Sekolah Liar
Holl. Ini. Onderwiys Commissie menyampaikan laporannya. Antara lain ditaksirnya bahwa banyaknya anak-anak yang di waktu itu masih belum dapat pelajaran, ada kira-kira, 19.000.000 (baca: 19 juta).
Krisis makin lama makin hebat. Pemerintah tak sanggup menambah sekolah penampung anak-anak yang berjuta-juta itu. Malah Pemerintah terpaksa mengurangi sekolah yang ada. Jadi, anak-anak yang akan terlantar, akan bertambah banyak. Sekolah-sekolah yang akan menyambut mereka akan bertambah kurang.
Anggaran belanja untuk Departemen Pengajaran terpaksa dikurangi setiap tahun. Sehingga dari tahun 1930 sampai tahun 1937 sudah dipotong sampai 53%. Bertambah dahsyatlah musibah kekurangan pengajaran di kalangan rakyat yang amat haus kepada pelajaran itu.
Musibah ini membangunkan semangat rakyat itu sendiri supaya mereka mencukupkan keperluan pengajaran dengan tenaga sendiri pula.
Dimana-mana timbullah sebagai cendewan sesudah hujan, berpuluh, ya beratus-ratus sekolah Swasta. Menyambut anak-anak yang sedang terlantar dan yang diperebutkan oleh Zending dan Missu Menyambut pula guru-guru dari Pemerintah yang “overcompleet”. Menyambut tamatan dari H.I.K. Pemerintah yang tidak dapat tempat dalam kalangan Pemerintah sendiri. Semuanya diselenggarakan dengan amat susah payah dalam kekurangan segala macam. Akan tetapi, walaupun bagaimana, apa yang dapat dikurbankan, dikurbankan juga.
Menolong mengerjakan setengah dari pada kewajiban yang suci dari Pemerintah Negeri. Bukankah “Indische Staatsregeling” art. 179 telah berkata: “Pelajaran umum adalah satu barang yang senantiasa berada dalam pemeliharaan dan penjagaan Gobnor Jenderal.[1] Artikel 182: Gobnor Jenderal (harus) menyelenggarakan pendirian sekolah-sekolah untuk rakyat Bumiputera”.[2]
Kewajiban yang luhur inilah yang dibantu seberapa terkerjakan oleh rakyat sendiri. Alangkah herannya rakyat yang banyak itu, melihat kegiatan mereka itu, tiba-tiba mendapat sambutan oleh Departemen Pengajaran dengan… “Wilde Scholen-Ordonnantie”, Ordonansi Sekolah liar!
Keliru Taksir
Departemen Pengajaran inilah yang terlebih banyak hubungannya dengan rakyat jelata, dibandingkan dengan Departemen yang lain-lain. Di zaman itu, Departemen tersebut dikemudikan oleh seorang alim, Prof. B. Y O. Schrieke, yang terkenal sebagai salah seorang ahli tentang masyarakat Bumiputera di negeri kita ini. Akan tetapi, entah bagaimanalah gerangan di waktu itu, ada terkeliru dalam menaksir bagaimanakah semangat rakyat umum yang akan menyambut peraturan tersebut. Seolah-olah lantaran pengaruh kejadian tahun 1926-1927 yang belum kunjung habis, semua usaha rakyat masih sangat diawas-awasi, sebagai satu pekerjaan yang bersifat negatif, yang bisa merusakkan keamanan umum. Entah lantaran itulah rupanya maka diadakan beberapa penjagaan terlebih dahulu dengan berupa undang-undang, yang walaupun barangkali tadinya dimaksudkan bukan begitu, tetapi dipandang dan dirasai oleh rakyat umumnya sebagai satu peraturan yang berlebih-lebihan dan sangat menyempitkan usahanya, yang terbit dari hati yang suci semata-mata, untuk mencukupkan keperluan yang mahapenting: pendidikan dan pelajaran. Pendidikan dan pelajaran umat yang telah menjadi kewajiban Pemerintah negeri menyelenggarakan dengan secukupnya, akan tetapi tak dapat dicukupkan dengan sempurna, lantaran bahaya krisis sedang merajalela!
