“Dari Umar ibnul Ash dikatakan bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Siapa orang yang paling engkau cintai?’ Beliau menjawab: ‘Aisyah.’ Aku bertanya lagi: ‘Dari kalangan pria?’ Beliau menjawab. ‘Bapaknya.'” (HR Bukhari dan Muslim)[1]
Lingkungan Khusus Tempat Aisyah Radhiyallahu ‘Anh Dibesarkan
Urwah bin Zubair mengatakan bahwa Aisyah, istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Aku tidak menyadari kenyataan bahwa kedua orang tuaku telah memeluk agama Islam, dan tiada hari yang mereka lewati kecuali Rasulullah datang ke rumah kamu baik siang maupun malam hari. Kemudian ketika kaum muslimin mendapat cobaan, Abu Bakar keluar untuk berhijrah dengan tujuan negeri Habasyah. Ketika dia sampai di Barkal Ghimad (Yaman), dia bertemu dengan Ibnu Daghinah, pemimpin Kabilah Qarah. Dia bertanya: ‘Mau kemana kamu, wahai Abu Bakar?’ Abu Bakar menjawab: ‘Kaumku telah mengusirku, karena itu aku akan mengembara di muka bumi sehingga aku bisa beribadah kepada Tuhanku.’ Ibnu Daghinah berkata: ‘Orang sepertimu ini, wahai Abu Bakar, tidak mungkin keluar dan tidak mungkin dikeluarkan. Sebab engkau suka memenuhi kebutuhan orang yang tidak punya, suka menyambung tali persaudaraan, suka memikul beban orang lain, suka memuliakan tamu, dan suka membantu para penegak kebenaran. Saya siap menjadi penanggunganmu. Kembalilah dan beribadahlah kepada Tuhanmu di negerimu.’ Akhirnya Abu Bakar kembali, dan Ibnu Daghinah ikut berangkat bersama Abu Bakar. Kemudian Ibnu Daghinah berkeliling menemui tokoh-tokoh Quraisy pada sore harinya. Ibnu Daghinah berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya orang yang seperti Abu Bakar tidak boleh keluar dan tidak boleh dikeluarkan. Apakah kalian mengeluarkan seseorang yang suka mencukupi kebutuhan orang yang tidak punya, suka menjalin hubungan kekeluargaan, suka memikul beban orang lain, suka memuliakan tamu, dan senantiasa membantu para pembela kebenaran?’ Biasanya orang Quraisy tidak pernah menyepelekan orang yang dilindungi oleh Ibnu Daghinah. Mendengar kata-kata itu mereka berkata kepada Ibnu Daghinah: ‘Suruhlah Abu Bakar beribadah kepada Tuhannya di rumahnya saja. Silakan dia shalat dan membaca apa yang dia inginkan. Tapi jangan sampai mengganggu kami dan jangan melakukannya secara terang-terangan, sebab kami khawatir hal itu memperdaya para istri dan anak-anak kami.’ Pernyataan orang Quraisy itu disampaikan oleh Ibnu Daghinah kepada Abu Bakar. Semenjak itu Abu Bakar beribadah kepada Tuhannya di rumahnya, tidak memperlihatkan shalat dan tidak membaca apa-apa kecuali di rumahnya. Kemudian terlintas dalam benak Abu Bakar untuk membangun masjid di pekarangan rumahnya, lalu niatnya itu dia laksanakan. Di situlah Abu Bakar shalat dan membaca Al-Qur’an. Maka berdatanganlah ke tempat itu wanita-wanita kaum musyrik dan anak-anak mereka yang kagum melihat apa yang dikerjakan oleh Abu Bakar. Abu Bakar adalah seorang yang mudah menangis. Dia tidak kuasa membendung air matanya kalau sudah mulai membaca Al-Qur’an. Hal tersebut membuat para pemuka Quraisy merasa khawatir. Lalu mereka mengirim utusan untuk memanggil Ibnu Daghinah. Maka datanglah Ibnu Daghinah. Mereka berkata: ‘Kami telah memperbolehkan Abu Bakar untuk melakukan ibadah di rumahnya dengan jaminan keamanan darimu. Tetapi dia telah melanggar syarat yang kami tentukan. Dia telah membangun sebuah masjid di pekarangan rumahnya. Dia memperlihatkan shalatnya dan membaca Al-Qur’an di situ. Kami khawatir sekali perbuatannya itu akan memperdaya istri-istri dan anak-anak kami. Karena itu cobalah engkau larang dia. Kalau dia bersedia melakukan ibadah di rumahnya saja, maka lakukanlah. Tapi kalau dia keberatan dan tetap bersikeras untuk melanjutkan perbuatannya itu, maka mintalah dia supaya mengembalikan kepadamu jaminan keamanan yang telah kamu berikan kepadanya. Kami tidak mau mengkhianati, di samping kami juga tidak bisa menerima perbuatan Abu Bakar itu terus berlanjut.’ Aisyah berkata bahwa kemudian Ibnu Daghinah pergi menemui Abu Bakar, dan berkata: ‘Kamu sudah tahu apa yang aku janjikan padamu. Sekarang kamu pilih, apakah menerima syarat perjanjian kita atau kamu mengembalikan jaminan perlindungan yang telah kuberikan padamu. Sebab aku tidak ingin orang-orang Arab mendengar bahwa aku mengkhianati janji terhadap seseorang yang telah aku buat perjanjian dengannya.’ Abu Bakar berkata: ‘Sekarang akan aku kembalikan jaminanmu dan aku ridha dengan jaminan keamanan dari Allah SWT.’ Ketika itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih berada di Mekah. Beliau berkata kepada umat Islam: ‘Telah diperlihatkan Allah kepadaku tempat hijrah kalian. Satu tempat yang kaya kurma, terletak di antara dua daerah yang berbatu hitam, maka hijrahlah orang-orang menuju Madinah. Demikian pula halnya orang-orang yang sudah berhijrah ke Habsyah, umumnya mereka kembali ke Madinah. Abu Bakar pun sudah bersiap-siap untuk hijrah ke Madinah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya: ‘Sabarlah dulu Abu Bakar. Aku juga berharap semoga Allah mengizinkanku (berhijrah).’ Abu Bakar bertanya: ‘Apakah engkau juga berharap demikian (wahai Rasulullah)?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Ya.’ Lalu Abu Bakar menahan dirinya demi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, agar dia bisa menemani beliau nantinya. Selanjutnya Abu Bakar menyiapkan dua ekor unta dan memberi makan untanya dengan daun samur selama empat bulan.’ Aisyah berkata bahwa pada suatu hari, ketika sedang duduk-duduk di siang hari yang sangat panas, tiba-tiba ada seseorang berkata kepada Abu Bakar: ‘Ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang dengan bertudung kepala. Sebelumnya beliau tidak pernah berkunjung pada saat seperti ini, lalu Abu Bakar berkata: ‘Ayah ibuku tebusannya. Demi Allah, beliau tidak akan datang pada saat seperti ini kecuali untuk sesuatu urusan yang sangat penting.’ Aisyah berkata bahwa kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang, kemudian minta izin dan Abu Bakar pun mengizinkannya masuk. Beliau berkata kepada Abu Bakar: ‘Suruhlah keluar orang-orang yang ada bersamamu!’ –Menurut riwayat Musa bin Uqbah, Aisyah berkata bahwa ketika itu tidak ada orang yang bersama Abu Bakar kecuali aku sendiri dan Asma[2]— Abu Bakar menjawab: ‘Demi bapakku, sebenarnya mereka adalah keluargamu, wahai Rasulullah.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah mengizinkan untuk keluar (hijrah).’ Abu Bakar berkata: ‘Apakah aku boleh menemanimu, wahai Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Ya.’ Abu Bakar berkata: ‘Demi bapakku, kalau begitu, ambillah salah satu dari kedua untukku ini.’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘(Tetapi harus) dengan harga.'” Aisyah berkata: “Lalu kami mempersiapkan kedua unta itu secepat mungkin. Kami buatkan bekal untuk mereka berdua dalam kantong. Asma binti Abu Bakar memotong kain ikat pinggangnya untuk dijadikan pengikat mulut kantong tersebut. Karena itulah Asma dijuluki dengan dzatun nithaq (wanita berikat pinggang).” Selanjutnya Aisyah berkata: “Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar berangkat menuju gua di Bukit Tsur.” (HR Bukhari)[3]
Dalam kitab Fathul Bari disebutkan: “Aisyah adalah Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq (gadis jujur, putri seorang yang jujur). Ibunya bernama Ummu Ruman. Aisyah lahir dalam era Islam, delapan tahun sebelum peristiwa hijrah (atau sekitar waktu tersebut). Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat ketika Aisyah berusia delapan belas tahun. Sementara Aisyah wafat pada zaman khalifah Mu’awiyah, yaitu tahun 58, atau tahun berikutnya.”[4]
Allah Memilih Aisyah Radhiyallahu ‘Anh sebagai Istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Aisyah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Aku melihat dirimu dalam mimpi –dua kali[5] atau tiga malam.[6] Malaikat datang kepadaku membawamu dalam selembar kain sutera seraya berkata: ‘Inilah istrimu.’ Ketika kain yang menutupi wajahmu itu aku singkapkan ternyata kamu. Lalu aku berkata: ‘Kalau itu memang datang dari sisi Allah, maka pasti akan terlaksana.'” (HR Bukhari dan Muslim)[7]
Resepsi Perkawinan Aisyah Radhiyallahu ‘Anh
Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat Bani Harits bin Khazraj. Kemudian aku terserang yenyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok. Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku. Dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah. Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar.’ Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.'” (HR Bukhari dan Muslim)[8]
[1] Bukhari, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Bab: Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Seandainya aku mengambil seorang kekasih,” jilid 8, hlm. 22. Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Diantara keutamaan Abu Bakar Shiddiq Radhiyallahu ‘Anh, jilid 7, hlm. 109.
[2] Fathul Bari, jilid 8, hlm. 235.
[3] Bukhari, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Bab: Hijrah Nabi saw dan para sahabat ke Madinah, jilid 8, hlm. 231-236.
[4] Disadur dari Fathul Bari, jilid 8, hlm. 106-107.
[5] Bukhari, Kitab: Manaqib orang Anshar, Bab: Perkawinan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Aisyah, jilid 8, hlm. 225.
[6] Muslim, Kitab: keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: keutamaan Aisyah Radhiyallahu ‘Anh, jilid 7, hlm. 134.
[7] Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Melihat wanita sebelum dikawini, jilid 11, hlm. 85. Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Keutamaan Aisyah, jilid 7, hlm. 134.
[8] Bukhari, Kitab: Manaqib, Bab: Perkawinan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Aisyah, kedatangan Aisyah di Madinah, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membina rumah tangga dengannya di Madinah, jilid 8, hlm. 224. Muslim, Kitab: Nikah, Bab: Seorang bapak mengawinkan anak gadis perawannya yang masih kecil, jilid 4, hlm. 141.