Kemandirian Karakter Wanita

Beberapa Karakteristik Wanita Muslimah dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sebenarnya wanita itu adalah saudara Kandung laki-laki.” (HR Abu Daud)[1]

Umar ibnul Khattab berkata, “Demi Allah, pada zaman jahiliah kami menganggap wanita itu tidak ada artinya sampai turun ayat Allah mengenai wanita dan memberinya bagian tertentu.” (HR Bukhari dan Muslim)[2]

Dalam riwayat lain Umar berkata, “Pada zaman jahiliah kami tidak menghargai wanita sedikit pun. Tetapi tatkala Islam datang dan Allah menyebut-nyebut tentang mereka, barulah kami sadar bahwa mereka mempunyai hak pada kami.” (HR Bukhari)[3]

Kemandirian Karakter Wanita

1. Bersama Laki-laki Wanita Menerima Seruan Allah Sejak Hari Pertama

Abu Hurairah berkata, “Ketika Allah menurunkan ayat “Wa andzir ‘asyiaratakatul aqrabin” (peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat), Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri lalu berkata: ‘Hai orang-orang Quraisy, belilah diri kalian, aku tidak bisa membantu kalian dari siksa Allah sedikit pun. Hai Bani Abdi Manaf, aku tidak bisa membantu kalian dari siksa Allah sedikit pun. Wahai Abbas bin Abdul Muttalib, aku tidak bisa membantumu dari siksa Allah sedikit pun. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah, aku tidak bisa membantumu dari siksa Allah sedikit pun. Wahai Fatimah binti Muhammad, mintalah sesukamu uang/hartaku, tetapi aku tidak bisa membantumu dari siksa Allah sedikit pun.'” (HR Bukhari dan Muslim)[4]

2. Wanita yang Lebih Dahulu Beriman daripada Suaminya

Abdullah bin Abbas berkata, “Aku dan ibuku termasuk golongan orang lemah/tertindas. Aku dari kalangan anak-anak dan ibuku dari kalangan wanita.” (HR Bukhari)[5]

Dalam menguraikan bab ini Bukhari berkata, “Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu bersama ibunya termasuk di antara orang-orang yang lemah/tertindas. Dia tidak ikut bersama ayahnya dalam menganut agama kaumnya.” Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut, “Nama ibunya Lubabah binti Al Harits Al Hilaliah (diberi gelar Ummul Fadhal, karena Al Fadhal adalah anak tertua dari keluarga Abbas). Kata-kata: ‘Dia tidak ikut bersama ayahnya dalam menganut agama kaumnya,’ adalah perkataan pengarang berdasarkan pengamatannya sebab Abbas masuk Islam setelah terjadinya Perang Badar. Namun pendapat ini masih dipertikaikan oleh para ulama. Yang benar adalah bahwa Abbas berhijrah pada awal tahun penaklukan Kota Mekah. Dia datang bersama Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu ikut serta dalam penaklukkan tersebut.” Wallahu a’lam.[6]

3. Wanita yang Mengajak Kaumnya Beriman

Imran bin Hushain berkata bahwa mereka pernah bersama Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam suatu perjalanan. Mereka terus melanjutkan perjalanan sampai malam hari. Setelah mendekati subuh mereka kelelahan dan istirahat. Mereka tertidur lelap sampai matahari sudah naik. Orang yang pertama kali bangun dari tidurnya adalah Abu Bakar. Biasanya tidak ada yang berani membangunkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari tidurnya sampai beliau bangun sendiri.

Kemudian Umar terbangun dan Abu Bakar duduk di dekat kepala Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia mengucapkan takbir dengan suara yang agak keras sehingga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terbangun. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam segera turun, kemudian melakukan shalat subuh bersama kami. Salah seorang dari kaum/jamaah menghindarkan diri dan tidak ikut shalat bersama kami.

Selesai shalat, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Hai fulan, apa yang menghalangimu sehingga tidak ikut shalat bersama kami?”

Laki-laki itu menjawab, “Aku dalam keadaan junub.”

