Perbedaan yang berkaitan dengan penerapan dalil hukum dan ihwal memasukkan persoalan sektoral dalam lingkup kaidah umum yang mencakupnya, pada dasarnya termasuk jenis khilaf furu’ yang tidak boleh ada penilaian buruk orang yang berbeda pendapat tentangnya, juga tidak boleh ada penilaian cacat dalam agama dan keadilannya. Demikian itu karena hal ini lebih banyak berhubungan dengan pengetahuan tentang realitas daripada pengetahuan tentang ilmu syariat. Perbincangan harus berdasar argumentasi ilmiah. Karenanya, barang siapa melihat kebenaran pada salah satu dari dua pendapatnya, ia harus mengikutinya. Sebalinya, jika seseorang menganggap lebih kuat pendapat lain, baik dengan ijtihad kalau ia termasuk ahli ijtihad, atau dengan taklid –jika tergolong orang awam- kepada orang yang ia percaya dalam agama dan ilmunya, maka ini pun tidak punya cela baginya.
Imam Syathibi –rahimahullah- ketika membicarakn ijtihad dari jenis ini, berkata, “Adapun yang pertama, yakni ijtihad yang berkaitan dengan tahqiq al manath, adalah ijtihad yang para imam tidak ada perbedaan tentang diterimanya. Arti dari tahqiq al-manath adalah bahwa suatu hukum telah ditetapkan dengan landasan syar’inya, tinggal bagaimana menerapkan hukum itu pada objeknya. Misalnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan persaksikanlah kepada dua orang adil di antara kalian.” Makna adil secara syar’i telah jelas bagi kita. Kita hanya membutuhkan kejelasan siapa yang memenuhi sifat ini, sementara umat manusia tidaklah sama tingkat keadilannya, dan perbedaan ini demikian nyata.
Jika kita perhatikan orang-orang yang memiliki sifat adil, kita akan menjumpai merela dalam tiga tingkatan. Tingkatan tertinggi, tidak ragu lagi, adalah seperti Abu Bakar Sidiq. Tingkatan yang lain terendah yaitu diambang keluar dari kriteria sifat adil, seperti orang yang telah melampaui batas hingga masuk tingkatan kekafiran dan tidak patut lagi disebut sekedar beragama Islam, apalagi para pelaku dosa besar yang telah dikenai hukuman had. Diantara dua tingkatan itu terdapat ragam tingkatan yang tidak terhitung, dan yang ada di pertengahan inilah yang samar. Untuk mernentukannya, seseorang harus mencapai batas kesanggupannya, yaitu ijtihad.”[6]
Imam Syatibi menjelaskan perlunya ijtihad dalam hal ini secara detail. Ia berkata, “Untuk itu cukuplah bagi Anda sebuah realitas bahwa syariat tidak menetapkan teks dalil perihal hukum setiap kasus secara tersendiri, akan tetapi ia datang dengan dalil-dalil global dan redaksi hukum yang bersifat mutlak dan mengakomodasi berbagai kasus yang tak terbatas jumlahnya. Walaupun demikian, setiap kasus memiliki karakternya sendiri yang tidak ada pada kasus yang lain, walaupun mungkin berjenis serupa. Keistimewaan yang ada pada suatu kasus tidak kemudian secara mutlak menjadi pertimbangan untuk menolak suatu hukum. Akan tetapi, ia terbagi menjadi dua sisi. Di antara dua sisi itu ada sisi ketiga yang memiliki kedekatan dengan dengan masing-masing dari keduanya. Karenanya, tidaklah tersisa suatu persepsitentang kasus kecuali bahwa seorang ulama pasti memiliki pandangannya, baik pandangan mudah maupun sulit, sampai ia mendapatkan suatu dalil yang bisa dijadikan argumentasi. Itu karena, jika ia mengambil serta merta dari kedua sisi, maka persoalannya menjadi lebih sulit. Ini semua jelas bagi orang yang mendalam ilmunya.”[7]
Ia –rahimahullah- menegaskan bahwa keterkaitan ijtihad jenis ini dengan realitas lebih banyak daripada keterkaitannya dengan ilmu syariat, karena itu ia tidak mensyaratkan adanya pengetahuan tentang tujuan-tujuan syariat, tidak bahasa Arab, tidak pula syarat-syarat lain yang dibutuhkan oleh jenis ijtihad lain, yakni ijtihad untuk menemukan hukum-hukum syariat.
