dalam membuat undang-undang sesuai dengan masyarakat. Bidang ini merupakan obyek Iuas yang dipahami secara rancu oleh banyak orang bahwa aturan-aturan mengenai hal ini tidak berubah, baik terdapat di dalamnya maslahat atau tidak.[18]
Banyak aturan syari’ah yang di dalamnya terdapat kemajemukan kewenangan. Bahkan pemahaman terhadap peran kedaulatan Islam ini dalam kerangka kedaulatan syari’ah ilahiah merupakan jalan keluar bagi quazi konflik antara nash dan maslahat dalam sistem perundang-undangan Islam. Jalan keluar inilah yang mendapat perhatian syaikh Muhammad Musthafa Syalabi, ketika membagi maslahat dengan mempertimbangkan asas tetap dan berubah, menjadi dua macam: Pertama, maslahat yang berubah dengan perubahan waktu, lingkungan kondisi manusia. Inilah yang didahulukan atas nash dan ijma’, dalam masalah muamalat dan adat istiadat, karena ketergantungannya dengan maslahat yang tidak tetap, yang senantiasa terus berganti sesuai dengan perkembangan waktu, lingkungan dan kondisi. Kedua, maslahat yang tetap tidak berubah sepanjang masa, yaitu masalahmasalah ibadah, dimana nash dan ijma’ dalam hal ini didahulukan atas maslahat.[19] Demikianlah aliran pemikiran ijtihadi Islam sepakat sejak masa nubuwah hingga masa sekarang, pada kemajemukan hukum dan kedaulatan, dalam kerangka satu syari’ah ilahiah, ketika hukum dan kedaulatannya berhubungan dengan ijtihad di bidang muamalat dan masalah-masalah yang berubah karena perubahan waktu, lingkungan dan kondisi.
Aturan-aturan hukum ini, yang beragam karena keragaman ijtihad para pemegang kewenangan legislatif: para qadhi, ahli fiqih, dan para mujtahid, tidak terpisah dari sumber hukum syari’ah dan garis-garis batas ilahi, melainkan bagian dari aturan Allah yang menjadi hak mereka, yang harus dipatuhi oleh mereka.
Jika ada sebagian orang yang ragu, lalu enggan mengenakan sifat “membuat” hukum bagi manusia, karena lebih menyukai istilah bahwa manusia “mengadopsi” hukum, sedangkan pembuat hukum dan “penemu”nya adalah Allah, maka sebenarnya keraguan dan keengganan ini tidak dikenal oleh para ulama ushul klasik yang memahami peran manusia mujtahid dalam mengadopsi dan membuat aturan hukum dalam kerangka kedaulatan syari’ah ilahiah, prinsip-prinsipnya, batasan-batasannya serta kaidah-kaidahnya. Sebab bagi manusia dalam peran ini: membuat dan mengadopsi, adalah sebagai bagian tugas kekhalifahan dari Allah.
Dalam perubahan tema penting ini, bahkan teramat penting ini, Imam Syihabuddin Ahmad bin Idris Al Qarafi, seorang ulama ahli ushul (wafat 1285) dalam kitabnya “Al Ihkam fi Tamyiz Al Fatawa ‘An Al Ahkam wa Tasharrufat Al Qadhi wa Al Imam”, mengemukakan tiga pertanyaan pokok seputar problematika pemikiran, kemudian dijawab sendiri satu persatu.
Soal pertama: Apa hakikat kewenangan yang berada pada pemegang kewenangan dan ia tidak mau melepasnya? Jawab: la merupakan suatu upaya membiarkan atau mengharuskan mengenai masalah-masalah ijtihad yang di dalamnya terdapat perselisilian karena kemaslahatan dunia.
Soal kedua: Bagaimana dapat dikatakan bahwa Allah ta’ala menjadikan seseorang agar membuat aturan hukum untuk manusia? Bukankah hanya Allah yang berhak membuat aturan hukum? Apakah ada mitra dalam hal ini yang ada dalam syari’ah atau menempati kedudukan ini dan menjelaskannya?
