Kepribadian Wanita: ‘Aisyah Ummul Mukminin (4)

Sikap Rendah Hati dan Tanggung Jawab Ilmiah Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu

Syuraih bin Hani berkata: “Aku pernah bertanya kepada Aisyah tentang mengusap sepatu ketika berwudhu. Aisyah berkata: ‘Datanglah kepada Ali, sebab dia lebih tahu daripadaku mengenai masalah itu.’ Menurut satu riwayat: ‘Sebab dia pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam’ Lalu aku mendatangi Ali. Ali menceritakan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa tiga hari tiga malam untuk orang yang musafir dan satu hari satu malam untuk orang yang mukim …” (HR Muslim)[1]

Dari Kuraib dikatakan bahwa Ibnu Abbas, Miswar bin Makhramah, dan Abdurrahman bin Azhar Radhiyallahu ‘Anh menyuruhnya menemui Aisyah Radhiyallahu ‘Anh. Mereka berkata: “Sampaikanlah salam kami kepadanya, dan tanyakan kepadanya mengenai dua rakaat shalat sesudah asar serta katakan kepadanya bahwa kami mendengar kabar kalau engkau (Aisyah) juga melakukannya, padahal kami dengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.” Ibnu Abbas berkata: “Waktu itu aku sedang bersama Umar ibnul Khattab segera beranjak meninggalkan tempat untuk menjauh.”

Selanjutnya Kuraib berkata: “Aku pergi menemui Aisyah Radhiyallahu ‘Anh dan menyampaikan apa yang mereka pesankan kepadaku. Aisyah berkata: ‘Kamu tanyakan saja kepada Ummu Salamah.’ Lalu aku pulang menemui orang-orang yang menyuruhku tadi dan aku beritahu apa jawaban Aisyah. Mereka kemudian kembali menyuruhku menemui Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anh guna menanyakan hal yang sama. Ummu Salamah berkata Radhiyallahu ‘Anh: ‘Aku memang pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya. Namun kemudian aku juga pernah melihat beliau melakukannya setelah shalat asar. Setelah itu beliau masuk ke rumah yang pada saat itu aku sedang bersama beberapa wanita Bani Haram dari kalangan Anshar Lalu aku mengutus seorang budak perempuan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam’ Kepadanya aku katakan: ‘Berdirilah kamu di samping beliau dan katakanlah kepada beliau seperti ini: “Ummu Salamah berkata padamu, wahai Rasulullah: ‘Aku pernah mendengarmu melarang mengerjakan yang dua rakaat ini, tetapi aku lihat engkau sendiri melakukannya? Seandainya beliau memberi isyarat dengan tangannya maka tunggulah dulu.” Lalu budak perempuan itu melaksanakan apa yang kuperintahkan, dan ternyata beliau memberi isyarat dengan tangannya, maka budak perempuan itu mundur. Kemudian setelah beliau selesai mengerjakan shalat dua rakaat itu beliau berkata: ‘Wahai putri Abu Umayyah, kamu pasti ingin menanyakan shalat dua rakaat yang sesudah asar itu. Ketahuilah bahwa tadi ada beberapa orang dari Suku Abdul Qais datang kepadaku. Aku sibuk melayani mereka sehingga tidak sempat melakukan shalat dua rakaat setelah zuhur. Maka dua rakaat yang aku kerjakan sekarang adalah pengganti dua rakaat setelah zuhur yang ketinggalan itu.'” (HR Bukhari dan Muslim)[2]

Ibrahim berkata: “Aku berkata pada Al Aswad: ‘Apakah kamu sudah pernah menanyakan kepada Aisyah mengenai bejana apa yang tidak baik digunakan sebagai tempat penyimpanan anggur?'” Aswad berkata: “Pernah. Aku bertanya padanya seperti ini: ‘Wahai Ummul Mukminin, tempat apakah yang dilarang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyimpan anggur?’ Aisyah menjawab: “Sama seperti larangan yang beliau berlakukan terhadap kami ahlul bait (keluarga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), yaitu bejana dari labu air dan bejana yang dicat dengan ter (gala-gala).” Aku bertanya: “Mengapa kamu tidak menyebutkan bejana tempayan dan yang sejenisnya?” Dia menjawab: “Aku hanya mau menceritakan kepadamu apa yang pernah aku dengar. Apakah aku harus menceritakan apa yang belum pernah aku dengar?” (HR Bukhari)[3]

