Keluarga dan Dakwah

Tatkala  Rasulullah  Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ditemui Jibril di gua  Hira’  -saat turun wahyu pertama kali- persitiwa itu telah mengguncangkan hati dan  pikiran  beliau. Betapa tidak,  bukankah  peristiwa bertemu malaikat itu sesuatu yang tak lazim terjadi? Yang beliau  lakukan kemudian adalah  segera pulang ke rumah, bertemu isterinya! Khadijah, radliyallahu ‘anha, benar-benar tempat pulang yang baik  bagi suaminya. Perhatikanlah betapa kelembutan dan  arifnya Khadijah,  saat  Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam  mengatakan  kepadanya  ,”Selimuti aku…selimuti aku…” dengan kekhawatiran telah terjadi sesuatu yang tidak beres pada diri beliau, Khadijah pun lembut menjawab :

“Tidak,  bergembiralah,  demi Allah! Allah sama  sekali  tak akan  membuat  kamu kecewa. Engkau seorang yang  suka  menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran!”

Tenanglah  hati beliau dengan keteguhan hati dan  kesabaran isterinya. Perhatikan pula penggal kisah perjanjian Hudaibiyah,  antara kaum muslimin dan orang-orang kafir Quraesy. Seusai  dilaksanakan perjanjian  tersebut, hati kaum muslimin masih gerah, disebabkan tingkah laku Suhail bin Amr -wakil pihak Quraisy- yang  dianggap telah  melecehkan kaum muslimin. Tatkala Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam  memerin­tahkan  kepada  kaum muslimin untuk menanggalkan  pakaian ihram, mencukur  rambut dan menyembelih hewan korban, tak  satupun  yang berangkat.  Bahkan perintah itu telah beliau ulang  hingga  tiga kali.  Mereka  tak juga berangkat menunaikan perintah.

Apa  yang beliau lakukan kemudian? Ternyata  beliau masuk ke tenda, menjumpai Ummu Salamah  ra, isteri  beliau yang menyertai dalam perjalanan. Beliau  ceritakan hal  itu  kepada sang isteri. Subhanallah, ternyata ada  sesuatu yang terlupa oleh beliau, dan telah diingatkan oleh Ummu Salamah.

Bergegas  beliau  menemui kaum muslimin,  sebagaimana  saran Ummu  Salamah,  kemudian beliau melepas pakaian  ihram,  mencukur rambut,  dan menyembelih hewan korban, tanpa mengulang  perintah. Demi  dilihatnya  sang Nabi telah mencontohkan,  tanpa  dikomando kaum muslimin melakukan hal serupa.

Demikianlah  salah satu episode dalam keluarga dakwah.  Suami dan isteri  akan saling memberikan ketenangan dengan mawaddah dan  rahmah.

Keluarga: An Nazhrah al Ijabiyah fid Da’wah

Suatu  ketika, Umar ra hendak berbicara di  depan  ummatnya. Sebelum ia berangkat, dikumpulkan sanak familinya, lalu ia berka­ta:

“Ketahuilah,  aku  akan mengajak manusia kepada  begini  dan begitu. Aku bersumpah dengan nama Allah yang Maha Agung bahwa aku tak mau sekali-kali melihat ada seorang di antara kalian  melaku­kan  apa yang aku larang terhadap manusia, atau meninggalkan  apa yang  aku perintahkan kepada mereka. Siapa yang berani  melanggar ketentuan  ini, niscaya aku akan menyiksanya dengan siksaan  yang pedih”.

Kita juga menyaksikan, orang-orang yang mula pertama beriman adalah  dari lingkungan keluarga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri.  Setelah Khadijah ra beriman, disusul kemudian Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah ra. Baru setelah itu, beliau mengajak orang di  luar  keluarganya.

Keluarga adalah citra bagi dakwah Islam. Membangun masyarakat, apalagi negara dan dunia, tak akan  berhasil  tanpa dimulai dengan  pembangunan  dan  pembinaan keluarga.  Ia memang  citra yang membuat  ummat  menyambut  atau menolak dakwah yang disampaikan kepada mereka.

Keluarga : Basis Pencetak Generasi Khairu Ummah

Ummat  akan berpredikat Khairu Ummah apabila  memenuhi  tiga syarat.  Pertama, ta’muruuna bil  ma’ruf,  mereka  memerintahkan untuk  berbuat  kebaikan. Kedua, tanhauna  ’anil munkar, mereka mencegah  dari perbuatan munkar, dan ketiga  tu’minuuna  billaah, mereka beriman kepada Allah. Namun darimanakah datangnya generasi yang mampu meraih predikat itu, jika tidak dimulai dari persiapan dalam keluarga?

Bukankah Luqman telah memberikan teladan, tatkala ia membina anaknya :

Dan  (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya :  Hai anakku,  janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya  mem­persekutukan  (Allah) adalah benar-benar kezhaliman  yang  besar” (Luqman(31):13).

Hai  anakku,  dirikanlah  shalat,  dan  suruhlah  (manusia) mengerjakan  yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan  yang munkar  dan bershabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.  Sesung­guhnya  yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan  (oleh Allah)” (Luqman(31):18).

Keluarga  Luqman,  telah  mencontohkan  persiapan   generasi khairu ummah. Generasi yang menegakkan amar ma’ruf, nahi  munkar, sedang mereka beriman kepada Allah, tanpa melakukan kemusyrikan.

Ummat  akan  baik,  jika dimulai dari  keluarga  yang  baik. Keluarga akan Islami, apabila setiap individu dalam keluarga  itu memahami  dan melaksanakan tugas dan kewajibannya  masing-masing, sesuai  aturan  Islam. Oleh karenanya, keluarga  sebagai  lembaga terkecil dalam struktur ummat, memiliki peran yang amat strategis dalam merekayasa peradaban masa depan. Peradaban yang menjanjikan kebaikan dalam segala aspeknya, karena dikendalikan oleh generasi khairu ummah.

Luqman adalah tipologi kepala keluarga yang sadar akan beban masa  depan.  Ia telah memulai, bahkan  diabadikan  dalam  Qur’an sebagai  percontohan.  Keluarga, memang  basis dakwah.  Keluarga adalah basis pencetak generasi khairu ummah.

Wallahu a’lam.