Jawab: Tidak diragukan dan tidak dibantah dalam hal ini, bahkan Allah menetapkan sejumlah kewajiban, hal-hal yang mandub, yang haram, yang makruh (tidak disukai) dan yang mubah (boleh dilakukan) melalui lisan nabi-Nya (saw), namun demikian juga menetapkan pada prinsip syari’ah-Nya bahwa bagi orang mukallaf dapat mengadakan kewajiban atas hal-hal yang tidak wajib menurut prinsip syari’ah. Maka –dengan nadzar– yang mandub menjadi wajib baginya. Allah menetapkan pengadaan bagi mukallaf dalam bentuk lain, yaitu membuat sebab-sebab pada hal-hal yang mandub, yang haram, yang wajib, yang makruh, yang mubah dan yang tidak ada aturan hukum syari’ahnya sama sekali, lalu mengadakan dan mengkaitkan aturan hukum padanya. Masuk kedalam rumah, umpamanya, dalam dasar syari’ah aturan hukum tidak dijadikan sebagai satu sebab untuk menthalaq isteri seseorang, dan barang siapa yang mau melakukan itu maka ia dapat menjadikannya sebagai satu sebab untuk itu. Jika telah ditetapkan bahwa Allah menjadikan bagi setiap mukallaf –meskipun orang awam dan bodoh– hak untuk mengadakan aturan dalam syari’ah, maka lebih dari itu bagi pemegang hukum –para qadhi– atas keilmuan dan kedudukan tinggi mereka untuk tujuan menghindarkan kerusakan dan mematahkan kebatilan. Bukti untuk itu adalah ijma’ para ulama bahwa aturan hukum Allah adalah aturan yang dipakai oleh pemegang hukum (hakim) dalam menangani persoalan-persoalan ijtihad dan aturan hukum itu harus diikuti oleh semua imam serta tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Ini adalah sesuatu yang muncul setelah penanganan aturan oleh pemegang hukum bukan sebelumnya dan karena peristiwa yang terjadi sebelum ini berlaku bagi semua pendapat, semua perselisihan dan perbedaan. Pengadaan yang kita maksud tidak lain adalah sebatas ini.
Soal ketiga: Apakah ada contoh lain dalam kenyataan selain contoh yang telah disebutkan?
Jawab: Perumpamaan pemegang kewenangan hukum (qadhi) dan mufti bersama Allah ta’ala –dan bagi Allah suri tauladan tertinggi– ibarat qadhi Al Qudhat mengangkat dua orang. Salah seorang di antara mereka adalah wakilnya dalam melaksanakan aturan hukum sedangkan yang lainnya adalah penerjemah antara dia dan orang asing. Karenanya, di sini penerjemah harus mengikuti aturan huruf per-huruf, kata per-kata yang keluar dari sang qadhi, seperti halnya dengan mufti, harus mengikuti aturan dalil setelah melakukan deduksi dari dalil-dalil itu.
Wakil hakim dalam aturan hukum mengadakan keharusan terhadap manusia dan membatalkan keharusan itu dari mereka selama belum ditetapkan oleh orang yang mewakilkannya, yang merupakan qadhi yang sebenamya. Maka dia mematuhi ikatan-ikatan orang yang mewakilkannya bilamana ia mendelegasikan itu kepadanya dan telah menjalankannya. Dia tidak mematuhinya bilamana keharusan yang ia keluarkan tidak ada contohnya dalam peristiwa ini dari orang yang mewakilkannya, melakukan yang demikian itu adalah pokok pangkalnya. Hakim, dengan Allah, terwakili dikarenakan Dia mendelegasikan itu kepadanya, lalu melaksanakan dengan ikatan persyaratan-persyaratAn Nya. Hakim itu mengadakan aturan, karena yang ia adakan adalah hal-hal yang telah nyata dan ketentuan-ketentuannya belum ditetapkan dalam syari’ah; pengadaan aturan itu bukan untuk dijadikan dalil yang dipakai acuan dalam mengeluarkan fatwa, karena dalil-dalil yang harus diikuti adalah yang rajih (kuat). Di sinilah ia harus mengambil hukum dengan satu di antara dua pendapat yang sama tanpa men-tarjih dan tanpa mengetahui dalil kedua pendapat secara ijma’, melainkan hakim harus mengikuti hujjah sedangkan mufti mengikuti dalil.[20]
Para hakim mujtahid (qadhi, fuqaha, mufti) mempunyai hak, dalam kapasitasnya sebagai pembawa tugas khilafah, mengadakan aturan hukum yang harus diikuti, yang dalam hak mereka dan hak orang-orang yang mengharuskan mereka, dipandang sebagai aturan milik Allah untuk berijtihad dan mengatur dalam kerangka syari’ah ilahiah. Namun demikian aturan-aturan mereka itu, tetap merupakan persoalan-persoalan ijtihadiah yang tidak ma’shum (bebas dari kesalahan), yang berbeda dari aturan ilahi yang ma’shum. Di sini, dan di kaidah ini, bagi kemajemukan kewenangan mendapatkan pijakan dan medan dan bidangnya menjadi luas.
