Sesungguhnya ilmu fiqih adalah ilmu yang cukup istimewa, unik dan punya banyak kelebihan. Dan tidak seperti yang selama ini sering dituduhkan oleh musuh-musuh Islam, dimana niat dan tujuan mereka sejak awal memang tidak baik.
A. Bersumber Dari Wahyu
1. Tuduhan Para orientalis
Para orientalis dan sejarawan Barat yang anti Islam seringkali menghujamkan tuduhan keji kepada fiqih dan para ulama fiqih. Mereka menuduh bahwa ilmu fiqih tidak lebih sekedar hasil karya para ulama, yang ditulis jauh sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para khulafa’ rasyidah.
Lebih jauh mereka bahkan sampai hati mencemooh para ulama itu sebagai para penjilat penguasa, yang dibayar dengan harga yang pantas untuk meligitimasi kezaliman dan keangkara-murkaan para penindas rakyat.
Mereka sering menghubungkan kelahiran ilmu fiqih dengan masa kehidupan empat imam mazhab, yaitu Abu Hanifah (70-150 H), Al Imam Malik (93-179 H), Asy Syafi’i (150-202 H) dan Al Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H).
Tuduhan seperti ini -sayangnya- disenangi oleh banyak mahasiswa Muslim yang mendapat beasiswa untuk belajar di negeri para orientalis itu berteori. Dan tanpa punya rasa kritis dan cemburu sedikit pun, para mahasiwa yang lugu itu pun menjadi pemuja dan pembela pemikiran para orientalis, bahkan membanggakan diri sebagai murid dan kader mereka.
Padahal ilmu fiqih bukan karangan para ulama, juga bukan baru muncul di masa yang jauh dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hidup. Dan ilmu fiqih tidak punya latar belakang kisah penjilatan kepada para penguasa. Keempat imam mazhab itu, tidak ada satu pun yang menjadi mufti suatu kerajaan, atau menjadi penasehat khalifah tertentu. Ilmu fiqih adalah ilmu yang sudah ada di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup.
Pada dasarnya ilmu fiqih lahir, tumbuh dan berkembang bersama dengan perjalanan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabat. Karena itu kita mengenal istilah fiqih para shahabat, misalnya Fiqih Abu Bakar, Fiqih Umar, Fiqih Ustman dan juga Fiqih Ali. Sebab mereka ternyata memang ahli fiqih, yang juga sekaligus menjadi pengganti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memimpin umat.
Sumber ilmu fiqih juga bukan otak dan logika manusia belaka. Tetapi sumber ilmu fiqih murni Al Quran dan As Sunnah yang diterima secara muktabar, dan kemudian dipahami dengan manhaj yang telah dibakukan secara ilmiyah dan diterima oleh seluruh umat Islam.
2. Fiqih vs Hukum Buat Manusia
Berbeda dengan undang-undang buatan manusia, atau yang sering disebut sebagai al ahkam al wadh’iyah (الأحكام الوضعیة), yang bersumber dari akal dan nalar manusia, fiqih bersumber dari wahyu Allah, yaitu Al Quran dan Sunnah.
Setiap ahli fiqih atau mujtahid pasti memiliki kemampuan mengambil hukum dari sumber fiqih yang ada, dan mereka semua terikat dengan Al Quran dan sunnah. Tidak satu pun dari mereka yang hanya sekedar menuruti logika belaka dan atau sekedar berlandaskan kepada filsafat. Kesimpulan hukum yang dihasilkan merupakan makna turunan secara langsung atau sesuai dengan ruh syariat, atau tujuan umum dari syariat Islam.
Karena sumber fiqih adalah wahyu Allah, maka ia sangat sesuai dengan tuntutan manusia dan kebutuhan manusia secara keseluruhan. Sebab Allah adalah Pencipta manusia yang mengetahui seluk-beluk manusia itu sendiri, baik yang lahir atau yang batin. Allah menciptakan syariat yang lengkap mengatur seluruh bidang kehidupan manusia. Allah berfirman:
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Al Mulk: 14)
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala. Dan mengundi nasib dengan anak panah , adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Maidah: 3)
Jika dibandingkan dengan undang-undang dan hukum yang dibuat manusia, perbedaan antara keduanya sangat jauh, seperti bedanya antara Pencipta jagad raya, Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan makluknya yang kecil.
Hukum yang dibuat manusia banyak kelemahan dan keterbatasan karena ia produk akal manusia yang serba terbatas. Akal manusia tidak mengetahui hakikat jiwa manusia dan kebutuhan dirinya sesuai dengan fitrah penciptaan yang digariskan oleh Allah. Sehingga hasil pikiran manusia banyak yang tidak sesuai dengan tabiat manusia itu sendiri.
Jalan satu-satunya adalah kembali kepada hukum yang diciptakan oleh Allah, Tuhan Yang Maha Tahu tentang manusia.
