Manusia senantiasa dalam pergulatan melawan nafsunya, sehingga ia bisa mengalahkan nafsu, atau nafsu itu yang mengalahkannya. Atau dengan kata lain, pertarungan itu akan tetap berlangsung sampai ajal menjemputnya.
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (Asy Syams: 7-10)
Makna inilah yang diisyaratkan dalam sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Berbagai macam cobaan akan ditimpakan kepada hati manusia secara bertubi-tubi laksana proses menganyam tikar. Hati mana pun yang menyerapnya, maka muncullah padanya satu noktah hitam, sedangkan hati manapun yang menolaknya maka akan muncul padanya satu noktah putih, sehingga hati itu menjadi salah satu dari dua kemungkinan: hati yang putih seperti safa (sesuatu yang jernih), ia tidak akan terkena bahaya fitnah, sedangkan yang satu lagi hati yang hitam keabu-abuan, tidak bisa mengenali yang makruf, dan tidak bisa menolak yang mungkar.” (HR. Muslim)
1. Sifat-Sifat Manusia
Dalam pergulatan melawan nafsu, manusia terbagi menjadi beberapa tipe:
1. Ada tipe manusia yang dikalahkan oleh nafsu mereka. Mereka cenderung kepada “bumi” dan kehidupan dunia. Mereka adalah orang-orang kafir dan siapa saja yang mengikuti jalan mereka seperti orang-orang yang telah melupakan Allah sehingga Allah menjadikan mereka lupa diri. Allah menyifati orang-orang semacam ini di dalam Al Quran,
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkan sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan melatakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al jatsiyah: 23)
2. Ada tipe orang yang bersungguh-sungguh memerangi nafsunya dan melawan keinginannya. Kadang-kadang mereka menang, tetapi kadang-kadang kalah. Mereka kadang berbuat kesalahan, tetapi kemudian bertobat. Mereka kadang bermaksiat kepada Allah, namun lantas menyesal dan beristigfar.
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Al Imran: 135)
Mereka telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
“Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak melakukan kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertobat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi))
Mengenai pengertian ini, ada sebuah riwayat dari Wahab bin Munabih, bahwa ia berkata, “Sesungguhnya iblis pernah berjumpa dengan Yahya bin Zakaria AS. Lalu, Yahya bin Zakaria berkata kepadanya, ‘Beritahulah aku tentang karakter anak Adam dalam pandangan kalian!’
Iblis menjawab, ‘Segolongan dari mereka adalah orang-orang sepertimu yang maksum. Kami sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa untuk menggoda mereka. Golongan kedua adalah orang-orang yang di tangan kami ibarat sebuah bola yang ada di tangan anak-anak kalian. Keadaan diri mereka sendiri telah memberi peluang kepada kami, sehingga kami tidak perlu bersusah-susah menggoda mereka. Dan golongan ketiga adalah orang-orang yang paling menyulitkan kami. Kami selalu mendatangi mereka, tetapi setelah kami memperoleh apa yang kami hajatkan darinya, lantas ia tiba-tiba beristigfar memohon ampun sehingga istigfar itu merusak apa yang telah kami peroleh darinya. Jadi, kami tidak pernah berputus asa untuk menggodanya, tetapi kami juga tidak pernah mendapatkan apa yang kami perlukan darinya.’”
2. Perangkat-Perangkat untuk Memenangkan Pertarungan Melawan Hawa Nafsu
a. Hati
Selama hati dalam keadaan hidup, lembut, jernih, kukuh, dan bercahaya.
Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pernah berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki bejana di bumi-Nya, yaitu hati. Maka, hati yang paling dicintai-Nya adalah hati yang paling lembut, jernih dan kukuh.”
Kemudian ia menafsirakannya, “Paling kukuh dalam agama, paling jernih dalam keyakinan, dan paling lembut kepada saudara.”
Juga ucapannya,
“Hati orang beriman itu mulus, di dalamnya terdapat cahaya yang terang. Sedangkan hati orang kafir itu hitam dan terbalik.” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Al Quranul Karim telah memberikan gambaran tentang hati-hati orang-orang beriman,
“… adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambah iman mereka.” (Al Anfal: 2)
Sementara itu,ketika menggambarkan hati orang-orang kafir, ia mengatakan,
“… karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al Haj: 46)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
b. Akal
Selama akal memiliki bashirah (kebijaksanaan), berpengetahuan, mampu membedakan, dan mencari ilmu yang dapat mendekatkan diri seseorang kepada Allah, serta mengetahui keagungan dan kekuasaann-Nya. Karena itu Allah berfirman,
“… sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya,hanyalah ulama …” (Fathir: 28)
Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan isyarat mengenai nilai nikmat ini dengan sabda beliau,
“Allah tidak pernah menciptakan suatu makhluk yang lebih memuliakan dirinya dari pada akal.” HR Muhbir.