Maka timbullah satu reaksi yang tidak banyak contohnya dalam sejarah negeri kita ini. Satu reaksi yang spontan, tak usah dihembus diapi-apikan lagi. Satu reaksi dari rakyat yang tak mempunyai kekuatan apa-apa, akan tetapi sama-sama rela memberikan kurban yang perlu, manakala sedang menjalankan pekerjaan yang mereka pandang suci, mereka tertarung oleh peraturan negeri yang baru itu. Mereka tidak akan melawan! Hanya mereka menyatakan rela, umpama berganti-ganti masuk bui, apabila Pemerintah menganggap perlu, lantaran undang-undang tersebut tak terpenuhkan.
Reaksi yang sebagai api dalam sekam ini mendapat perhatian yang secukupnya dari pihak Pemerintah. Akan tetapi bukan mudah menghela langkah-surut. Peraturan itu sudah menjadi ordonansi.
Dewan Rakyat sudah menerima dan menguatkannya. Lama masanya hal ini tak tentu hitam-putihnya. Udara semakin lama semakin sesak.
Jangka untuk berjalannya ordonansi telah dekat juga. Diwaktu itulah R.A.A. Wiranatakusuma, yang masa itu menjadi Gedelegeerd Lid dari Dewan Rakyat memajukan usul supaya jangka berlakunya ordonansi itu, diundurkan. Usul ini “diambiloper” oleh Pemerintah. Dalam pada itu ada kesempatan untuk mengadakan perubahan beberapa fasal, supaya peraturan itu bisa diterima oleh rakyat umum, sehingga menjadi ordonansi sebagai yang ada sekarang.
Walaupun bagaimana, nama wilde school, yang diterjemahkan menjadi sekolah liar (ada pula yang menterjemahkannya menjadi sekolah buas), masih tetap sebagai kenang-kenangan kepada “bapa-ordonnantie” tersebut. Pun sesudahnya Prof. B.Y.O. Schrieke meninggalkan Departemen, maka tetap ada perkataan “sekolah liar” itu di bibir orang. Ada yang dengan mengandung sedikit ejekan, ada yang dengan tidak mengandung apa-apa. Pun sampai belum selang lama ini, perkataan “wilde school” masih tetap ada dalam surat-surat dan sirkulir-sirkulir Pemerintah.
Satu nama yang banyak sedikitnya mengandung rasa yang kurang nyaman bagi orang yang mempunyai urusan. Entahkan di masa itu belum ada satu perkataan, yang sedikit lebih pantas untuk diberikan kepada satu jenis usaha rakyat, yang baru mencoba-coba mengerjakan satu kewajiban, yang mereka pandang kewajiban luhur dan mulia itu, entahlah !
Sampai sekarang sudah berjalan beberapa tahun, Manakah rupanya kedudukan yang sudah dicapai oleh sekolah-sekolah yang “liar” itu? Bermacam-macam penghargaan yang diberikan orang kepada usaha ini. Ada yang menamakan satu “crisis product”, satu buah dari krisis, zaman malaise, yang kalau malaisemya hilang tentu akan lenyap pula. Ada pula yang memandang sebagai salah satu tanda keinsafan dari rakyat umum dan ada pula yang menganggap bahwa inilah nanti yang akan menjadi dasar bagi pembangunan masyarakat Indonesia Raya.
Walaupun bagaimana, dalam beberapa tahun itu, sekolah-sekolah liar itu sudah menjadi satu faktor, yang tertentu dalam masyarakat kita. Ada orang yang menyukai, ada yang belum mempercayai, ada yang mencurigai, ada pula yang menggantungkan pengharapannya atas usaha itu. Tetapi sudah terang, bahwa hampir tidak ada orang yang hendak meremehkan atau tidak mempedulikan lagi akan “sekolah liar” tersebut sama sekali.
Bagaimanakah ‘kan tidak! Dalam masa beberapa tahun saja sekolah-sekolah itu’telah mencapai angka-angka yang amat tinggi, yang tadinya tidak disangka akan begitu. Amat susah menghitung banyaknya sekolah-sekolah itu. Sebab tempatnya bertebaran dari kota yang besar-besar sampai kepada dusun dan pelosok yang kecil-kecil. Ada yang berdasarkan kebangsaan, ada yang berdasarkan agama, ada yang netral saja, ada pula yang tak berdasarkan apa-apa. — Menurut penyelidikan NI.O.G. belum lama ini telah diperoleh angka-angka taksiran seperti berikut: Sekolah liar diseluruh Indonesia kira-kira antara 2000 — 2500 buah.-Banyak muridnya di Jawa Barat saja kira-kira 20.000 anak dan diseluruh Indonesia antara 100.000 dan 500.000 anak.