Kewenangan majemuk ini, yang dibicarakan oleh Al Qarafi tentang aturan-aturan hukum dalam kerangka satu syari’ah ilahiah –terdapat pula ulama lain, Imam Asy Syathibi (wafat 1388) yang mengemukakan hal serupa bagi para mufti dalam memberi fatwa. Tidak dibantah bahwa syari’ (pembuat aturan hukum) secara mutlak adalah Allah. Oleh sebab itu, Imam Asy Syathibi menetapkan bahwa mufti adalah syari’ dengan pemberian kewenangan khilafah dari satu sisi. Dia adalah syari’ bilamana ia mengambil kesimpulan hukum dan fatwa, tidak hanya sekedar menukil dan menyampaikan, sebab dalam proses pengambilan kesimpulan adalah seorang syari’ atas dasar istikhlaf dari Syari’ mutlak. Bilamana memberi fatwa tekstual (naqli) tidak ada kemajemukan di dalamnya, maka memberi fatwa dengan mengambil kesimpulan (istinbath) di dalamnya terdapat kemajemukan dalam kerangka kesatuan syari’ah ilahiah, bahkan di dalamnya terdapat pengadaan hukum. Asy Syathibi memberi perhatian pada kenyataan prinsip Islam ini dengan mengemukakan bahwa mufti adalah syari’ dari satu sisi, karena apa yang ia sampaikan berupa syari’ah adalah menukil dari Pemilik syari’ah atau menyimpulkan dari teks. Yang pertama disebut orang yang menyampaikan (muballigh), sedangkan yang kedua menduduki kedudukan syari’ dalam mengadakan aturan hukum. Hak mengadakan hukum memang milik Syari’, maka jika mujtahid memiliki hak mengadakan aturan hukum sesuai dengan visi dan ijtihadnya, maka dia dari sisi ini adalah syari’ yang wajib diikuti dan mempraktekkan sesuai dengan kata-katanya. Inilah khilafah yang benar, bahkan bagian yang mana ia berperan sebagai muballigh harus dilihat dari aspek pemahaman makna kata-kata syara’ dan dari aspek jalan isyarat hukumnya. Kedua masalah ini menjadi rujukan baginya dalam syari’ah. la juga menduduki posisi syari’ dalam makna ini sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah hadits:
“Sesungguhnya orang yang membaca Al Qur’an derajat nubuwah telah diangkat di antara kedua sisinya.”[21]
Dengan istikhlaf ini aturan hukum syari’ah menjadi majemuk dengan kemajemukan ijtihad dan istinbath. Apabila aturan hukum seorang hakim (qadhi) memutus perselisihan dalam masalah kaidah-kaidah syari’ah dan ushul fiqih, lalu fatwa menjadi majemuk dengan kemajemukan perselisihan dalam kaidah dan ushul. Sebab tidak ada akhir dalam pemahaman –hujjah dan dalil– melainkan yang ada adalah akhir dalam perselisihan maslahat duniawiah.[22]
Demikianlah pintu kemajemukan tetap terbuka. Bahkan hingga setelah dikeluarkan fatwa dan hukum. Sebab tidak ada akhir dalam pemahaman dan tidak pula dalam kaidah-kaidah syari’ah dan ushul fiqih, sebagaimana dikatakan oleh Al Qarafi. Ini warna lain kemajemukan dalam fatwa, seperti: perubahan fatwa dan perbedaannya, sesuai dengan perubahan jaman, tempat, kondisi, niat dan kebiasaan;[23] perubahan fatwa dengan adat dan kebiasaan serta istilah-istilah yang dipakai di negeri orang yang meminta fatwa;[24] perubahan fatwa sesuai dengan kondisi orang yang meminta fatwa, bukan mazhab mufti;[25] perubahan fatwa sesuai dengan kondisi orang yang meminta fatwa dan tingkat ketaqwaannya. Apabila derajat ketaqwaan orang yang meminta fatwa diketahui, maka ia diberi fatwa sesuai dengan tingkat ketaqwaannya itu, sebagaimana dituturkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa seorang wanita bertanya kepadanya tentang menenun dengan bantuan cahaya sinar istana raja. Lalu Ibnu Hanbal bertanya: “Siapa Anda?” Dia menjawab: “Saudara perempuan Basyar Al Hafi,” (767-841), yaitu seorang tokoh sufi kenamaan. Ibnu Hanbal kemudian memberi fatwa agar ia meninggalkan menenun di bawah cahaya lampu istana raja.