B. Mencakup Semua Aspek Kehidupan
Dibanding dengan hukum-hukum lain, Fiqih memiliki keistimewaan, yaitu bahwa ia mencakup tiga hubungan manusia; hubungan manusia dengan Allah sebagai Tuhan satu-satunya, hubungan dengan dirinya sendiri, dan hubungan dengan masyarakat. Sebab fiqih ini adalah untuk kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan agama dan negara, dan untuk semua manusia hingga hari kiamat.
Hukum-hukum fiqih adalah perpaduan kekuatan antara akidah, ibadah, akhlak, dan muamalat. Dari kesadaran jiwa, perasaan tanggung jawab, merasa diawasi Allah dalam segala kondisi, penghargaan atas hak-hak maka lahirlah sikap ridha, ketenangan, keimanan, kebagiaan, dan kehidupan individu social yang teratur.
Hukum-hukum terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti hukum-hukum shalat, puasa, dan lain-lain. Sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa jumlah ayat yang berkenaan dengan ibadah ini ada 140 ayat. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, seperti apa yang boleh dia lakukan dan apa yang tidak boleh dari makanan, minuman dan pakaian. Hal ini disyariatkan untuk menjaga diri manusia; akal dan fisik. Untuk hubungan manusia dengan sesama diatur dengan hukum-hukum muamalat dan uqubat (hukum pidana), seperti jual beli, sewa-menyewa, nikah, qishash, hudud, ta’zir, peradilan, persaksian.
Untuk itu dalam fiqih ada dua bab besar dalam fiqih yaitu hukum- hukum ibadah dan hukum-hukum mualat, seperti yan dijelas sebelumnya. Dengan demikian, fiqih diciptakan untuk menjaga lima prinsip dasar manusia; yaitu akal, agama, jiwa, agama, dan kehormatan. Maka fiqih sesungguhnya ingin mecetak manusia yang religi, sehat akal, sehat jiwa, terhormat, suci hartanya.
Dr. Wahbah Az Zuhaili membagi hukum-hukum muamalat dibagi-bagi oleh ulama menjadi beberapa bab:[1]
1. Al Ahwal Asy Syakhsiyah
Yaitu yang terkait dengan keluarga, termasuk hukum-hukum pernikahan, talak, nasab, nafkah, warisan. Hukum-hukum ini bertujuan mengatur hubungan antara suami istri dan kekerabatan yang lebih dikenal dengan “hukum perdata.”
2. Al Ahkam Al Madaniyah
Hukum-hukum kemasyarakatan, yaitu terkait dengan transaksi personal berupa jual beli, sewa menyewa, pergadaian, kafalah (asuransi), kerja sama, hutan piutang, menepati janji. Hukum-hukum ini bertujuan mengatur hubungan personal dari sisi harta dan keuangan sehingga hak-hak masing-masing terjaga.
3. Al Ahkam Al Jina’iyah
Hukum kriminalitas yang dilakukan oleh seseorang dan sanksi yang dikenakan. Tujuan dari hukum ini adalah menjaga eksistensi kehidupan manusia, harta, kehormatan dan hak-hak mereka, memberi kepastian hubungan antara korban kriminal dan pelaku kriminal, dan menciptakan keamanan. Dalam Al Quran terdapat sekitar 30 ayat terkait dengan hukum-hukum kriminalitas.
4. Al Ahkam Al Murafa’at
Hukum-hukum peradilan, tuntutan hukum, persaksian, sumpah, dan lain-lain. Tujuannya adalah mengatur prosedur penegakan keadilan antara menusia dengan syariat Islam. Dalam Al Quran terdapat sekitar 20 ayat yang berbicara mengenai masalah ini.
5. Al Ahkam Ad Dusturiyah
Hukum yang terkait dengan perundang-undang yang mengatur antara penguasa dan rakyat dan menjelaskan hak dan kewajiban individu dan kelompok.
6. Al Ahkam Ad Dauliyah
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negara Islam dengan negara lainnya terkait dengan perdamaian dan perang, hubungan antara warga negara non Muslim dengan negara Islam yang ia tinggali, hukum-hukum jihad dan perjanjian. Tujuannya agar tercipta kerja sama, saling menghormati antar satu negara dengan lainnya.
7. Al Ahkam Al Iqtishadiyah Wa Al Maaliyah
Hukum-hukum yang terkait dengan hak-hak individu terhadap harta benda (kepemilikan), hak-hak dan kewajiban negara di bidang harta benda, pengaturan sumber kekayaan negara dan anggaran-anggarannya. Tujuannya adalah mengatur hubungan kepemilikan antara orang yang kaya dan miskin dan antara negara dengan warga negara. Ini mencakup harta benda negara, seperti harta rampasan, pajak, kekayaan alam, harta zakat, shadaqah, nazar, pinjaman, wasiat, laba perdagangan, harta sewa menyewa, perusahaan, kaffarat, diyat dan lain-lain.