Kita percaya, bahwa angka-angka ini sangat kurang cukup. Sebab, amat banyak sekolah-sekolah yang tak dapat diketahui. Hanya sedikit dari “sekolah liar” yang dapat dikunjungi oleh Inspeksi Pengajaran.
Dan berapakah banyaknya sekolah-sekolah yang bernama “madrasah” yang tidak masuk dalam penilikan sebagaimana yang dimaksud oleh “toezichtordonnantie”, akan tetapi hanya terserah kepada penyelidikan Regen-regen, dan kepala Pemerintah Bumiputera, sekolah-sekolah mana tidak masuk registrasi “wilde scholen”.
Crisis Product
Kita tidak hendak memungkiri, bahwa ada juga sekolah-sekolah yang didirikan bukan dengan niat hendak memberi pelajaran semata-mata, akan tetapi sekedar penolak bahaya pengangguran, penangkis bahaya kesusahan „rumah tangga” orang yang mendirikan dan “mengeksploitir” sekolah itu. Sudah tentu sekolah-sekolah yang begini sifatnya akan bertemu juga dua tiga dalam ratusan sekolah-sekolah swasta yang ada. Dan memang sekolah-sekolah yang demikian, boleh dianggap sebagai salah satu hasil dari krisis, yang tentunya akan hilang pula dari muka bumi ini bilamana krisisnya sudah berhenti. Malah ada yang telah lebih dulu menggulung tikar, sebelum krisis selesai.Memang, kalau uang yang hendak dicari, bukan tempatnya dimuka kelas. Keliru adres!
Pernah orang bersemboyan: “Kalau kepala sekolah swasta sudah beroto-sedan, hitunglah bulannya, kapankah canang weeskamer akan berbunyi, melelang bangku!” Semboyan ini, sebagaimana semboyan-semboyan yang lain, tentu agak berlebih-lebihan, sungguh pun ada juga inti kebenarannya. Bukan semua sekolah jatuh lantaran digiling oto-sedan orang yang punya. Dalam gelanggang perjuangan rakyat yang berada dalam serba kekurangan, banyaklah hal-hal yang bisa menyebabkan “canang berbunyi”, lebih banyak dari apa yang bisa di-kira-kira-kan oleh orang yang berdiri diluar gelanggang sebagai penonton.
Walaupun bagaimana, semua ini tentu tak boleh dijadikan ukuran untuk menentukan dimanakah tempat kedudukannya perguruan-perguruan swasta di negeri kita ini. Keadaan dalam praktek telah membuktikan, bahwa bukan saja jumlahnya sekolah bertambah banyak, pun tingkat pelajarannya bertambah tinggi. Ini diakui oleh Dr. A. D. A. de Kat Angelino, yang menggantikan Prof. B.Y.O. Schrieke, dimuka Dewan Rakyat, sebagai Wakil Pemerintah bagian Pengajaran.
Ongesubsideerd Onderwiys
Dalam zaman pimpinan Dr. A. D. A. de Kat Angelino ini pulalah mulai hilang berangsur-angsurnama “wilde school” itu dari surat-surat dan sirkulir Departemen Pengajaran, berganti lambat laun dengan nama baru: “ongesubsideerd particulier onderwiys”.
Sikap berdiri dari jauh dengan perasaan curiga dan cemburu, berangsur-angsur dilepaskan pula oleh Departemen Pengajaran dan Ibadat. Beberapa “insiden” antara inspektur W.L.O. dengan kepala-kepala “sekolah liar”, telah dapat disingkirkan dengan menambah staf inspeksi dengan beberapa pegawai dari golongan Bumiputera, pegawai-pegawai yang pandai bergaul dengan rakyat, tahu menghargai usaha bangsa sendiri. Hal ini tidak kurang merapatkan perhubungan Departemen Pengajaran dan Ibadat dengan perguruan Swasta.
Kalau dahulu Inspektur Belanda yang hendak masuk memeriksa “sekolah liar”, pernah diusir mentah-mentah oleh kepala sekolah itu, (Garut-affaire!) sekarang pegawai-pegawai Inspeksi umumnya, disambut dengan segala senang hati dan diminta adpis dan pertolongannya seberapa dapat.
Terbitlah lambat laun antara instansi Pemerintah dengan inisiatif rakyat sikap harga-menghargai, hal mana tentu lebih menguntungkan untuk kedua belah pihak.