Minat Aisyah untuk Mencapai Ketinggian Derajat

a. Sebelum Ayat Hijab Diturunkan

Anas Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Ketika terjadi tragedi dalam Perang Uhud, banyak prajurit Islam yang lari meninggalkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Aku melihat Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim sibuk sekali melayani pasukan. Mereka menyingsingkan pakaian sehingga kelihatan olehku gelang-gelang kaki mereka. Dengan langkah cepat mereka mengangkat girbah air di atas punggung mereka untuk memberi minum pasukan Islam. Kemudian pergi lagi mengisi girbah air tersebut, lalu datang lagi untuk memberi minum pasukan sampai isi girbah itu kosong …” (HR Bukhari dan Muslih)[4]

b. Setelah Ayat Hijab Diturunkan

Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad itu adalah amalan yang paling afdal. Apakah kami tidak boleh ikut berjihad?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Kalian mempunyai jihadyang paling afdal, yaitu haji mabrur.” Menurut satu riwayat:[5] “Apakah kami tidak boleh berperang dan berjihad bersamamu?” Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Tetapi jihad yang lebih baik dan lebih indah bagi kalian adalah haji, yaitu haji mabrur.” Selanjutnya Aisyah berkata: “Setelah mendengar apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini aku tidak pernah lagi meninggalkan haji.” (HR Bukhari)[6]

Aisyah Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Aku pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan mengenakan ihram untuk melaksanakan haji pada bulan-bulan haji dan pada musim kaji. Sesampainya di desa Saraf (yang terletak sekitar 10 km dari Mekah), Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada para sahabatnya: ‘Barangsiapa di antara kalian yang tidak membawa hewan sembelihan, maka tidak boleh.’ Ketika itu bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada beberapa orang sahabat beliau yang mempunyai hewan sembelihan, tetapi mereka tidak melakukan umrah. Lantas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menemuiku, sementara aku ketika itu sedang menangis. Beliau bertanya: ‘Mengapa kamu menangis?’ Aku menjawab: ‘Aku mendengarmu berkata kepada para sahabatmu apa yang telah kamu katakan itu, ketika kamu melarang mengerjakan umrah.'” Menurut satu riwayat disebutkan bahwa Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, apakah orang-orang kembali dengan dua pahala, sementara aku hanya dengan satu pahala?”[7] Menurut satu riwayat lagi Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah, orang-orang mengerjakan dua ibadah, sementara aku cuma satu ibadah?”[8] Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Memangnya ada apa denganmu?” Aisyah menjawab: “Aku sedang tidak boleh shalat.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Itu tidak jadi soal bagimu dan tidak ada hubungannya dengan masalah putri-putri Adam yang lain. Allah mencatat pahala untukmu seperti yang Dia catat untuk mereka. Karena itu, teruskanlah hajimu. Mudah-mudahan saja Allah memberimu pahala yang penuh.” Aisyah berkata: “Akhirnya aku meneruskan hajiku sampai aku mengerjakan nafar di Mina. Kemudian kami singgah di Muhashshab (oase dekat Mina). Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggil Abdurrahman dan berkata: “Bawalah saudara perempuanmu ini ke tanah Haram dan berihramlah untuk umrah!” (HR Bukhari dan Muslim)[9]

7. Penuturan Aisyah Radhiyallahu ‘Anh tentang Kelebihan Keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Aisyah berkata: “Tidak ada rasa cemburuku terhadap salah seorang istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang melebihi rasa cemburuku terhadap Khadijah, padahal aku tidak pernah melihat (bertemu dengan)nya. Akan tetapi (rasa cemburuku itu timbul karena) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seringkali menyebut-nyebutnya. Bahkan beliau sering menyembelih seekor kambing, lalu memotongnya menjadi beberapa bagian, kemudian mengirimkannya kepada teman-teman Khadijah.” Terkadang aku berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Seolah-olah tidak ada di dunia ini wanita selain Khadijah?’ Beliau berkata: ‘Sesungguhnya dia (adalah wanita yang utama), dan dia (adalah wanita yang bijaksana) dan darinyalah aku mendapatkan anak.'” (HR Bukhari dan Muslim)[10]

