Kita dan Pertanyaan-pertanyaan Yang Mereka Ajukan

Pendahuluan

Pertanyaan adalah sesuatu yang –mungkin-setiap saat diajukan orang kepada kita. Semakin meninggi, semakin banyak pertanyaan. Semakin matang, semakin sulit pertanyaan yang diajukan orang lain kepada kita. Wajar. Normal.

Tapi tak semua pertanyaan adalah pertanyaan. Kadang ada yang merupakan ‘pertanyaan’. Pertanyaan itu diajukan orang kepada kita bukan untuk bertanya. Lalu bagaimana jika itu yang terjadi?

Mungkin ada baiknya kita tadabbur ayat berikut ini:

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”﴾ Al A’raf:187 ﴿

Ada sedikit ulasan yang berkaitan dengan Da’i, pertanyaan, dan tipuan.

Da’i itu pengajak pada kebaikan. Siapapun. Dia tak selalu berdekatan maknanya dengan simbol tertentu. Maka, tulisan ini untuk semua da’i. tulisan ini untuk semua kita yang mengajak kepada kebaikan.

Kita dan Pertanyaan-pertanyaan Yang Mereka Ajukan

Ayat ini turun berkaitan dengan pertanyaan kaum musyrikin dan komunitas Yahudi kepada Nabi Muhammad tentang kiamat.

Mengapa mereka bertanya?

Sebagiannya karena mengejek dan sebagian karena menguji. Bagi kaum Musyrik, kiamat itu tak ada definisinya. Maka pertanyaan itu adalah semacam ejekan. Bagi komunitas Yahudi, pertanyaan itu lebih merupakan pengujian kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bagaimana Rasul menjawab?

Pada intinya rasulullah tidak tahu tentang kiamat. Hal ikhwal kiamat itu ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Frasa “Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah” yang digunakan di ayat ini bukanlah sebuah frasa yang berkaitan dengan tata krama keagamaan. Ini bukan basa-basi. Ini memang jawaban substantive. Memang tidak ada ilmu tentang kiamat. Dan Rasulullah menjawab dengan cara yang diperintahkan Allah kepadanya.

Bagaimana cara mereka bertanya?

Cara mereka bertanya tergambar dalam firmannya yang diartikan ‘Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya.’. Dalam teks aslinya ; حَفِىٌّ كَأَنَّكَ يَسْـَٔلُونَكَ (yasalunaka kaannaka hafiyyun). Ada kata حَفِىٌّ (hafiyyu).

Kata حَفِىٌّ (hafiyyu) ada juga di firmanNya ;

“Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu.” ﴾ Muhammad:37 ﴿

Dan,

“Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.”﴾ Maryam:47 ﴿

Dengan variasi penggunaan kata حَفِىٌّ (hafiyyu) tersebut dapat dimengerti jika kata حَفِىٌّ (hafiyyu) berarti, dekat, akrab, sangat baik, dan mendesak.

Quraish Shihab dalam Al Misbah-nya menulis bahwa asbabun nuzul ayat Al A’raf ; 187 itu karena kerabat Nabi dari Quraish mendesak Nabi, dengan memanfaatkan kedekatannya dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Jadi, bagaimana cara mereka bertanya tentang kiamat? Cara mereka bertanya adalah dengan cara mendesak, sok dekat, merasa akrab, dan menciptakan kesan sangat akrab. Mereka bertanya dengan cara itu tentang sesuatu yang tidak mereka percayai atau tentang sesuatu yang lebih merupakan ejekan. Bayangkanlah. Mereka bertanya tentang sesuatu yang tidfak mereka percaya atau sesuatu yang mereka jadikan bahan ejekan dengan cara yang seperti itu.

Terakhir, bagaimana sikap manusia kebanyakan tentang kiamat?

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘kebanyakan manusia tidak mengetahui.’. Tidak mengetahui apa? Jika soalnya soal tidak mengetahui waktunya, semua orang mengetahui bahwa kiamat itu tak diketahui dengan pasti kapan akan terjadi. Ketidaktahuan banyak orang itu justru tercermin dari fenomena sok tahu manusia tentang kiamat. Ada yang menghitung dengan ini, ada yang menggunakan kalender itu, ada suku anu, dan ada etnis ini. seakan semua itu cara menentukan kiamat. Kebanyakan manusia justru tidak tahu kiamat dari cara kita yang sok tahu.

Penutup

Da’i itu memang selapis lebih lebih siap dari mad’u. seharusnya lebih sigap, lebih kuat, lebih determinative. Sehingga wajar jika dia menjadi rujukan dan curhatan. Tapi –dengan tulisan ini- saya ingin mengingatkan bahwa kadang ada situasi yang menyulitkan Da’i untuk menjawab tidak tahu. Ketika itu terjadi, seorang Da’i jadi cenderung berakrobat dan sok tahu.

Kadang pertanyaan yang mengandung unsur pelecehan, ngetest, menguji, olok-olok, dan semacamnya disampaikan dengan cara yang sangat menyanjung seorang Da’i. semoga Allah memudahkan urusan kita. Aamiin,..,

Da’i itu pengajak pada kebaikan. Siapapun. Dia tak selalu berdekatan maknanya dengan symbol tertentu. Maka, tulisan ini untuk semua da’i. Tulisan ini untuk semua kita yang mengajak kepada kebaikan.

Bantul, 30 Oktober 201