Sikap ini bertambah kentara juga, setelah Dr. Idenbutg meneruskan pekerjaan Dr. de Kat Angelino. Sebagai Direktur Pengajaran dia mengadakan peraturan yang lebih baik berhubung dengan tunjangan anak, walaupun kita tak patut lupakan, bahwa dapatnya itu setelah didesak oleh Dewan Rakyat, terutama oleh tuntutan Thamrin. Keputusan Pemerintah terhadap kepada loonbelasting guru-guru dari Perguruan Taman Siswa, buah dari audensi Kepala Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara, adalah salah satu keputusan yang rasanya Pemerintah sekali-kali tidak akan menyesal kelak, lantaran telah bersedia mengabulkannya. Tiap-tiap seorang yang ingat perhubungan antara murid dengan guru setiap waktu, tidak akan lupa pula bahwa perasaan dan suara dari kaum guru dan pendidik itu, ada mempunyai pengaruh yang bukan sedikit terhadap kepada didikan yang mereka berikan setiap hari.
Dulu… dan Sekarang
“…Terutama hendaklah-Pemerintah mengusahakan kesempatan untuk menerima pengajaran yang baik, dengan sebisa-bisanya; sekiranya dia (Pemerintah) tak sanggup mencukupkan yang demikian secukup-nya, hendaklah memberi tunjangan yang sebesar-besarnya kepada perguruan-perguruan swasta yang memberi pelajaran yang baik, tingkat pelajaran yang kurang baik harus dicoba dengan selekas-lekasnya agar mencapai tingkatan pelajaran yang sempurna dengan tunjangan Pemerintah, dan apabila mereka dalam hal itu tidak juga mendapat hasil yang baik, maka tetaplah dia (perguruan Swasta) dengan hakikatnya yang ada, sebagai pekerjaan sosial yang kurang berharga… !”
Demikianlah bunyinya keterangan Pemerintah baru-baru ini dalam Dewan Rakyat menerangkan sikapnya terhadap kepada bermacam-macam rupa perguruan-perguruan swasta yang ada sekarang. Nyata kepada kita, bahwa semua jihad dan pengurbanan pengajaran selama ini, bukan terbuang sia-sia.
Dari tingkat satu perusahaan yang kurang dipercayai oleh bangsa sendiri, diejek-ejek oleh bangsa lain dan dicurigai oleh Pemerintah sendiri, perguruan partkelir rakyat telah sampai kepada satu dera…. gai reaksi terhadap kemajuannya perguruan berdasar Kristen”.[3]
Pendapat yang bersimpul dalam kalimat-kalimat yang kita turunkan ini, oleh Dr. Brugmans masih diutarakan dengan sangat berhati-hati. Dipakainya perkataan: Er is ruimte voor de opvatting (“ada jalan bagi orang yang berpendapat”), dan perkataan: “mede kan worden beschouwd” . . . dst.
Tetapi, mari kita dengar pula bagaimana caranya C. C. Van Helsdingen mengemukakan “pendapat” itu juga dalam Dewan Rakyat baru-baru ini. Katanya: …„dat de opleving van den Islam niet het minst de vrucht is van zending en missie”… (...bahwa kebangkitannya agama adalah sebahagian besar hasilnya usaha zending dan missi).
Dalam satu percakapan dengan seorang Guru Besar dalam Hukum-hukum Islam di Algiers, Prof. G. H. Bousquet, yang baru-baru ini datang bertamasya ke negeri kita ini untuk mempelajari keadaan pergerakan Islam di sini, pernah kita mendengar: “Saya dengar, lantaran pekerjaan zending dan missi-lah, makanya usaha sosial dan perguruan-perguruan Islam menjadi maju”.
Demikianlah “reactie-theorie” tersebut disebarkan dengan pelbagai caranya pula. Caranya bertambah tegas dan positif, bilamana pertanggungan jawab dari yang mengatakannya bertambah kurang.
Kalau Helsdingen masih berkata: „adalah sebahagian besar hasilnya usaha-usaha zending dan missi”, dan Prof. Bousquet sudah boleh berkata: „lantaran pekerjaan zending dan missi-lah, makanya usaha sosial dan perguruan-perguruan Islam menjadi maju”. Dan kita boleh taksir-taksie apakah kiranya yang akan dikatakan oleh pengikut-pengikut Van Helsdingen dan murid-murid Prof. Bousquet nanti di Algiers, kalau begitu!
