Klaim

Otong, Atok, dan Udin masih memanjat batang pinang yang licin, bercampur oli dan keringat, dengan bendera, kembang gula, dan beberapa barang elektronika di pucuknya.

Hari ini, Indonesia yang ringkih masih tetap melucu dan berazam untuk terus memperpanjang kelucuannya. Ini bukan (saja) karena sebelum jadi presiden kelima, ia dulu pernah menulis kata pengantar bagi buku Mati Ketawa Cara Rusia dengan menuliskan, “Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan“.

Ini semata soal kelucuan yang sukar dijelaskan. Bangsa yang begitu tabah, harus mengeluarkan uang begitu besar untuk masuk sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, sementara Pakistan yang amat miskin saja tak mengenal kelucuan tersebut. Ia harus menjual apa saja untuk membayar kesehatannya, padahal Malaysia dan Mesir membuat semua itu gratis.

Ia mengkredit mobil pribadi walaupun gajinya tak masuk di akal, garasi tak punya, dan udara semakin pengap oleh polusi. Ia tak siap untuk berjalan kaki, karena sejak 32 tahun terakhir hutang luar negeri telah memanjakannya dan memanjakan lemak di tubuhnya yang mestinya dapat terbakar bila ia mau berjalan kaki 10-15 menit dari rumahnya sampai ke shelter dan dari shelter akhir ke kantornya, dengan bus yang (mestinya) besar-besar, bersih, tepat waktu, dan kru yang sopan, aman, lagi jujur.

Ia berbangga dengan gedung-gedung tinggi berlantai dan berdinding pualam, mesin pendingin 24 jam, kran dari kuningan dan segala kemewahan yang sesungguhnya baru boleh dicoba-coba setelah dua puluh tahun, kata para ahli.

Ajaib bahwa ia tak merasa telah membohongi dirinya sendiri, persis seperti kesebelasan sepakbola suatu negeri berbangga karena punya pemain unggulan dengan cara membeli dan memasukkan pemain asing ke kesebelasan negerinya. Ia telah lupa sindiran Arab klasik tentang orang yang membanggakan sesuatu yang bukan miliknya dan bukan prestasinya: ibili, lam abi’ wa lam ahab, itu untaku, tak kujual dan tak pula kuhibahkan. Sudahlah, bukankah orang merdeka cukup dengan sindiran dan budak hanya paham dengan gebukan? Al hurru yakfihil isyarah wal abdu laa yakfihi illad dharb.

Nasionalisme Tahunan; Laskar di Panggung Tujuhbelas-an

Di atas panggung, Indonesia dalam wajah Joko, Bram, Tiur, dan Laode masih bertempur dengan bambu runcing, wajah yang dipulas orang dan ikat kepala merah putih. Dalam jambore dan ketika menaik-turunkan bendera, berulang suatu kredo; menangisi sang saka dengan khusyu’ sebagai putera-puteri terbaik bangsa. Di tenda-tenda liburan dan di pagi-pagi yang penuh bolos, Indonesia yang masih bau kencur melacur dalam seragam dan tas sekolahnya. Dengan sekotak pil antihamil, bagi yang cerdas.

Hari ini, Indonesia telah kehilangan klaim atas citra diri yang pernah dibanggakannya: bangsa yang sopan santun, penolong, dan berbudi luhur. Hari ini mereka mencopet di depan pemandangan beratus mata ragu dan takut dan mata dunia. Ibu-ibu yang sudah begitu lama meminum air dan menghirup udara Indonesia membekali anak-anak remaja mereka dengan batu, pentung, peluru senapan angin, dan tabung-tabung molotov dalam tawuran warga. Demi kehormatan blok hunian dan RW mereka. Sebuah panggung patriotisme baru dari bangsa miskin yang tanah, hutan, lautan, dan koruptornya luar biasa kaya. Kini mereka telah kehilangan kata sabar, membakar apa saja: pencuri ayam dan sepeda, rumah, kendaraan, suami, atau isteri sendiri.

Ada secercah harapan, setidaknya mewakili penulis buku Aku Bangga Menjadi Orang Indonesia, sebagai kontra aksi terhadap buku Aku Malu Jadi Orang Indonesia. Artinya, bangga dan malu kadang cukup dijembatani dengan sebuah buku, sementara banyak persoalan pelik dipecahkan dengan statement dan press release.

Tahun-tahun berlalu, meninggalkan pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur, bukan lecehan: “Siapa sesungguhnya yang patriot, nasionalis, dan peduli bangsa?“

Hari-hari ini berteriak menuntut: Hentikan semua sikap norak itu! Yang memberlakukan muslim yang taat dan tak mau seikere kepada benda-benda itu! Begajul yang menghamili gadis kencur tetangganya, menjadi pengedar obat bius, dan sombong di hadapan Allah, itukah patriot sejati? Hanya karena mampu menangis sesenggukan mencium bendera dan membelalak di atas panggung dengan pakaian gerilya?

