1. Ikut Berbai’at
Ummu Athiyyah berkata: “Kami melaan ayat bai’at kepada kami (yaitu alla yusrikna billahi syai’aa) dan beliau melarang kami dari meratap. Lantas seorang wanita menggenggam tangannya sendiri seraya berkata: ‘Si fulanah telah membuatku bahagia (karena ikut meratap bersamanya). Aku ingin membalasnya.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengatakan apa-apa kepadanya. Lalu wanita itu pergi, kemudian kembali lagi, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membai’atnya.'” (HR Bukhari)[1]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Jawaban yang paling dekat adalah bahwa meratap itu dahulunya diperbolehkan, kemudian dimakruhkan. Pertama makruhnya bersifat tanzih (pembersihan), kemudian berubah menjadi tahrim (pengharaman). Wallahu a’lam.”[2]
2. Penuh Perhatian terhadap Rumah Tangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Ummu Athiyyah berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui Aisyah Radhiyallahu ‘Anh, lalu berkata: “Apakah kalian mempunyai sesuatu?” Aisyah menjawab: “Tidak ada selain sedikit dari Ummu Athiyyah dari kambing yang engkau kirimkan kepadanya sebagai sedekah.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Kambing itu telah mencapai kehalalannya (hukum sedekah hilang darinya dan menjadi halal bagi saya).” (HR Bukhari dan Musim)[3]
Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk kepada kami ketika kami sedang memandikan putri beliau yang wafat. Beliau berkata: ‘Mandikanlah tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu dengan air dan daun bidara, dan terakhir berilah kapur barus. Setelah kalian selesai, beri tahulah aku!’ Ketika kami telah selesai, kami memberitahu beliau. Lalu beliau memberikan kain beliau seraya berkata: ‘Pakaikanlah kepadanya (lapisan dalam yang langsung membalut tubuhnya untuk mendapatkan berkahnya)!’ Dalam satu riwayat, beliau berkata: ‘Mulailah memandikannya dengan anggota-anggota badannya yang bagian kanan dan anggota-anggota wudhunya.”‘ (HR Bukhari dan Muslim)[4]
3. Ikut Berjihad
Hafshah binti Sirin berkata: “… lalu datang seorang wanita yang singgah di istana Bani Khalaf dan aku datang menemuinya. Wanita itu menceritakan kepadaku bahwa suami saudara perempuannya –Ummu Athiyyah– ikut berperang bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebanyak dua belas kali. Sementara saudara perempuannya (Ummu Athiyyah) ikut bersamanya dalam enam kali peperangan. Dia mengatakan: ‘Kami bertugas merawat orang-orang sakit dan mengobati orang-orang yang terluka.’… Ketika Ummu Athiyyah datang, aku langsung menanyakannya …” (HR Bukhari)[5]
Dari Hatshah binti Sirin, dari Ummu Athiyyah Al Anshariyyah, dia berkata: “Aku ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebanyak tujuh kali. Aku selalu ditempatkan di bagian belakang. Akulah yang membuat makanan untuk mereka, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.” (HR Muslim)[6]
Demikianlah, Ummu Athiyyah ikut berperang sebanyak tujuh kali bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan enam kali diantaranya ditemani suaminya.[7]
4. Memahami Sunnah
Hafshah Radhiyallahu ‘Anh berkata: “Kami biasanya melarang anak-anak gadis kami keluar menghadiri kedua shalat hari raya … Ketika aku datang kepada Ummu Athiyyah, aku tanyakan kepadanya: ‘Apakah kamu pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (memperbolehkan anak-anak gadis pergi menghadiri dua hari raya)?’ Ummu Athiyyah menjawab: ‘Demi bapakku, benar, aku pernah mendengar hal itu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau bersabda: “Anak-anak gadis, perempuan-perempuan yang dipingit, dan wanita haid boleh keluar serta hendaklah mereka menyaksikan (hari) baik dan khotbah nasihat kaum muslimin. Tetapi wanita haid harus menghindari tempat shalat.'” Hafshah berkata: ‘Aku bertanya apakah wanita haid (juga boleh)?’ Ummu Athiyyah berkata: ‘Bukankah (wanita haid) boleh menghadiri Arafah, ini dan itu?”‘ (HR Bukhari)[8] Dari Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘Anh, dia berkata: “Kami dilarang mengiringi jenazah, tetapi larangannya tidak tegas.” (HR Bukhari dan Muslim)[9]