Kita tidak akan memungkiri bahwa salah salah satu aksi bisa menimbulkan „reaksi”. Bahwa satu serangan dari luar bisa membangunkan kekuatan dari dalam yang tadinya mungkin masih tertutup.
Dan kalau dalam hal ini ada pula berlaku undang-undang aksi dan reaksi dengan arti yang demikian, adalah itu satu hal yang ma’qul. Betapakah tidak! — Islam terhadap pergerakan Kristen disini, ialah sebagaimana yang dikatakan oleh Wiwoho dalam Dewan Rakyat dengan penting ringkas: “Kewajiban Islam disini ialah mempertahankan diri; kewajiban apakah yang dijalankah oleh Agama Kristen, biarlah tidak saya terangkan.”
Selama orang berkata bahwa “aksi” zending dan missi memperkemasi anak-anak orang Islam yang terlantar dalam kejahilan, lantaran kekurangan kesempatan untuk belajar, perkataan itu telah memperingatkan membantu kaum Muslimin akan salah satu ajaran dan peraturan Agama mereka sendiri, yang tersimpul dalam Hadits Nabi Besar mereka: “Menuntut ilmu wajib atas tiap-tiap Muslim, laki-laki dan perempuan”, dan firman Tuhan mereka: “Hendaklah diantara kamu ada satu golongan yang memanggil kamu kepada kebaikan, menyuruh berbuat baik dan melarang dari kejahatan” (QS Ali ‘Imran: 104), dan setelah mengingat akan yang demikian, mulailah mereka bekerja mencukupkan perintah yang selama ini belum dijalankan itu. — Kalau orang berkata begitu, kita tidak akan menyangkal.
Dan selama orang berkata bahwa “aksi” propagandis Kristen masuk kampung keluar kampung, masuk rumah keluar rumah orang Islam dengan membawa majalah dan kitab yang menarik hati dan duit untuk “Tentara Keselamatan”; bahwa “aksi” mereka dipinggir-pinggir jalan, di tepi tanah-tanah lapang, dengan musik, terompet dan genderangnya, dengan nyanyi-nyanyi yang merdu, ataupun dengan hinaan-hinaan yang mengiris jantung orang Islam, bahwa semua “aksi” ini mengingatkan kaum Muslimin kepada amanat Agama mereka: “Alangkah sukanya kebanyakan Ahli Kitab, jika mereka bisa mengembalikan kamu kepada kekufuran, sesudahnya kamu beriman.” (QS Al Baqarah: 109), dan setelah mengingat akan itu, terus mereka memulai mengumpulkan segala kekuatan yang ada buat menangkis serangan yang datang, hal mana sudah lama diperingatkan dari dulu itu —, kalau begitu maksud orang dengan perkataan aksi dan reaksi itu, kita tidak akan mungkiri. Sebab disini “aksi” itu masih tetap bersifat pancingan, dan “reaksi masih tetap diakui sebagai satu kekuatan yang hidup dan mempunyai sumber yang tertentu pula, yakni dalam Islam itu sendiri.
“Aksi” Lain, Al Maun Lain.
Di waktu perkumpulan “Muhammadiyah”, — perkumpulan Islam yang terbesar yang seringkali disebut orang sebagai contoh bila memperbincangkan masalah ini —, akan didirikan, maka pembangun-pembangun dari perkumpulan tersebut, almarhum K.H.A. Dahlan cs. mengadakan “kursus” pertama kali untuk teman-temannya, yang disengaja dipanggil untuk itu.[4]
Pada “kursus” yang pertama kali itu, kabarnya konon lamalah hadirin menunggu-nunggu “agenda” apakah yang akan diperbincangkan. Setelah beberapa lama menunggu-nunggu, bertanyalah “kursisten” kepada ketua, apakah yang akan dikursuskan itu. Dapat jawaban: “Tak apa-apa, bacalah bersama-sama surah Al-Ma’un! Inilah kursus kita… !”
Sudah lebih seperempat abad surah Al-Ma’un dikursus dan dijalankan. Sudah kelihatan bekas dan hasilnya. Memang boleh jadi ada perhubungan antara “aksi” zending dan missi di Jokjakarta dengan “kursus” surah Al Ma’un yang pertama kali itu. Tidak mustahil !
