Adapula orang-orang yang disebut Ashabul A’zaar (pemilik uzur) untuk tidak berpuasa. Yaitu mereka yang telah memiliki syarat wajib, namun memiliki alas an untuk tidak berpuasa. Karenanya, walaupun dibolehkan tidak berpuasa, mereka tetap diharuskan mengqadhanya atau membayar fidyah di hari yang lain sesuai jenis uzurnya.
Beberapa uzur tersebut adalah;
1. Sakit yang ada harapan sembuh
Orang sakit, jika khawatir dengan bepuasa akan semakin lama sembuhnya atau semakin bertambah sakitnya atau dirinya merasa sangat berat menjalaninya, maka dia memiliki uzur untuk tidak berpuasa. Boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya di kemudian hari, jika sakit yag dideritanya termasuk sakit yang ada kemungkinan sembuh.
2. Safar
Orang yang melakukan safar dalam jarak yang membolehkannya untuk melakukan qashar shalat, maka dia juga memiliki uzur untuk tidak berpuasa. Boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya di kemudian hari. Kedua uzur di atas dilandasi oleh firman Allah Ta’ala, “Maka, siapa di antara kalian ada yang sakit atau safar (lalu berbuka), maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
3. Orang tua renta dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh
Orang yang sanga tua renta sehingga sulit baginya berpuasa, begitu pula orang sakit yang diperkirakan tidak dapat sembuh berdasarkan informasi terpercaya dan dengan sakit tersebut sulit baginya berpuasa, maka kedua jenis orang ini juga memiliki uzur untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Sebagai gantinya adalah membayar fidyah, yaitu mengeluarkan setengah sha’ (kurang lebih seliter seperempat) makanan pokok (beras atau gandum, dll) untuk setiap hari puasa Ramadhan yang ditinggalkan dan diberikan kepada orang miskin.
Inilah kesimpulan yang dtetapkan shahabat dan para ulama berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika dia tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
4. Haid dan nifas
Wanita yang haid dan nifas tidak wajib berpuasa, bahkan mereka dilarang berpuasa.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Bukankah jika dia (wanita) sedang haid, dia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah kekurangannya dalam agama.” (HR. Bukhari)
Wanita tersebut diwajibkan mengqadha puasanya sebanyak hari yang ditinggalkan. Sebagaimana ucapan Aisyah ra,
“Kami mengalami haid pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian kami suci. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk mengqadha puasa dan beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqadha shalat.” (HR. Tirmizi dan Nasa’i)
5. Wanita Hamil dan Menyusui
Para ulama menyebutkan bahwa wanita hamil dan menyusui, jika berat baginya untuk berpuasa, baik kekhawatirannya bersumber terhadap dirinya atau janinnya, maka dia termasuk orang yang memiliki uzur untuk tidak berpuasa. Para ulama umumnya mengaitkan kondisi mereka dengan orang sakit yang tidak kuat berpuasa. Maka konsekuensinya, jika mereka tidak berpuasa adalah mengqadhanya di hari lainnya. Adapula pendapat yang mengaitkan mereka dalam penafsiran surat Al-Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas, sehingga mereka hanya diwajibkan membayar fidyah.
Akan tetapi pendapat yang mewajibkan mereka untuk mengqadha puasa yang ditinggalkannya, lebih kuat.