Juga sabda beliau kepada Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, “Jika manusia ber-taqarub kepada Allah dengan berbagai amal kebajikan, maka ber-taqarub-lah kamu kepada-Nya dengan akalmu.” Juga sabda beliau, ”Tidaklah seorang memperoleh suatu keutamaan seperti keutamaan akal yang memberi petunjuk pemiliknya kepada hidayah dan mencegahnya dari kebinasaan.
Oleh karena itu, Islam mendorong umatnya untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mendalami ajaran agama, supaya akal mengetahui hal-hal yang dapat membantunya dalam membedakan yang baik dari yang buruk, dan kebenaran dari kebatilan.
Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah, niscaya ia memahamkannya mengenai agama.” (HR. Muslim) Beliau juga bersabda, “Keutamaan orang berilmu atas abid [ahli ibadah]seperti keutamaanku atas seorang laki-laki dari kalangan sahabatku yang paling rendah keutamaannya.” (HR. Tirmidzi). Semua itu karena ilmu memiliki nilai dan pengaruh dalam mengukuhkan iman dalam jiwa dan mengenalkan manusia kepada hakikat-hakikat alam semesta ini.
Akal orang beriman adalah akal yang sabar, bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan, halal dan haram, makruf dan mungkar, karena ia melihatnya dengan cahaya Allah dari balik tabir yang tipis.
“…. (dan)barang siapa yang tiada diberi cahaya [petunjuk]oleh Allahtiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An Nur: 40)
Cahaya akal tidak dapat dipadamkan kemaksiatan-kemaksiatan, terang-terangan melakukan maksiat, dan tidak pernah tobat darinya. Rosululah bersabda,
“Andai kata bukan karena setan-setan itu mengerubuti hati anak adam, niscaya mereka bisa melihat kerajaan langit dan bumi.” (HR. Ahmad)
Dari Anas bin Malik r.a. yang berkata, ”Ketika saya memasuki rumah Utsman bin Affan r.a., diperjalanan saya berjumpa dengan seorang wanita, lantas melirik ke arahnya dengan tajam dan memperhatikan kecantikannya. Maka, ketika saya datang, Utsman berkata, ’Salah seorang dari kalian datang sedangkan berkas-berkas zina tampak dimatanya. Tidak taukah engkau bahwa zinanya mata adalah memandang? Hendaklah kamu bertobat dengan sungguh-sungguh, atau jika tidak aku akan menghukummu dengan ta’zir!’
Maka aku bertanya, ’Adakah wahyu turun sepeninggal Nabi?’
Ia menjawab , ‘Tidak, melainkan bashirah [ketajaman mata hati], burhan (argumen yang kuat), dan firasat yang benar. ’”
3. Indikasi-Indikasi Kekalahan Akhlak.
Sesungguhnya, ketika hati manusia mati atau mengeras, ketika akalnya padam atau menyimpang, dan ia kalah dalam peperanganya melawan setan, ketika itu banyak pintu kejahatan di dalam dirinya sendiri dan setan mengalir di dalam diri anak Adam sebagaimana aliran darah.
Ketika pertahanan dan kekebalan diri manusia runtuh, maka setan menjadi kawan karibnya.
“Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah.” (Al Mujadilah: 19)
Makna inilah yang diisyaratkan oleh ayat mulia,
“Iblis menjawab, ”Karena engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalanmu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” (Al A’raf: 16-17)
Penyakit paling berbahaya yang menimpa orang-orang yang kalah adalah penyakit was-was. Setan senantiasa menanamkan was-was ini pada diri mereka pada setiap keadaan di dalam hidup mereka guna menghalangi mereka dari jalan Allah.
Mengenai hal itu Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya setan duduk menghalangi anak Adam di jalan-jalan yang mereka lalui. Ia duduk di jalan Islam, lantas berkata, ’Akankah kamu masuk Islam dan meninggalkan agamamu serta agama bapak-bapakmu?’ Maka, anak Adam itu tidak menggubris dan tetap masuk Islam. Kemudian ia duduk menghalanginya di jalan hijrah, lantas berkata, ’Akankah kamu berhijrah? Akankah kamu meninggalkan tanah dan langitmu?’ Maka anak Adam itu tidak menggubris pula dan berhijrah. Kemudian ia duduk menghadangnya di jalan jihad. Ia berkata, ’Akankah kamu berjihad padahal jihad berarti membinasakan jiwa dan harta, kamu berperang sehingga dibunuh, istri-istrimu dinikahi, dan hartamu dibagi-bagi?’ Maka, anak Adam itu tidak menggubrisnya dan tetap berjihad.”
Kemudian Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa berbuat demikian, lantas mati, maka Allah pasti memasukkannya ke surga.” (HR. Nasa’i)
Alangkah baiknya sekiranya pembaca mengingat kembali ”Kisah Setan dan Rahib Israil” berkaitan dengan penafsiran firman Allah Swt,
(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia, ”Kafirlah kamu” maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata, ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam.