Akan tetapi — apabila orang hendak mengatakan bahwa usaha kaum Muslimin dalam kalangan pengajaran dan sosial, ialah buah dari pekerjaan zending dan missi, dan dimungkiri pula adanya sumber-sumber kekuatan dan dorongan semangat dari dalam Agama Islam itu sendiri untuk menyelenggarakan usaha-usaha yang semacam itu, — itu lain fasal. Disana sampailah kepada satu batas, yang tak pantas lagi didiamkan saja.
Kepada “reaksi-teori” yang semacam inilah kita merasa keberatan, yang antara lain, dengan menyesal, kita jumpai juga diantara buah kalam Dr. Brugmans yang amat berharga itu.
“Cuma kalimah syahadat plus…”
Kemiskinan rakyat jelata, kekurangan dasar perekonomian yang sedikit sehat dan lain-lain, rupanya sedikitpun tidak mendapat buah pertimbangan bagi beliau diwaktu menetapkan sebab-sebabnya ketinggalan kaum Muslimin ditentang mengusahakan pengajaran. Bagi beliau sebabnya terletak dalam: “hakikatnya Agama Islam sendiri”.
Setelah menerangkan bahwa politik Pemerintah memberi subsidi yang selama ini hanya menguntungkan perkumpulan Katolik dan Protestan, akan tetapi pada ahir-akhir ini sudah mulai memberi kesempatan kepada perkumpulan Bumiputera menyelenggarakan pelajaran-pelajaran berdasar agama, pengarang itu berkata lagi: “Sebabnya maka begitu lama baru mulai hal yang demikian itu, bukan saja disebabkan oleh karena kebangkitan Timur baru terasa pada permulaan abad ke 20 ini di Ned. Indie, akan tetapi juga tersebab oleh hakikatnya Agama Islam”, (het wezen van den Mohammedaanschen Godsdienst).
Manakah hakikat Agama Islam yang menjadi halangan itu ?
“Agama Islam yang tidak mengenal padri dan zendeling bukanlah berpedoman kepada: “ajarlah semua bangsa”, sebagaimana yang termaktub dalam Evangelie, akan tetapi berpedoman kepada: “taklukkanlah semua bangsa”. Buat masuk Agama Islam tidak dimestikan menerima beberapa ajaran-ajaran yang ditentukan seseorang yang, suka mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, sudah menjadi Islamiet. Lantaran itulah tak ada dikalangan Islam satu dorongan yang keras kepada pengajaran berdasar agama, sebagaimana yang ada berkobar-kobar dalam golongan Kristen.[5]
Dis ini kedua Agama Dunia yang besar ini telah diperbandingkan dengan tiga atau empat baris perkataan saja; yang satu digambarkan sebagai satu “agama penakluk dan penyerang bangsa-bangsa”, yang lain sebagai satu “agama pendidik dan pencerdas manusia”.
Perbandingan ini dikemukakan untuk menjawab pertanyaan: “Kenapakah orang Islam di negeri ini masih terbelakang dalam usaha mengadakan pengajaran berdasar agama, dibandingkan dengan orang Kristen?” Jawabnya: “Usaha Kristen maju, lantaran memang Agama Kristen, Agama pencerdas umat, dan usaha Islam ketinggalan, lantaran memang Agama Islam, agama .penaklukkan bangsa-bangsa. Orang Kristen penuh semangat pencerdasan berdasar agama orang Islam sudah puas dan memadai dengan dua kalimah syahadat.”
Inilah tegasnya arti perbandingan itu. Kita tidak hendak mengharapkan dari orang luar supaya mengetahui betul-betul akan seluk-beluk Agama Islam, akan tetapi apabila orang menggambarkan Islam itu sebagai bacaan dua kalimah syahadat plus “onderwerpt alle volken”, maka yang demikian tidak berapa bedanya dengan menggambarkan, umpamanya “Koningkrijk der Nederlanden” sebagai seorang sinyo yang bersepatu kayu, besar hidung, menghisap pipa sepanjang lengan, bercelana geboh dan berkupiah sebo seperti orang Volendam. Sudah tentu banyak orang Belanda yang akan berkeberatan melihat gambar yang seperti itu.