Sesudah semua musykilah ini, masihkah kader berpuas diri jadi tukang bincang problem?

Allah telah memberi banyak istilah kepada kebajikan: khairihsanbirrhasanah. Namun ada satu yang sangat sering diungkap dan berangkaian dengan iman. Itulah amal shalih. Apakah amal itu jadi shalih sekedar karena dilihat indah dan baik, sementara pada kata amal shalih nampak kesan: kebaikan itu tidak hanya sekedar baik dilihat secara selintas dan subjektif. Siapa bisa menjamin seseorang yang shalat Dhuha berpanjang-panjang, padahal tetangganya sedang panik memadamkan api yang menyala? Shalihkah seseorang yang hari ini telah melaksanakan haji untuk ketiga belas kalinya, sementara anak tetangga meregang nyawa karena busung lapar? Apakah amal shalih yang dikerjakan kaum Khawarij ketika meninggikan suara menuntut inil hukmu illaa lillaah sementara tak henti-hentinya mereka bertempur melawan khalifah, mengkafirkan sesama mukmin, dan menghalalkan darah mereka? Padahal, orang-orang kafir bebas berkeliaran dan kaum Mu’tazilah menipu mereka dengan akuan sebagai ahluddzimmah yang berhak atas keamanan diri. Kini, semua jalan dalam kehidupan muslimin hancur, sedangkan masalahnya ditengarai jelas, yaitu tidak berlakunya syariah yang penuh berkah ini.

Fenomena Kebangkrutan Bangsa

Banyak orang mengandalkan nisbah diri dengan nama besar suatu organisasi atau jama’ah, atau berbangga dengan kepemimpinan tokoh perubah sejarah. Namun sayang, mereka tak pernah merasa defisit apa pun padahal sama sekali tidak meneladani keutamaan tersebut: “Barangsiapa lambat amalnya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya”.

Sekarang, segelintir elit di masyarakat muslim bukan lagi membanggakan diri dengan nisbah Islam dan masa lalu umat. Mereka justru telah menampakkan dengan terbuka kebanggaannya menjauh dari orisinalitas (ashalah) Islam. Berapa banyak mayoritas awam yang menolak syariah Islam? Mungkin nol. Yang ribut cuma elit dan agen fasad. Karenanya, bukanlah kerja produktif bila fokus agendaishlah hanya ditujukan kepada kekuasaan dan kekokohan rezim, terlebih bila rezim itu sendiri sudah memasuki kriteria rajim. Perubahan yang dituju oleh ishlah Islami adalah perubahan kultural, tanpa mengabaikan faktor kekuasaan, karena memang sangat jelas daya hancurnya bila ia jatuh ke dalam tangan-tangan kotor.

Tak ada yang lebih mulia dan memenuhi tahapan-tahapan ishlah yang benar, kecuali bila setiap kader memikirkan peningkatan dirinya, kemudian keluarga dan masyarakatnya. Kezaliman di masyarakat telah terjadi dan terus-menerus selalu akan terjadi bila umat tak berdaya dan membiarkan kezaliman atas diri mereka. Bila prajurit semacam Rub’i bin Amir telah tampil begitu meyakinkan di hadapan Rustum dan Rasulullah membiarkan keterusterangan seorang Badui daripada rakyat ketakutan menuntut haknya, maka maknanya kerja da’wah harus mengarah pada pembebasan dan pemberdayaan semua elemen umat.

Siapa yang bertanggung jawab atas larinya triliunan dana bangsa muslim yang miskin ini, hanya karena mereka rendah diri lalu berpikir makanan junk food dengan iklan menyesatkan itu baik untuk mereka? Siapa yang bertanggung jawab atas bangkrutnya usaha mereka sendiri, karena iklim ta’awun tidak tumbuh dan sikap saling percaya tidak ada lagi? Akibatnya, alih-alih dari tumbuhnya usaha syarikat umat, mereka terpaksa pergi ke bank-bank riba, untuk meminjam atau menabung. Maka jadi semakin ekstrim-lah seruan pembelaan dan solidaritas umat dari seorang Hasan Al Banna di telinga manusia modern yang tak kunjung memetik apa pun dari obsesi-obsesi kosong mereka.

“Perhatikan benar perekonomian bangsamu. Jangan mengkonsumsi dan memakai kecuali produk negeri Muslimmu.”

–Hasan Al Banna