[26] Hak yang halal bagi orang umum bisa jadi tidak demikian bagi orang tertentu dan kebaikan bagi orang-orang baik bisa jadi keburukan bagi orang-orang yang dekat kepada Allah, dan begitu seterusnya warna kemajemukan dalam memberi fatwa.
Kemajemukan hukum dalam kemajemukan ijtihad para ahli hukum adalah kewenangan majemuk manusia dalam kerangka satu kedaulatan syari’ah ilahiah yang dimiliki Islam hingga semua kemajemukan ini dipandang sebagai aturan hukum Allah dalam hak orang-orang yang melakukan ijtihad didalamnya, yang menurut kata-kata Al Qarafi: “Sesungguhnya umat sepakat bahwa mujtahid apabila ijtihadnya membawanya pada kesimpulan hukum, maka ia adalah hukum Allah dalam haknya dan hak orang yang mengikutinya bilamana ia melaksanakan. Kamu katakan kepada orang yang mempunyai keahlian berijtihad: Kewenangan Allah atas Anda adalah berijtihad dan melihat pada dalil-dalil syari’ah dan sumber-sumbernya, mana yang lebih kuat menurut dugaan Anda maka itulah hukum Allah dalam hak Anda dan hak orang yang mengikuti Anda.”[27]
Terakhir, disana terdapat kemajemukan dalam sumber-sumber aturan hukum: Al Qur’an, sunnah dan ijma’, dimana setiap sumber mempunyai suatu kedudukan yang mencerminkan kemajemukan dalam memahami hukum. Kemudian Al Qur’an mengandung ayat-ayat muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih (alegoris). Sedangkan sunnah ada yang menjelaskan apa yang ada dalam Kitab dan sebagian lainnya mendatangkan aturan hukum sesuai dengan kaidah-kaidah Kitab atas sesuatu yang belum ada didalamnya.[28] Sebagian yang lain lagi ada sunnah adat dan sunnah ibadat. Ada juga sunnah penjelasan Nabi atas Al Qur’an yang merupakan bagian dalam wahyu ilahi; aturan hukum yang berlaku bagi semua, langsung dalam setiap masa dan tempat; ada sunnah ghair tasyri’iyah yaitu ijtihad-ijtihad Nabi dalam persoalan-persoalan dunia yang berubah, keputusan dalam perkara, persengketaan atau politik negara sebagai pemimpin, dalam keadaan damai ataupun perang, masalah sosial maupun ekonomi. Topik ini merupakan pembahasan penting, meskipun tidak banyak dipahami oleh kalangan Muslim terpelajar pada umumnya, tetapi mendapat perhatian dari para ulama ushul.[29]
Demikianlah kemajemukan hukum dan kedaulatan hukum dalam satu kerangka syari’ah ilahiah; kemajemukan fatwa, keragaman dan perbedaannya yang diambil dari satu syari’ah; keragaman madzhab-madzhab fiqih; bahkan kemajemukan ijtihad dalam satu madzhab, pada satu masa dan satu tempat disamping kemajemukannya dalam rentang sejarah dan tempat, bahkan ditemukan kemajemukan ijtihad-ijtihad dalam diri satu orang mujtahid ketika peristiwa-peristiwa yang berbeda memunculkan hukum baru. Semua warna kemajemukan ini ada dalam kerangka satu syari’ah Islam yang bersifat tetap buatan Allah sepanjang masa dan setiap tempat.