Aisyah berkata: “… lalu istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh Zainab binti Jahasy, istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Dialah yang selalu bersaing denganku untuk mengambil tempat di hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Dia memang wanita yang pandai dalam soal agama, sangat takut kepada Allah, bicaranya sangat jujur, suka melakukan silaturrahim, senang memberikan sedekah, serta tidak segan-segan mengorbankan tenaganya untuk amal sedekah dan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Hanya sayangnya, dia adalah wanita yang lekas marah apabila ada sesuatu yang mengganjalnya. Akan tetapi dia cepat pula memaafkan.” (HR Muslim)[11]

Hisyam, dari ayahnya, mengatakan bahwa Hassan bin Tsabit termasuk orang yang berlebihan terhadap Aisyah (menyangkut kasus berita bohong). Ketika aku mencaci maki dia, Aisyah menegurku seraya berkata: “Biarkan saja dia, wahai keponakanku. Sesungguhnya dia adalah orang yang pernah membela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” (HR Bukhari dan Muslim)[12]

Urwah bin Zubair berkata: “… Aisyah tidak suka kalau Hassan bin Tsabit (yang terlibat dalam kasus berita bohong) dicaci maki di hadapanku, dan dia berkata bahwa Hassanlah yang pernah berkata: ‘Sesungguhnya ayahku, orang tua ayahku, dan kehormatanku … siap menjaga kehormatan Muhammad dari serangan kalian.'” (HR Bukhari dan Muslim)[13]

8. Sifat Zuhud dan Pemurah Aisyah Radhiyallahu ‘Anh

Auf bin Thufail, kemenakan Aisyah dari jalur ibu, mengatakan bahwa ada yang bercerita kepada Aisyah bahwa Abdullah bin Zubair berkata mengenai jual beli atau suatu pemberian yang diberikan Aisyah: “Demi Allah, hendaklah Aisyah berhenti melakukannya atau dia akan aku diamkan (tidak aku sapa) selama-lamanya.” Di dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Zubair adalah orang yang paling disenangi Aisyah setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar. Abdullah bin Zubair adalah orang yang paling baik terhadap Aisyah. Aisyah tidak pernah menahan rezeki Allah yang datang kepadanya kecuali dia sedekahkan.[14] Aisyah berkata: “Benarkah Abdullah bin Zubair mengucapkan kata-kata itu?” Para sahabat menjawab: “Benar.” Aisyah berkata: “Demi Allah, aku bernazar tidak akan berbicara dengan Ibnu Zubair selama-lamanya.”

Akhirnya Ibnu Zubair meminta bantuan seseorang untuk menyelesaikan masalahnya dengan Aisyah. Aisyah berkata: “Demi Allah, aku tidak menerima bantuan seseorang untuk menengahi kasus Ibnu Zubair ini dan aku tidak mau melanggar nazarku.” Karena Ibnu Zubair merasa sudah lama sekali tidak bertegur sapa dengan Aisyah, akhirnya dia mencoba berbicara dengan Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman ibnul Aswad bin Abdi Yaghuts. Keduanya adalah dari Bani Zuhrah. Ibnu Zubair berkata kepada mereka: “Demi Allah, aku betul-betul berharap agar kalian bersedia membawaku menemui Aisyah, sebab tidaklah halal (baik) baginya bernazar untuk memutuskan hubungan denganku.” Mereka menerima permintaan Ibnu Zubair. Setelah memakai jubah mereka berangkat menuju rumah Aisyah. Sampai di situ mereka mengucapkan: “Assalamu’alaikom warahmatullahi wabarakatuh, apakah kami boleh masuk?” Aisyah menjawab: “Silakan!” Mereka bertanya: “Apakah semua kami?” Aisyah menjawab: “Ya, silakan masuk semuanya!” Sementara Aisyah tidak tahu bahwa bersama mereka ada Ibnu Zubair. Setelah mereka masuk, Ibnu Zubair segera masuk menembus hijab pembatas dan langsung mendekati Aisyah, dan sambil menangis dia meminta Aisyah memaafkannya. Demikian pula halnya dengan Miswar dan Abdurrahman. Mereka terus memohon Aisyah agar mau berbicara dan menerima kedatangan Ibnu Zubair, dan mereka mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti yang kalian ketahui, melarang pemutusan tegur sapa, dan tidaklah halal (boleh) bagi seorang muslim tidak bertegur sapa dengan saudaranya lebih dari tiga hari. Setelah mereka berbicara panjang lebar untuk mengingatkan dan mendesak Aisyah, akhirnya sambil menangis Aisyah berkata: “Sesungguhnya aku sudah bernazar dan nazarku itu sangat berat.” Tetapi mereka tetap bersikeras meminta dan mendesak Aisyah sehingga akhirnya Aisyah bersedia berbicara dengan Ibnu Zubair. Untuk menebus nazarnya itu, dia memerdekakan empat puluh orang budak. Ketika ingat akan nazarnya itu setelah kejadian tersebut, Aisyah menangis sehingga air matanya bercucuran membasahi kerudungnya.” (HR Bukhari)[15]

