Kedudukan Para Ulama dalam Masyarakat

Seringkah orang berkata bahwa dalam Islam tidak ada priesterstand sebagaimana yang ada dalam agama yang lain seperti misalnya, agama Katolik. Benar! Akan tetapi ini tidak berarti bahwa umat Islam tidak menerima pimpinan ruhani dari ulama mereka; tapi memang tidak sebagaimana yang diberi oleh pendeta-pendeta Katolik kepada jamaah Kristen yang dibawah pimpinan mereka.

Jauh sebelumnya ada pemimpin dan penganjur-penganjur rakyat sebagaimana yang kita kenal sekarang ini, masyarakat Islam sudah mempunyai pemimpin dan penganjur mereka dalam hal-hal yang berhubung dengan keagamaan dan penghidupan mereka sehari-hari. Dalam desa-desa dan kampung-kampung “Guru” atau “Syech”, Angku Sieh di Minangkabau atau Kiai di Jawa dan bermacam-macam nama panggilan pada beberapa tempat, adalah tempat rakyat bertanya, tempat memulangkan sesuatu urusan, tempat meminta nasihat dan fatwa, tempat mereka menarahkan kepercayaan.

Bagi mereka, fatwa seorang alim yang mereka percayai berarti satu “kata-keputusan”, yang tak dapat dan tak perlu dibanding lagi.

Seringkah telah terbukti, bagaimana susahnya bagi Pemerintah negeri menjalankan satu urusan, bilamana tidak disetujui oleh alim-ulama yang ada dalam satu daerah.

Sebaliknyapun begitu pula. Beruntunglah salah satu masyarakat, bila mempunyai seorang alim, sebagai pemimpin ruhani yang tahu dan insaf akan tanggungannya sebagai penganjur dan penunjuk jalan. Aman dan makmurlah salah salah satu daerah bilamana pegawai-pegawai Pemerintah di situ tahu menghargakan kedudukan alim ulama yang ada di daerah itu.

Ulama bukanlah pemimpin yang dipilih dengan “suara terbanyak”, bukan yang diangkat oleh “persidangan kongres”. Akan tetapi kedudukan mereka dalam kebatinan rakyat yang mereka pimpin, jauh lebih teguh dan suci dari pemimpin pergerakan yang berorganisasi, atau pegawai Pemerintah yang manapun juga.

“Ulama, ialah waris Nabi”, pemimpin umat yang mendapat pengakuan Agama. Dalam mencapai kemajuan rakyat umumnya, “korps” ulama yang bertebaran itu sekali-kali tak boleh diabaikan, baik oleh pegawai Pemerintah, ataupun oleh penganjur-penganjur pergerakan kita. Mereka itu adalah satu faktor yang penting dalam kerja pencerdasan rakyat umumnya. Koordinasi pekerjaan antara ulama-ulama.

Pegawai-pegawai Pemerintah dan pemuka-pemuka pergerakan sosial atau politik, tidak akan diperdapat, bilamana pihak ulama tidak hendak turut memperhatikan dan menurutkan gelora zaman. Sebaliknya demikian pula, bilamana pemimpin-pemimpin pergerakan menganggap bahwa kiai-kiai itu1 adalah orang yang tak tahu apa-apa, selain dari rukun-tiga-belas dan sifat-dua-puluh, atau bilamana pegawai Pemerintah mengambil sikap curiga terhadap tiap3 orang alim, sebagai guru yang suka bekerja diam-diam dan saban waktu mungkin mempergunakan pengaruhnya untuk melakukan pemberontakan dan lain-lain yang semacam itu. Sudah banyak pula buktinya, bahwa sikap curiga yang semacam itu, yang terbit lantaran putus perhubungan dan tidak kenal-mengenali, amat berbahaya bagi masyarakat kita. Alhamdulillah, keadaan itu sekarang mulai menjadi baik, walaupun masih dengan sangat berangsur-angsur.

Dari segala tempat sekarang mulai terdengar berita-berita kebangunan alim-ulama, yang selama ini tidak begitu suka mencampuri urusan-urusan masyarakat dengan arti yang lebih luas. Sekarang mereka pergunakan hak berkumpul dan berorganisasi, mereka pakai hak bersuara dalam persurat-kabaran. Mereka ikuti pembicaraan undang-undang negeri yang menyangkut kehidupan rakyat dengan cara berterang-terang. Mereka bentangkan paham mereka tentang adat-istiadat lama yang sudah terang ketimpangannya. Mereka anjurkan usul-usul dengan cara yang positif untuk memperbaiki keadaan yang telah rusak. Perhatikan penolakan ordonansi-kawin bercatet, mosi Kongres Perti tentang harta warisan di Minangkabau, kegiatan Persatuan Ulama didaerah Aceh, dan lain-lain.

