Kemelaratan Panjang

» النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ «

“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir´aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. Ghafir: 46).

Saudaraku,
Abu Dzar al Ghifari r.a pernah berujar,
“Maukah aku beritahukan kepada kalian perihal hari kemelaratanku (yang hakiki)?. Yaitu hari di mana aku di masukkan ke dalam liang lahatku.”
(Mawa’izh al-Shahabah, Shalih Ahmad al Syami).

Saudaraku,
Banyak orang yang ingin lari sejauh mungkin meninggalkan kemiskinan hidup. Berbagai upaya dilakukan agar ia terhindar dari kemelaratan. Tidak sedikit jalan ditempuh untuk menyelamatkan diri dari keadaan yang menjadi momok manusia tersebut. Baik itu jalan yang benar ataupun jalan yang salah. Baik itu dengan cara yang halal ataupun dengan cara yang haram. Entah itu diraih dengan cara yang disukai orang lain maupun dengan cara menzalimi sesama.

Dalam kaca mata mayoritas manusia, mereka benci kemiskinan karena ia pandang sebagai bencana, malapetaka, prahara, kepahitan tak terkira dan momok dalam kehidupan.

Padahal kemiskinan sejati, kemelaratan hakiki baru dimulai saat malaikat maut menjemput ruh kita. Mengambil nyawa kita. Pada saat ruh kita akan diterbangkan ke dalam surga atau dinistakan dalam neraka. Yang tentunya dimulai dari tempat persinggahan kita sementara sampai tibanya hari kiamat. Yakni alam kubur. Alam barzakh.

Oleh karena itu, khalifah ketiga; Utsman bin Affan teramat khawatir dengan peristiwa alam kubur yang akan dialaminya, yang menyebabkan tangisannya meledak setiap kali ia berada di atas perkuburan kaum muslimin.

Hani’, budak Utsman bin Affan menceritakan, “Ketika Utsman r.a berhenti di sebuah kuburan, ia menangis tersedu-sedu sampai basah janggutnya. Lalu Hani bertanya, ‘Engkau mengingat surga dan neraka tetapi tidak menangis. Namun saat mengingat kubur, engkau menangis. Mengapa demikian?.’

Utsman menjawab, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, ‘Kubur adalah rumah akhirat pertama. Bila seseorang selamat di kubur, maka setelahnya menjadi lebih mudah; bila tidak selamat dari kubur, maka setelahnya lebih sulit.’ Aku juga mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, “Aku tidak melihat suatu pemandangan pun yang lebih menakutkan daripada kubur.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Saudaraku,
Dalam hadits Al-Bara’ bin ‘Azib yang panjang, Rasulullah menceritakan tentang orang kafir setelah mati, dikatakan, “Gelarkanlah untuknya alas tidur dari api neraka, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu ke neraka. Maka panas dan uap panasnya mengenai wajahnya.

Lalu disempitkan kuburnya sampai tulang-tulang rusuknya berhimpitan.
Kemudian datanglah kepadanya seseorang yang buruk parasnya, jelek pakaiannya, dan busuk baunya. Dia berkata, “Bergembiralah engkau dengan perkara yang akan menyiksamu. Inilah hari yang dahulu engkau dijanjikan dengannya (di dunia).”

Maka dia bertanya, “Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang datang dengan kejelekan.”

Dia menjawab, ‘Aku adalah amalanmu yang jelek’. Maka dia berkata, “Wahai Tuhanku, jangan Engkau datangkan hari kiamat.” (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah dan Hakim).

Saudaraku,
Seorang wanita yang biasa menyapu masjid Nabawi pada masa Rasulullah s.a.w wafat dan beliau pun merasa kehilangan atas kepergiannya itu. Para sahabat menyampaikan bahwa wanita tersebut meninggal pada saat malam dan telah dikubur pada malam itu juga.

Para sahabat tidak sampai hati mengabari beliau. Beliau lalu meminta beberapa sahabat untuk menunjukkan kuburnya. Setelah sampai di kubur wanita tersebut, beliau pun kemudian menyalati wanita itu, lalu bersabda, “Kuburan ini sungguh sangat gelap bagi para penghuninya. Allah s.w.t menyinarinya untuk mereka dengan shalatku tadi.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Saudaraku,
Nasihat Abu Dzar al-Ghifari di atas, memberikan arahan dan obor penerang untuk perjalanan hidup kita ke depan. Di antaranya:

• Kemiskinan sejati adalah miskin amal shalih bukan miskin wajah, harta, jabatan, kedudukan, popularitas dan yang lainnya. Di kubur itulah tergambar jelas masa depan kita di sana. Apakah berakhir cerah bercahaya sumringah berseri atau sebaliknya suram dan gelap bagaikan pertengahan malam yang diapit mendung.

• Saat malaikat Munkar dan Nakir bertanya mengenai siapa Tuhan kita, siapa Nabi kita dan apa agama kita di alam kubur, maka yang akan menjawab adalah amalan kita dan bukan lisan kita. Jawaban yang tepat adalah pertanda baik untuk ujian berikutnya. Sebaliknya ketidak mampuan diri untuk memberikan jawaban yang benar, merupakan awal dari bencana besar yang telah menanti kita.

• Setelah kita meninggalkan dunia, tiada lagi bermanfaat kenikmatan dunia yang telah kita kumpulkan berpuluh-puluh tahun dengan perasan keringat. Bahkan tidak jarang, harta benda yang kita tinggalkan justru menjadi pemicu keretakan dan pertikaian bagi ahli waris sepeniggal kita.

• Setelah berada di alam kubur, tiada seorangpun yang merasa dirinya kaya raya, walau segala kenikmatan hidup di dunia telah diraihnya. Karena setiap orang merasa kurang dengan amal shalih yang telah diukirnya di dunia. Terlebih bagi orang yang telah menzalimi diri sendiri, dengan jalan menghalangi dirinya dari beramal shalih. Padahal waktu, peluang dan kesempatan terbentang di hadapannya.

• Sebelum terlambat, mari kita sadari hakikat kemiskinan dan kemelaratan ini. Kita boleh miskin dan melarat di dunia. Tapi jangan sampai kita miskin dan melarat di akherat sana. Yang dimulai dari alam kubur kita. Sebab jika ajal telah menjemput kita, kehidupan sejati baru kita mulai. Apakah kita menjadi kaya lantaran pundi-pundi amal shalih yang telah kita himpun dengan susah payah di dunia. Atau sebaliknya, kita menjadi miskin amal lantaran silau dengan gemerlapnya dunia dan tertipu dengan kenikmatan semu.

• Membuka lembaran-lembaran hidup para salafus shalih, terlebih para sahabat mulia, merupakan jalan menuju keshalihan pribadi. Di sana ada keteladanan. Di sana ada pelita penerang. Dan di sana ada contoh nyata, bagaimana kita menjadi sosok pribadi muslim yang mendekati kata ‘ideal’.

Ya Rabbi, jadikanlah kami orang-orang yang kaya di akherat sana dan mudahkanlah kami mengukir amal-amal shalih dalam hidup dan kehidupan ini. Amien. Wallahu a’lam bishawab.

Metro, 04 Desember 2014 M
Fir’adi Abu Ja’far