Hampir setiap nomor majalah ini dan lain-lain majalah Islam sekarang dalam bermacam-macam bahasa, memuat artikel-artikel yang cukup membawakan nash Quran dan sunnah Nabi, membawakan bukti-bukti dari sejarah dan riwayat, yang semuanya memberi gambar yang le-.bih lengkap dan lebih besar tentang “Agama Islam” sebagai satu sumber kekuatan pencerdasan, satu beschavende kracht yang hidup, yang telah memberi bekas yang tak ternilai harganya dalam dunia kebudayaan.
Tidak kurang pula ahli-ahli tamaddun dan tawarikh memberi pemandangan yang berdasarkan penyelidikan yang teliti dan merdeka tentang hakikatnya Agama Islam sebagai pendorong dan pemberi semangat mencapai ketinggian peradaban dan kebudayaan, sebagai membuktikan dengan nyata, bahwa “Islam” itu adalah satu pengertian yang jauh lebih luas dan dalam dari: “kalimah syahadat –ronderwerpt alle volken”, a la Dr. I.Y.O. Brugmans.
Sudah tidak ada nafsu kita hendak mengulang-ulang soal itu satu persatu lagi dalam artikel ini. Buat pembaca P.I. hal yang sedemikian itu, sudah seakan-akan memasang lampu ditengah hari.
Pun kita percaya bahwa semua buah penyelidikan yang luas dan jujur dari orang-orang yang ahli itu, tidak akan asing pula bagi Dr. Brugmans sendiri.
Kita yakni, bahwa apabila beliau suka memperhatikan masalah ini sedikit teliti, sudah tentu akan kelihatanlah oleh beliau, satu gambar yang lain, yang boleh digantungkan sebagai lawan dari gambaryang telah diberi oleh tulisannya itu. Umpamanya gambar yang telah dilukiskan oleh seorang orientalist yang berhak mengeluarkan pertimbangannyadalam urusan ini, seperti Prof. H.A.R. Gibb, yang berkata: “Islam is indeed much more than a system of theology; it is a complete civilisation (“Whither Islam”), „Islam itu sesungguhnya jauh lebih luas dari satu sistem agama saja; dia itu ialah satu kebudayaan yang serba lengkap”
Tidak layak kita membabawa air ketepi laut. Tetapi amat mengherankan, sekiranya seorang seperti Dr. I. Y. Brugmans, ditengah lautan, seakan-akan tak pula melihat air!
Express dan Pedati Kuda
Kita tidak akan, berpanjang kalam tentang masalah ini, yang kelihatannya sepintas lalu bersifat teoritis semata-mata, jikalau tidak dikuatiri bahwa paham yang semacam ini akan terus bertebaran dan mendatangkan buah yang tidak nyaman kepada semua pihak yang bersangkutan. Sebab, dengarkanlah bagaimana seorang anggota Kristen memberi nasihat kepada kaum Muslimin dalam Dewan Rakyat baru-baru ini: Supaya orang-orang Islam suka mengambil contoh kepada orang-orang kecil di Nederland, yang suka berkurban sungguh-sungguh untuk mengadakan Christeliyk Onderwiys (Afd. versi. Onderwiys & Eeredienst).
Nasihat ini disambut oleh Wiwoho: “Contoh ini tidak perlu bagi kami orang Islam. Agama Islam sendirilah yang memerintahkan supaya anak-anak mendapat pelajaran yang cukup. Dimasa membicarakan “wilde scholen-ordonnantie” sudah saya bentangkan dengan nyata, sehingga saya menerangkan bahwa Pemerintah sendiripun tidak berhak untuk menghalang-halangii berjalannya kewajiban yang telah ditetapkan oleh Agama Islam ini, walaupun sedikit.
Dunia Islam cukup insaf bahwa dia harus memberikan kurban yang banyak pembangunkan dan penghidupi perguruan-perguruan Islam. Apabila, setelahnya dikeluarkan kurban yang tak sedikit itu, masih juga jauh ketinggalan, adalah itu sebabnya terletak dalam susunan perekonomian dinegeri ini”. (Sten. versi. Onderwiys, l e termiyn).
Jawaban ini cukup lengkap dan tepat. Tak perlu rasanya kepada tambahan lagi. Dan jawaban itu akan bertambah artinya yang dalam, lantaran dikeluarkan oleh seorang yang telah mengetahui sendiri apakah yang ada dalam senubari kaum Muslimin setiap hari; dan bagaimana pahit dan pedihnya perjuangan yang diselenggarakan oleh kaum Muslimin dikalangan rakyat dengan segala macam kekurangan, lantaran tak ada dasar perekonomian yang kokoh sebagai orang lain.