4. Sarana-Sarana untuk Membetengi Diri dari Masuknya Setan.
Untuk membantu manusia dalam menghadapi tantangan-tantangan setan dan godaan-godaan Islam telah memberikan banyak petunjuk yang bisa membantunya untuk bertahan dalam peperangan dan mengalahkan musuhnya yang paling jahat itu. Petunjuk-petunjuk itu secara global telah disebutkan oleh salah seorang ulama yang saleh dengan ucapannya, ”Saya telah merenungkan dan berpikir, dari pintu manakah setan mendatangi manusia, maka ternyata ia datang dari sepuluh pintu:
Pertama, ambisi dan buruk sangka, maka saya menghadapinya dengan sikap percaya dan menerima.
Kedua, kecintaan kepada hidup dan panjang angan-angan, maka saya menghadapinya dengan rasa takut terhadap datangnya kematian scara tiba-tiba.
Ketiga, keingginan untuk bersantai dan bersenang- senang, maka saya menghadapinya dengan menyadari akan kehilangan nikmat dan keburukan hisap.
Keempat, bangga diri, maka saya menghadapinya dengan mengingat karunia dan rasa takut kepada akibat yang akan menimpa.
Kelima, sikap meremehkan dan kurang menghargai orang lain, maka saya menghadapinya dengan mengenali hak dan kehormatan mereka.
Keenam, dengki, maka saya menghadapinya dengan sikap menerima dan rela dengan pembagian yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada mahkluk-mahkluk nya.
Ketujuh, riya’dan keinginan terpuji manusia, maka saya menghadapinya dengan keikhlasan.
Kedelapan, kikir, maka saya menghadapinya dengan menyadari sirna (fana)-nya semua yang adadi tangan makhluk dan kekalnya pahala yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kesembilan, sombong, maka saya menghadapinya dengan sikap rendah hati.
Kesepuluh, tamak, maka saya menghadapinya dengan percaya dengan apa yang ada di sisi Allah dan sikap zuhud terhadap apa yang menjadi milik manusia.”
Salah satu ajaran yang ditekankan oleh Islam dalam rangka melindungi diri dari anak panah-anak panah dan tipu daya –tipu daya setan adalah dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setiap kali memulai semua pekerjaan. Mengenai hal ini, ada riwayat dari Abu Hurairah sebagai berikut. ”Setannya orang mukmin dan setannya kafir bertemu. Ternyata, setannya orang kafir itu rambutnya rapi berminyak, badannya gemuk, dan buas, sedangkan setannya orang mukmin itu kurus, rambutnya kusut, dan tubuhnya berdebu. Setannya orang kafir berkata kepada setannya orang mukmin, ’Mengapa kamu kurus?’
Setannya orang mukmin menjawab, ’Aku mengikuti seorang laki-laki yang apabila makan ia menyebut nama Allah, sehingga aku kelaparan. Jika minum, ia menyebut nama Allah, sehingga aku kehausan. Dan jika memakai pakaian, maka ia menyebut nama Allah, sehingga aku telanjang. Jika meminyaki rambutnya, ia menyebut nama Allah, sehingga rambutku kusut.’
Maka, setannya orang kafir berkata, ’Adapun aku bersama seseorang yang tidak pernah melakukan hal seperti itu. Maka, aku selalu bersamanya ketika makan, minum, dan berpakaian.’”
Salah satu sarana untuk melindungi diri adalah dengan menghindari makan kenyang, sekali pun yang dimakan adalah makanan halal dan bersih. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“…. makan dan minumlah, dan jangan lah berlebih- lebihan . . . “
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sungguh, setan itu mengggalir pada diri anak Adam sebagaimana menggalirnya darah , maka sempitkanlah tempat-tempat menggalirnya dengan rasa lapar.” (HR. Ahmad)
Sarana lain adalah membaca Al-Quran, berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan beristigfar.
Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda, ”Sesungguhnya setan itu meletakkan belalainya pada hati anak Adam. Jika anak Adam itu berzikir menyebut nama Allah Swt. ia bersembunyi. Tetapi jika anak Adam itu mulupakan Allah SWT, maka ia menelan hatinya.” (HR. Ibnu Adu Dunya)
Sarana lain adalah menghindari tindakan tergesa-gesa dan melaksanakan segala urusan dengan tenang tenang.
Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ’’Tergesa-gasa adalah dari setan, sedangkan bertindak dengan tenang adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Namun, di sini tidak memungkinkan untuk menyebutkan semua sarana, amalan dan wasiat yang diajarkan islam untuk menghindari bencana-bencana dan tipu daya-tipu daya setan. (Kitab Ighatsatul Lahfan min Mashaidish Syaithan)
Maha besar Allah ketika berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan , mereka inggat kepada Allah , maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahan.” (Al A’raf: 201)