9. Sifat Wara Aisyah Radhiyallahu ‘Anh

Amr bin Maimun Al Audi berkata: “Aku melihat Umar ibnul Khattab Radhiyallahu ‘Anh berkata: ‘Wahai Abdullah bin Umar, pergilah ke tempat Ummul Mukminin, Aisyah Radhiyallahu ‘Anh, dan katakanlah kepadanya bahwa Umar ibnul Khattab menyampaikan salam, kemudian tanyakan kepadanya bagaimana kalau aku dimakamkan bersama kedua sahabatku (yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar).’ Aisyah berkata: ‘Sebenarnya aku ingin tempat itu untukku. Tetapi hari ini biarlah aku mengalah untuk mengabulkan permintaan Umar.’ Setelah kembali kepada ayahnya, Umar bertanya kepada Abdullah: ‘Apa berita yang kamu bawa?’ Abdullah bin Umar menjawab: ‘Wahai Amirul Mukminin, Aisyah mengizinkannya untukmu.” Umar ibnul Khattab berkata: “Tidak satu pun yang lebih penting bagiku sekarang selain tempat berbaring di dekat kedua sahabatku itu. Apabila nyawaku sudah dicabut, maka kalian bawalah aku kepada Aisyah dan ucapkanlah salam kepadanya, kemudian katakan: ‘Umar ibnul Khattab meminta izin dan seandainya dia (Aisyah) mengizinkan, maka kuburkanlah aku di sana, dan jika tidak, maka bawalah aku kembali ke pemakaman kaum muslimin.'” (HR Bukhari)[16]

Ibnu Abi Malikah berkata: “Ibnu Abbas meminta izin menjenguk Aisyah sebelum dia meninggal dunia, yaitu ketika Aisyah sedang sekarat. Aisyah berkata: ‘Aku khawatir kalau aku dipuji …’ Berikutnya masuk Ibnu Zubair. Lalu Aisyah berkata: ‘Ibnu Abbas masuk, lalu dia memujiku. Sebenarnya aku ingin menjadi orang yang dilupakan dan terlupakan.'” (HR Bukhari)[17]

Dari Aisyah dikatakan bahwa dia berkata kepada Ibnu Zubair: “Kuburkanlah aku bersama sahabat-sahabatku (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), dan janganlah aku dikuburkan bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebab aku tidak suka kalau diriku dipuji-puji.” (HR Bukhari)[18]

Keberanian Aisyah

Jika sikap Aisyah ketika Perang Uhud yang ketika itu dia ikut melayani pasukan, memanggul girbah air di atas punggungnya, sedangkan waktu itu dia baru berusia sebelas tahun, maka sekarang mari kita perhatikan pula bagaimana sikapnya pada waktu terjadinya Perang Khandaq setelah dia berusia dua belas tahun. Aisyah berkata: “Pada hari terjadinya Perang Khandaq, aku keluar mengikuti jejak pasukan Islam. Tiba-tiba aku mendengar deru suara hentakan kaki di bumi. Ketika menoleh, ternyata aku melihat ada Sa’ad bin Mu’adz datang bersama keponakannya, Harits bin Aus yang memakai perisai. Aku segera duduk di tanah. Maka lewatlah Sa’ad yang ketika itu memakai baju besi. Ujung-ujung baju besinya terlihat terlepas. Sambil berjalan Sa’ad melantunkan syair rajaz yang bunyinya seperti berikut:

Semoga untukku merasakan sedikit bagaimana rasanya perang…

Alangkah indahnya bila tiba ajal

Aku berdiri, lalu bergegas masuk taman. Ternyata di situ sudah ada sekumpulan orang Islam, di antaranya Umar ibnul Khattab, dan salah seorang dari mereka adalah laki-laki yang memakai topi baja. Umar berkata kepadaku: ‘Mengapa kamu datang ke sini? Astaghfirullah, kamu ini betul-betul nekad. Siapa yang bisa melindungimu kalau tiba bencana atau tempat ini tiba-tiba berubah menjadi kancah peperangan?'”Aisyah berkata: “Umar terus mengata-ngataiku, sehingga aku berharap kiranya bumi ini terbelah, lalu aku terperosok ke dalamnya.” Selanjutnya Aisyah berkata: “Lalu laki-laki yang memakai topi baja tadi mengangkat topi baja yang menutupi mukanya. Rupanya dia adalah Thalhah bin Ubaidillah. Thalhah berkata: “Wahai Umar, kamu sudah terlalu banyak berbicara kepadanya. Kemana lagi mau pergi atau lari selain kepada Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia?” Aisyah berkata; “Lalu salah seorang laki-laki musyrik dari kalangan Quraisy, namanya Ibnul Irqah, membidik Sa’ad dengan anak panahnya. Ibnul Irqah berkata kepada Sa’ad: “Terimalah ini olehmu. Aku adalah Ibnul Irqah.” Ibnul Irqah membidik tepat pada lengan Sa’ad sehingga memutuskan urat nadinya. Lantas Sa’ad memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seraya memohon: “Ya Allah, janganlah Engkau matikan aku hingga hatiku senang membalas Bani Quraizhah.” Aisyah berkata; “Mereka dahulunya adalah sekutu pada zaman jahiliah.” Kemudian Aisyah berkata; “Kemudian darah luka Sa’ad berhenti mengalir. Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan angin topan ke arah orang-orang musyrik, sehingga orang-orang mukmin memenangkan peperangan tersebut. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (HR Ahmad)[19]

Umar ibnul Khattab berkata bahwa dia datang menemui Hafshah, lalu berkata: “Wahai putriku, sesungguhnya kamu sudah membuat ulah terhadap Rasulullah sehingga membuat beliau murung seharian.” Hafshah berkata: “Memang benar, kami telah membuat ulah terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” Aku (Umar) berkata: “Bukankah kamu sudah tahu bahwa aku pernah memperingatkanmu dari siksa Allah dan murka Rasulullah? … Kemudian Umar menemui Aisyah dan berkata: “Wahai putri Abu Bakar, sudah cukupkah kamu dalam menyakiti Rasulullah?” Aisyah menjawab: “Apa urusanmu denganku, wahai putra Al Khattab? Urus sajalah aibmu sendiri (maksudnya aib putrimu sendiri).” (HR Muslim)[20]

Abu Maryam (yaitu) Abdullah Ibnu Ziyad Al Asadi berkata: “Ketika Thalhah, az-Zubair, dan Aisyah berangkat menuju Bashrah, Ali mengutus Ammar bin Yasir dan Hasan bin Ali. Lalu kedua orang ini datang kepada kami di Kufah, lalu keduanya naik mimbar. Hasan bin Ali berada di mimbar paling atas, sementara Ammar berdiri di tempat yang lebih rendah daripada Hasan. Kami berkumpul ke tempat Hasan. Lalu aku mendengar Ammar berkata: ‘Sesungguhnya Aisyah sudah berangkat ke Bashrah, dan demi Allah, dia adalah istri Nabi kalian baik di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji kalian apakah kepada-Nya kalian taat atau kepada Aisyah.”‘ (HR Bukhari)[21]


[1] Muslim, Kitab: Thaharah, Bab: Ketentuan waktu mengusap sepatu, jilid 1, hlm . 160.

