Kondisi Perundang-undangan Masyarakat Arab

Pendahuluan

Pada bagian pengantar telah penulis sebutkan bahwa undang-undang itu sangat diperlukan masyarakat,sebagaimana masyarakat sangat diperlukan oleh manusia. Karena itu masyarakat tidak terlepas dari norma-norma hokum yang mengatur hubungan yang mengatur hubgungan antara individu di dalam sebuah masyarakat. Terkadang norma-norma ini berupa adat, Urf (kebiasaan) dan tradisi yang yang selaras dengan setiap kepentingan manusia. Manusia kembali kepada hokum dan norma-norma itu ketika terjadi perselisihan dan persengketaan. Hal inilah yang ada pada masyrakat Arab Jahiliyyah. Memerka tidak memiliki pemerintahan atau kekuatan legislative yang membuat undang-undang. Mereka hanya memiliki adat, kebiasaaan, dan tradisi yang bisa disebut sebagai undang-undang Jahiliyyah. Seperti halnya masyarakat Arab tidak memilki kekuasaan eksekutif untuk menerima pengaduan perkara. Mereka hanya merujuk kepada kepala suku atau dukun.[1]

Tidak seorangpun dari mereka ini memutuskan dengan undang-undang tertulis, melaikan berdasar apa yang mereka ketahui dari adat dan kebiasaan sebuah kaum yang hidup diantara mereka. Seperti halnya pihak-pihak yang bertikai tidak diharuskan kembali kepada orang-orang yang kami sebutkan, melaikan kembali kepada mereka dengan sukarela. Dan ketika mereka membuat suatu keputusan, terkdang tidak diindahkan oleh pihak yang diberi keputusan. Ia tidak mendaptkan sanksi apa-apa selain resiko pembalasn dari sukunya, atau kemarahan dari orang yang memilki kepentingan terlaksanaya keputusan ini. Jadi, keputusan para pemberi keputusan hokum itu pelaksanaannya tergantung pada kekuatan moral yang dimilikinya, dan sejauh mana penghormatan orang yang diputus bersalah itu terhadapnya.[2]

Syariat Islam menyikapi menyikapi hokum jahiliyyah yang dibangun diatas adat kebiasan mereka. Islam mengakui sebagai addat, meluruskan sebagian yang lain. Berikut ini kami sebutkan sistem hokum masyarakat Arab, yang dilestarikan oleha Syari’at Islam, ditolak atau diluruskan.



[1]  Al-Usrah fi asy-Syari’ah al-Islami, Dr. Umar Farukh, hlm. 27

[2] Fajrul-Islam, Jilid I, hlm. 274-277