Lantas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhnya melakukan tayamum dengan tanah/debu yang suci. Kemudian laki-laki itu mengerjakan shalat. Setelah itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhku menaiki tunggangan di hadapan beliau.

Ketika itu kami sudah merasa haus sekali. Tiba-tiba di tengah perjalanan kami bertemu dengan seorang wanita yang kedua kakinya terjuntai di antara dua girbah (gentong dari kulit) air besar (di atas tunggangannya). Kami bertanya kepadanya, “Dimana ada air?”

Dia menjawab, “Aduh, tidak ada air.”

Kami bertanya lagi, “Berapa jauh jarak antara keluargamu dengan air?”

Dia menjawab, “Satu hari satu malam (perjalanan).”

Kami berkata, “Kalau begitu, pergilah temui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam!”

Wanita itu bertanya, “Apa itu Rasulullah?”

Karena susah untuk menjelaskannya, akhirnya wanita itu kami bawa menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Ketika ditanya oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam jawabannya sama seperti apa yang dia katakan kepada kami sebelumnya. Cuma saja dia menambahkan bahwa dia menanggung beberapa anak yatim yang masih kecil-kecil.

Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mengambil kedua girbah airnya yang masih kosong, kemudian mengusap mulut kedua girbah air tersebut. Akhirnya kami yang kehausan berjumlah empat puluh orang bisa minum sepuas-puasnya. Bahkan semua girbah dan bejana yang ada kami isi penuh dengan air. Hanya unta yang tidak kami beri minum. Sedangkan girbah-girbah air tersebut seakan mau meledak karena kepenuhan.

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Kemarikanlah apa yang ada pada kalian.”

Akhirnya terkumpullah untuk wanita itu beberapa potong roti dan kurma hingga bisa dia bawa kepada keluarganya. Wanita itu bercerita (kepada kaumnya), “Aku bertemu dengan orang yang paling hebat sihirnya, atau dia itu adalah seorang nabi sebagaimana yang mereka katakan.”

Lalu Allah memberi petunjuk (hidayah) kepada kaum itu dengan (perantara) wanita tersebut. Akhirnya wanita itu dan kaumnya masuk Islam.

Dalam satu riwayat[7] disebutkan, “Adalah kaum muslimin, setelah peristiwa itu, menyerang orang-orang musyrik yang ada di sekitarnya, tetapi mereka tidak mengenai/menyerang kaum dari mana wanita itu berasal. Pada suatu hari, wanita itu berkata kepada kaumnya, “Saya tidak melihat kaum itu meninggalkan kalian dengan sengaja. Maka apakah kalian mau masuk Islam?” Lalu mereka mentaatinya, kemudian mereka masuk Islam.” (HR Bukhari dan Muslim)[8]


[1] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no. 2329.

[2] Bukhari, Kitab: Tafsir surat At Tahrim, Bab: Ayat “Kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu,” jilid 10, hlm 283. Muslim, Kitab: Thalak, Bab: Masalah ila’ dan menjauhi istri, jilid 4, hlm. 190.

[3] Bukhari, Kitab: Pakaian, Bab: Pakaian yang diperkenankan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, jilid 12, hlm. 418.

[4] Bukhari, Kitab: Tafsir surat Asy Syu’ara’, Bab: Ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah dirimu,” jilid 10, hlm. 120. Muslim, Kitab: Iman, Bab: Ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, jilid 1, hlm. 133.

[5] Bukhari, Kitab: Jenazah, Bab: Apabila seorang anak masuk Islam, lalu dia mati, apakah perlu dishalatkan? jilid 3 hlm. 464.

[6] Fathul Bari, jilid 3, hlm. 462.

[7] Bukhari, Kitab: Hadits-hadits mengenai para nabi, Bab: Tanda-tanda kenabian dalam Islam, jilid 7, hlm. 392. Muslim, Kitab: Masjid dan tempat-tempat shalat, Bab: Mengqadha shalat yang tertinggal, jilid 2, hlm. 140.

[8] Bukhari, Kitab: Tayammum, Bab: Tanah yang suci, jilid 1, hlm. 470.