[2] Bukhari, Kitab: Bab-bab amalan dalam shalat, Bab: Apabila ada yang mengajak bicara, sementara dia dalam keadaan shalat, maka hendaklah dia memberi isyarat dengan tangannya dan mendengarkan, jilid 3, hlm. 347. Muslim, Kitab: Shalat orang musafir dan mengqasharnya, Bab: Mengetahui dua rakaat yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seusai shalat asar, jilid 2, hlm. 210.

[3] Bukhari, Kitab: Minuman, Bab: Keringanan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai meletakkan tuak dalam bejana dan kantong setelah adanya pelarangan, jilid 12, hlm. 161.

[4] Bukhari, Kitab: Jihad, Bab: Kaum wanita berperang dan bertempur bersama kaum pria, jilid 6, hlm. 418. Muslim, Kitab: Jihad, Bab: Kaum wanita berperang bersama kaum pria, jilid 5, hlm. 196.

[5] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Haji kaum wanita, jilid 4, hlm. 445.

[6] Bukhari, Kitab: Jihad, Bab: Keutamaan berjihad dan berperang, jilid 6, hlm. 344.

[7] Muslim, Kitab: haji, Bab: Keterangan mengenai macam-macam ihram, jilid 4, hlm. 34.

[8] Bukhari, Kitab: Haji, bab: pahala umrah menurut kesusahan yang dihadapi, jilid 4, hlm. 360. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Keterangan mengenai macam-macam ihram, jilid 4, hlm. 32.

[9] Bukhari, Kitab: Haji, Bab: Orang yang mengerjakan umrah apabila dia thawaf untuk umrah, jilid 4, hlm. 361. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Keterangan mengenai macam-macam ihram, jilid 4, hlm. 31.

[10] Bukhari, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Bab: Perkawinan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Khadijah dan keutamaan Khadijah, jilid 8, hlm. 136. Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Keutamaan Khadijah Ummul Mukminin, jilid 7, hlm.l34.

[11] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Keutamaan Aisyah Radhiyallahu ‘Anh, jilid 7, hlm 135.

[12] Bukhari, Kitab: Hadits-hadits mengenai para Nabi. Bab: Orang yang tidak ingin keturunannya dimaki, jilid 7, hlm. 364. Muslim, Kitab Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Keutamaan-keutamaan Hasan bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anh, jilid 7, hlm. hlm. 163.

[13] Bukhari, Kitab: Peperangan, Bab: Berita bohong, jilid 8, hlm. 437. Muslim, Kitab: Tobat, Bab berita bohong dan diterimanya tobat si penuduh, jilid 8, hlm. 118.

[14] Bukhari, Kitab: Hadits-hadits mengenai para nabi, Bab: manaqib orang Quraisy, jilid 7, hlm. 347.

[15] Bukhari, Kitab: Adab, Bab: Tidak bertegur sapa dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tiada halal bagi orang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan temannya lebih dari tiga hari,” jilid 13, hlm. 104.

[16] Bukhari, Kitab: Jenazah, Bab: Apa yang disebutkan mengenai kubur Nabi saw, Abu Bakar, dan Umar Radhiyallahu ‘Anh, jilid 3, hlm. 501.

[17] Bukhari, Kitab: Tafsir, bab: Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan mengapa kamu tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini.’, jilid 10, hlm. 100.

[18] Bukhari, Kitab: Berpegang teguh kepada Kitab dan Sunnah, Bab: Apa yang disebutkan secara khusus oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai kesepakatan para ilmuwan, jilid 17, hlm. 69.

[19] Lihat Silsilah Al Ahaadits ash-Shahihah, no. 67.

[20] Muslim, Kitab: Thalak, Bab: Masalah ila’dan menjauhi istri, jilid 4, hlm. 188.

[21] Bukhari, Kitab: Bencana, Bab: Utsman bin Haitsam menceritakan kepada kami, jilid 16, hlm. 167.