Jawaban itu akan lebih jelas apabila kita ingat bahwa dia diucapkan oleh seorang wakil golongan Islam, yang saban tahun tidak bosan-bosannya mengemukakan perbandingan angka-angka 1.000.000 dengan 7.500 yang sudah masyhur itu dalam anggaran belanja Dep. Pengajaran dan Ibadat.[6]
Dalam perjuangan memenuhi salah satu dari suruhan Agamanya yang terpenting, sebagai mengusahakan pelajaran itu, kaum Muslimin tidak perlu kepada “nasihat” atau fatwa dari pihak Agama Kristen ataupun agama manapun juga. Cukuplah dengan nasihat dan dorongan Agamanya sendiri. Yang perlu bagi mereka bukan fatwa atau ajaran, sebab mereka bukan kekurangan semamgat hendak berkurban, akan tetapi kekurangan alat untuk mengeluarkan kurban itu dengan cara yang berhasil.
Pemuda-pemuda Kristen sudah merasa “berkurban” apabila mereka mencempungkan diri dalam missi atau zending. Pada hakikatnya penghidupan seorang tentara Leger des Heils yang paling rendah ada beberapa kali lebih tinggi dari penghidupan seorang propagandis atau guru yang bertingkat sedikit tinggi dalam kalangan Islam.
Gaji guru zending pukul rata 400% lebih tinggi dari gaji guru-guru sekolah Islam Swasta.
Kita tidak hendak mengulangkan lagi perbandingan semiliun dan tujuk ribu lebih sedikit itu. Akan tetapi kalau sekiranya orang hendak mengambil hasil pekerjaan sebagai pengukur kekuatan agama yang menjadi dasar pekerjaan, hendaklah diambil ukuran yang adil.
Beri golongan Kristen untuk alat pekerjaan semiliun rupiah dan beri golongan Islam semiliun pula. Atau suruh propagandis zending, missi dan Islam sama-sama bekerja dengan modal, masing-masingnya tiga uang[7] dan nasi-dingin sebungkus seorang. Nanti kita sama lihat, hasil apakah yang mereka dapat masing-masing.
Akan tetapi jangan yang satu disuruh naik ekspres, yang lain diberi pedati kuda… !
Diantara penulis-penulis tempat Dr. Brugmans mendasarkan pendapat beliau yang diatas itu, sebagaimana kenyataan dari noot dan literatuurlijst-nya, ialah Prof. Snauck Hurgronje: “Nederland en de Islam” dan ada juga Goldziher: “Hasting’s Encycl. of Religion and Ethics”, art.: “Muslim Education”.
Memang masih ada satu dua masalah berhubung dengan hal ini, yang perlu menjadi pokok perbincangan lagi.
Mudah-mudahan dimasa depan ada pula kesempatan untuk kembali kepadanya satu persatu.
Tahun 1930.
Dari Panji Islam dan Pedoman Masyarakat.
[1] “Het openbaar onderwiys is een voorwerp van de aanhoudende zorg van den Gouverneur Generaal.”
[2] “De Gouverneur Generaal zorgt voor het oprichten van scholen ten dienste der Inlandsche bevolking.”
[3] „…Er is dan ook ruimte voor de opvatting, dat het streven van de vereeniging „Muhammadiyah” tot het oprichteny van scholen op Islamietische grondslag mede kan worden beschouwd als een reactie tegen het voortschriydend Christeliyk onderwiys” (pag. 361).
[4] Menurut riwayat dengan lisan oleh Haji M. Sujak sendiri.
[5] De Islam, die priesters noch zendelingen kent, heeft instede het evangelische: „Onder-wiyst alle volken”, als richtsnoer „het onderwerpt alle volken”. Voor de toelating tot den Islam wordt dan ook niet het onderschriyven van bepaalde leerstellingen vereischt; een ieder wordt Islamiet, die bereid is te erkennen, dat er geen god is dan Allah, en dat Mohammad Allah’s gezant is geweest. In verband daarmede bestaat dan ook in Islamietische kringen niet de levendige drang naar onderwiys op godsdienstigen voet, die de Christeliyke groepen bezielt (Gesch. van het Onderwiys in Ned. Indie, p. 360—361).
[6] lakni: f 1.000.000,—dikeluarkan buat Kristen dan f 7.500,—buat Islam.
[7] Kira-kira sama dengan Rp. 0,25.