5. Dalam Kesedihan Tetap Mematuhi Syariat
Ibnu Sirin berkata: “Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘Anh –seorang wanita Anshar yang ikut berbaiat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam– datang (dari Madinah). Dia datang ke Bashrah untuk menjumpai anaknya, tetapi dia tidak menemukannya … Menurut sebuah riwayat[10]: ‘Putra Ummu Athiyyah meninggal dunia. Setelah tiga hari, dia meminta wewangian yang berwarna kuning, lalu dia usapkan ke tubuhnya. Dia berkata: “Kita (kaum wanita) dilarang berkabung lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami.'” (HR Bukhari)[11]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Putra Ummu Athiyyah ini tidak aku kenal namanya. Tampaknya dia ikut berperang, kemudian dia datang ke Bashrah. Berita kedatangannya ke Bashrah ini didengar oleh Ummu Athiyyah yang ketika itu berada di Madinah. Konon putra Ummu Athiyyah ini sedang sakit. Akhirnya Ummu Athiyyah segera berangkat untuk menemuinya. Tapi sayang, putranya meninggal dunia sebelum dia sempat menemuinya.”[12]
6. Memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Kalimat Khusus
Hafshah binti Sirin berkata: “Setiap Ummu Athiyyah berbicara dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia selalu memulai dengan mengatakan demi bapakku.” (HR Bukhari)[13]
[1] Bukhari, Kitab: Tafsir, Bab: “Apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk berba’at”, jilid 10 hlm. 262.
[2] Fathul Bari, jilid 10, hlm. 263.
[3] Bukhari, Kitab: Hibah, keutamaan dan anjuran untuk melaksanakannya, Bab: Menerima hadiah, jilid 6, hlm. 131. Muslim, Kitab: Zakat, Bab: Diperbolehkan memberikan hadiah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam., jilid 3, hlm. 120.
[4] Bukhari, Kitab: Jenazah, Bab: Apa yang disunnatkan membasuhnya dengan hitungan ganjil, jilid 3, hlm. 372. Muslim, Kitab: Jenazah, Bab: Mengenai memandikan mayit, jilid 3, hlm. 47.
[5] Bukhari, Kitab: Dua hari raya, Bab: Apabila seorang wanita tidak mempunyai baju kurung pada hari raya, jilid 3, hlm. 122.
[6] Muslim, Kitab: Jihad dan peperangan, Bab: Wanita-wanita yang ikut berperang diberi bagian dari ghanimah, jilid 5, hlm. 199.
[7] Riwayat Bukhari yang lengkap menetapkan bahwa saudara perempuan dari wanita yang singgah di istana Bani Khalaf itulah yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. mengenai wanita yang tidak memiliki baju kurung tersebut. Sementara riwayat Muslim, jilid 3, hlm. 21, menetapkan bahwa Ummu Athiyyah-lah yang menyodorkan pertanyaan tersebut.
[8] Bukhari Kitab: Haid, Bab: Wanita haid ikut menyaksikan acara shalat id dan doa kaum muslimin, tetapi agak menjauh dari tempat shalat, jilid 1, hlm. 439.
[9] Bukhari, Kitab: Jenazah, Bab: Wanita mengiringi jenazah jilid 3, hlm. 387. Muslim, Kitab: Jenazah, bab: Larangan bagi wanita mengiringi jenazah, jilid 1, hlm. 47.
[10] Bukhari, Kitab: Jenazah, Bab: Seorang wanita berkabung untuk selain suaminya jilid 3, hlm. 388.
[11] Bukhari, Kitab: Jenazah, Bab: Bagaimana cara memberi pakaian mayit yang bagian dalam, jilid 3, hlm. 375.
[12] Fathul Bari, jilid 3, hlm. 370.
[13] Bukhari, Kitab: Haid, Bab: Wanita haid ikut menyaksikan acara shalat ‘id dan doa kaum muslimin, tetapi agak menjauh dari tempat shalat, jilid 1, hlm. 439.