Ia mengatakan, “Kadang-kadang suatu ijtihad berkaitan dengan tahqiq al manath. Untuk itu, tidak dibutuhkan pengetahuan tentang maksud dari Pembuat syariat, sebagaimana ia juga tidak butuh pengetahuan tentang bahasa Arab. Sebab yang dituju dari ijtihad ini adalah mengetahui objek hukum sesuai keadaan yang sebenarnya. Yang dibutuhkan hanyalah pengetahuan tentang sesuatu, yang tanpa dengannya sesuatu itu tidak bisa diidentifikasi. Jadi, tujuan utamanya mengetahui objek hukum itu sendiri. Maka dari itu, seorang mujtahid harus mengetahui dan mampu berijtihad tentang kasus yang ia teliti agar ia bisa menetapkan hukum sesuai realitasnya. Misalnya, ahli hadits yang mengetahui ihwal sanad dan jalurnya, derajad shahih dan dhaifnya, dan kemungkinan suatu matan bisa dijadikan argumentasi atau tidak. Semua itu tergolong dalam ijtihad dalam bidang yang ia tekuni, baik ia mengetahui bahasa Arab maupun tidak, baik ia mengetahui maksud dari Pembuat syariat maupun tidak.”[8]
Syeikh Abdullah Darraz memberikan suatu contoh untuk itu. Mengomentari kitab Al Muwafaqat karya Imam Syathibi ia berkata, “Untuk menambah kejelasan, ambillah satu contoh ini. Dalam hukum syariat, orang sakit yang menjadi lebih parah sakitnya atau terhambat kesembuhannya jika terkena air, ia mendapat dispensasi untuk melakukan tayamum. Jika kita ingin mengetahui hukum syariat yang berlaku bagi si sakit untuk bisa mendapatkan dispensasi atau tidak, kita tidak perlu pengetahuan bahasa Arab, tidak perlu pengetahuan tentang tujuan-tujuan syariat dalam bab tayamum, apalagi bab-bab yang lain. Kita harus berusaha mengetahui keadaan yang mengantarkan kepada suatu kesimpulan, apakah akan muncul suatu bahaya sehingga hukum dapat diwujudkan atau tidak akan terjadi bahaya sehingga hukum tidak perlu diterapkan. Ini semua tidak ada urusannya dengan bahasa Arab atau tujuan syariat, sebab bisa diketahui dari pengalaman pribadi, pengalaman orang-orang semisalnya, atau dengan keterangan dokter yang berpengalaman.”[9]
Ketika membahas secara detail tentang tsawabit dan mutaghayirat dalam berbagai persoalan amal islami, aka nada bentuk penerapan konkret prinsip-prinsip ini dan bagaimana ia berperan memecahkan banyak fitnah yang bertaburan di tubuh gerakan Islam karena ketidakmampuan sebgian orang yang menjadi pendukungnya membedakan antara hukum syariat dengan penerapannya pada kasus-kasus tertentu. Jika yang pertama bersifat qath’i, maka tidak secara otomatis pada tingkat penerapannya demikian.
Berikut adalah beberapa contohnya.
- Haramnya khamr adalah qath’iy (pasti), bahkan tergolong salah satu prinsip agama yang diketahui. Alasan pengharamannya, yaitu memabukkan, juga qath’iy. Akan tetapi, penerapan hukum ini pada kasus tertentu bisa saja bersifat zhaniy (dugaan) dan memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.
- Menolak hukum syariat adalah kufur, dan itu termasuk ketetapan agama yang telah jelas bagi semua. Akan tetapi, penerapan hukum ini pada person tertentu bisa bersifat zhaniy. Yakni, apakah pada satu perilaku tertentu telah terjadi praktik penolakan syariat ataukah belum.
- Prinsip bahwa orang yang dipaksa atau dalam keadaan tidak tahu tidak menjadi pertimbangan diberlakukannya suatu hukum adalah qath’i. akan tetapi, implementasinya dalam suatu kasus tertentu bisa bersifat zhaniy karena pemaksaan itu bertingkat-tingkat dan ketidaktahuan juga bermacam-macam. Berikutnya, bagaimana kondisi yang melingkupi orang yang tidak tahu itu perlu dijadikan pertimbangan atau tidak. Dalam hal seperti ini terdapat peluang adanya dugaan.
Bersamaan dengan itu, kami tidak mengingkari adanya realitas kasus yang sangat jelas sehingga tahqiq al manath dapat diterapkan secara penuh kepadanya, dan tidak ada seorang pun berakal yang berbeda pendapat tentangnya. Pada kasus seperti ini tidak seyogianya melahirkan pertentangan dan perbedaan pendapat. Pertentangan dan perbedaan pendapat terjadi ketika ada ketidakjelasan kasus atau adanya kasus yang berada di antara dua kutub, di mana kutub yang satu bisa diterapkan tahqiq al manath secara mudah, sedangkan kutub yang lain dipastikan tidak mungkin diterapkannya. Dalam hal ini harus ada pengetahuan yang luas dan itu ada dalam wilayah ijtihad, seperti ditegaskan Imam Syathibi.