Ini semua membuktikan, bahwa ulama-ulama kita sekarang ini sudah bersedia memperluas lapangan pekerjaan mereka dari pada yang telah sudah. Bersedia dan sanggup mencampuri hal-hal dalam masyarakat yang penting-penting, dan memang pada hakikatnya sudah pada tempatnya sekali, mereka turut mencampurinya sebagai pemimpin umat, Syukurlah!

Dalam pada itu ada lagi satu keadaan yang menggembirakan dalam masa yang akhir-akhir ini. Yaitu perhubungan yang makin lama makin rapat antara ulama-ulama kita dengan kaum intelek. Yang satu sudah mulai menghargai yang lain. Dalam pertemuan dan perhubungan kedua belah pihak, alim-ulama kita mendapat tahu, bahwa tidak semuanya kaum intelek kita itu, “anti agama”, sebagaimana juga kaum, intelekpun lama-kelamaan mengetahui jua, bahwa tidak semuanya ahli agama itu hanya paham rukun wudhu’ dan istinja saja. Dengan begini, sifat dualisme, yakni perpisahan antara dua golongan itu dalam pergaulan hidup kita, makin lama makin kurang juga, suatu hal yang memberi harapan besar bagi kemajuan Tanah Air dan Bangsa kita di hari depan.

Bukan saja buat kita hal ini menggembirakan, tapi buat Pemerintah yang menghendaki kemajuan rakyat dengan evolusi yang sehatpun, keadaan yang demikian tentu meng gembirakannya pula.

Evolusi yang sehat itu hanya dapat dicapai selama rakyat umum mendapat kesempatan untuk mengutarakan apa yang terasa dalam fikiran dan perasaan mereka dan tidak terpaksa “membungkam” segala sesuatu. Dan siapakah yang lebih cakap mengemukakan segala perasaan itu, dari pada mereka yang selalu berhubungan rapat dengan rakyat yang banyak, yakni alim-ulama kita yang mendapat kepercayaan penuh dari rakyat, dan mempunyai perhubungan ruhani yang lebih rapat dengan rakyat itu, lebih rapat dari pada penganjur-penganjur pergerakan yang lain, ataupun pegawai-pegawai Pemerintah sendiri!

Sebagai tiap2 barang yang muda, baru dimulai, sudah tentu dalam pergerakan kalangan rakyat itu tidak akan terpelihara dari cacat dan kekeliruan pula. Tidak ada perbuatan manusia yang sempurna sekejap mata. Akan tetapi ini tak boleh menjadi ukuran penentukan sikap terhadap kepada pergerakan itu sendiri, sebagai satu evolusi kecerdasan masyarakat yang tak mungkin ditahan atau dihentikan oleh siapapun.

Barangkali ada baiknya disini bila kta ulangkan perkataan Snouck Hugronje kira-kira 25 tahun yang lalu:

“Disini ada satu bangsa muda yang bara bangun, yang sedang mencapai tingkatan akil-balig dalam masyarakat dan susunan pemerintahan negara. Ia sedang mencari alat-alat pembentangkan perasaannya, sedang selama ini ia hanya menyimpan dan menutup rapat segala sesuatu dalam kebatinannya. Tidak lekas ia mendapat.”

Perkenalan dan perhubungan yang mungkin menghindarkan segala macam salah2 sangka dari kedua belah pihak, perhubungan yang berdasar kepada harga-menghargai, yang mungkin membukakan persamaan pekerjaan antara kedua belah pihak untuk kepentingan dan kecerdasan umat dengan seluas-luasnya. Inilah yang perlu dalam masyarakat kita sekarang ini. Kita berharap dan berdoa, mudah-mudahan alim ulama kita, “Warattsatul Anbiya!”, Volksleiders biy de gratie Gods tersebut, akan dapat mencapai tempat yang pantas mereka duduki, untuk melakukan kewajiban mereka yang amat suci itu! Amin.

Dari Panji Islam

Juni 1939