C. Konsep Halal Haram
Semua perbuatan, sikap dan tindakan sosial dalam fiqih selalu ada konsep agama tentang halal haram. Dalam hal ini ada dua bentuk hukum muamalat:
a. Hukum duniawi yang diambil berdasarkan indikasi tindakan dan bukti lahir dan tidak ada hubungannya dengan batin. Ini adakah hukum pengadilan; karena seorang hakim memberikan vonis sesuai dengan bukti yang ada semampunya. Vonis hakim ini tidak bisa mengubah sesuatu yang batil menjadi benar dan. sebaliknya dalam realitas, tidak mengubah yang haram menjadi halal dan sebaliknya. Vonis seorang hakim bersifat mengikat, berbeda dengan fatwa.
b. Hukum ukhrawi yang didasarkan kepada sesuatu yang sebenarnya (hakikat sesuatu baik yang lahir atau batin.
Hal ini berlaku antara seseorang dengan Allah. Hukum inilah yang dijadikan dasar oleh seorang ahli fatwa; fatwa adalah pemberian informasi tentang hukum syariat tanpa mengikat.
Kedua jenis hukum inilah yang ditegaskan dalam sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad dan lainnya,
”Sesungguhnya aku manusia. Jika kalian bersengketa kepadaku, mungkin salah satu dari kalian lebih kuat bukti dan alasannya dari yang lain, maka saya menghukumi berdasarkan apa yang saya dengar. Jika saya memutuskan sesuatu yang berpihak kepada seseorang dengan mengambil hak seorang Muslim secara tidak benar (tanpa saya ketahui) maka itu adalah potongan dari neraka. Jika ia mau silahkan mengambil atau meninggalkannya.”
Hukum-hukum duniawi semacam ini kebanyakan terkait dengan talak (perceraian), sumpah, utang, pelepasan hak, pemaksaan. Misalnya, seseorang yang secara tidak sengaja mencerai istrinya. Maka keputusan hakim adalah jatuh talak sementara menurut hukum ukhrawi tidak jatuh talak.
D. Berlandaskan Kaidah Paten Tapi Fleksibel
Landasan itu adalah Al Quran dan sunnah tertulis dengan rapi dan teliti. Teks-teks di kedua sumber ini bersifat suci dan sacral yang mengandung hukum-hukum global dan tidak terinci. Ini memungkinkan para ahli fiqih melakukan ijtihad menyimpulkan hukum secara terinci sesuai dengan kondisi dan realitas dilapangan. Namun demikian ada batasan yang selalu dijaga oleh para mujtahid. Muncullah kemudian kaidah-kaidah fiqih yang dijadikan pegangan dalam pengambilan hukum.
Nash-nash (teks) syariat, misalnya, tidak menyinggung system hukum secara detail, tapi hanya memberikan garis besarnya seperti; menjamin keadilan antar rakyat, taat kepada ulil amr (penguasa pemerintahan), konsep syura, kerja sama dalam kebajikan dan ketakwaan dan seterusnya.
Penerapan garis-garis besar itu diserahkan kepada kondisi dan realitas di lapangan. Yang terpenting adalah bagaimana tujuannya tercapai terlepas dari sarana yang digunakan asal tidak bertentangan dengan syariat.
E. Prinsip Memberi Kemudahan
Sebaliknya, fiqih memberikan kemudahan dan keringanan kepada manusia. Islam hanya mewajibkan shalat lima kali sehari semalam. Jika tidak mampu dilakukan dengan berdiri, boleh dilakukan dengan duduk, jika tidak mampu duduk, maka dengan berbaring.
Dan keringanan lain terkait dengan tayammum, shalat qasar, jamak, qadha, dan lain-lain. Juga ada keringanan dalam puasa, zakat, kaffarat (denda) akibat kesalahan yang dilakukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al Baqarah: 185)
Karenanya, Allah juga melarang kepada seseorang untuk menyakan sesuatu yang menimbulkan hukum yang lebih berat.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah mema’afkan tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al Maidah: 101).
F. Fiqih Adalah Khazanah Islam Yang Luas
Sepanjang sejarah, tidak ada referensi dan karangan yang sarat dengan khazanah ilmu dan pemikiran melebihi fiqih. Disana akan ditemui segala macam pandangan ulama dari berbagai mazhab dan aliran.
Dalam Islam ada empat aliran fiqih besar dan masing-masing madzab itu memiliki riwayat dan pendapat, baik yang disepakati atau yang dipersilihkan dan setiap pandang memiliki alasan dan dalil.
Setiap masalah dalam kehidupan manusia seakan tak luput dari pembahasan fiqih dari masalah yang terkecil hingga terbesar.
G. Mengikuti Perkembangan Zaman
Fiqih memiliki kaidah yang tidak akan berubah hingga akhir zaman, seperti kaidah; transaksi harus dilakukan saling ridha, pemberian ganti rugi jika ada kerusakan, pemberantasan kriminal, pemeliharaan hak-hak, tanggung jawab individu. Sementara fiqih yang didasarkan atas qiyas, masalahil mursalah, dan adat istiadat bisa berubah sesuai dengan kebutuhan zaman dan kemaslahatan manusia, dengan batasan yang tidak bertengangan dengan syariat.