[1] Ar Rasyid Al Ishfahani, Al Mufradat fi Gharib Al Quran, ent: Asy-Syari’ah, Dar at-Tahrim, Kairo. Juga Abu Al Baqa’ Al Kafawi, dalam Al Kulliyyat.
[2] Nahj Al Balaghah, hal 65, Dar asy-Sya’b, Kairo, tt.
[3] Lihat Al Maududi, Nazhariyyah Al Islam As Siyasiyyah, hal 31-33, Terj. Jalil Hasan Al Ishlahi, Beirut 1969.
[4] Ibid, hal: 49.
[5] Al Maududi, Al Hukumah Al Islamiyyah, terj. Ahmad Idris, hal: 65, Kairo 1977.
[6] Ibid, hal: 82.
[7] ibid, hal: 84.
[8] ibid, hal: 34-35.
[9] Al Maududi, Al Mabadi ‘al-Asasiyyah li fahm Al Quran, hal: 62, terj. Khalil Ahmad Al Hamidi, Kuwait 1971.
[10] Al Maududi, Al Islam wa Al Madaniyyah Al Haditsah, hal: 40.
[11] Ibnu Hazm, Al Mufadhahah baina ash-Shahabah, hal: 66 dikutip dari Dr. Musthafa Hilmi dalam Nizham Al Khilafah fi Al Fikr Al Islami, hal: 7171, Dar Ad Dakwah, Iskandariah, Mesir, tt.
[12] Al Ghazali, Al Iqtishad fi Al I’tiqad, hal: 134, Maktabah Shubaih, Kairo,tt.
[13] Al Ghazali, Faishal at-Tafriqah baina Al Islam wa Al Zandaqah, hal: 15.
[14]Al Juwaini, Al Irsyad, hal: 410, Kairo 1950.
[15] Dalam Syarh Al Mawaqif, juz 3, hal: 261, Kairo 1311 H.
[16] Asy Syahristani, Nihayah Al Iqdam, hal: 479, ed Alfred Guillome, tk, tt.
[17] Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal: 186, Kairo, 1322H.
[18] Dr. Jamaluddin ‘Athiah, An Nazhariyyah Al ‘Ammah li Asy Syariah Al lslamiyyah, hal: 47, dalam teks Ibnu Al Qayyim dalam kitabnya Ighasah Al Lahfan, juz 1, hal: 348-349.
[19] Ibid, hal: 116
[20] Lihat Al Qaarafi, dalam Al Ihkam fi Tamyiz Al Fatawa ‘an Al Ahkam wa Tasharrufat Al Qadhi wa Al Imam, hal: 20, 27-30, ed. Syeikh Abdul Fattah Abu Ghaddah, Aleppo 1967.
[21] Lihat Al Muwafaqat, juz 4, no: 163.
[22] Al Ihkam , op cit, hal: 69-70.
[23] Ibnu Al Qayyim, A’lam Al Miqi’in, juz 3, hal et. Seq.
[24] Al Ihkam, op cit, hal: 249.
[25] Ibid, hal: 221.
[26] Al Muwafaqat, juz 4, hal: 161-162.
[27] Al Ihkam, op cit, hal: 219-223.
[28] Asy Syafi’l, Ar Risalah, hal: 21-22, juga Ibnu Al Qayyim dalam Ath Thuruq Al Hukmiyyah fi As Siyasah Asy Syar’iyyah, hal: 107.
[29] Lihat Al Ihkam, op cit, hal: 21-22 dan Hujjatullah Al Balighah juz 1, hal: 128-129.