Konflik Antar Putra Bayazid

Setelah berhasil mengalahkan pasukan Bayazid dan membuat pemerintahan Utsmani kocar-kacir, tugas Timurlenk belum selesai. Secara jujur Timurlenk mengakui bahwa Kesultanan Utsmani merupakan rival politik berat. Maka untuk menjamin keamanan ke depan dari kemungkinan gangguan Kesultanan Utsmani, Timurlenk berusaha melemahkan kesultanan itu dengan menerbitkan konflik politik antar putra-putra Bayazid. Jika konflik terus terjadi, diperkirakan nasib pemerintahan Utsmani akan terkubur bersama puing-puing sejarah.

Perlu diketahui, Sultan Bayazid memiliki lima orang putra, semuanya pernah terlibat setiap pertempuran. Putranya yang bernama Musthafa, diperkirakan telah terbunuh dalam peperangan. Musa ditawan bersama Bayazid di penjara Timurlenk. Sedangkan tiga putra lainnya berhasil selamat dan dalam pelarian. Putra terbesarnya bernama Sulaiman, melarikan diri ke Adrianopel. Di sana Sulaiman mendeklarasikan diri sebagai Sultan. Sedangkan putranya yang bernama Isa pergi ke Bursa dan mengumumkan kepada rakyat, bahwa dia menjadi pengganti ayahnya. Adapun Muhammad –putra bungsu Bayazid—dengan beberapa tentara, menarik diri ke Amasia di Timur Laut Asia Kecil. Tanpa membutuhkan waktu panjang, sengketa politik ini jelas merebak antar ketiga putra Bayazid tersebut. Itulah momen konflik yang dinantikan oleh Timurlenk, dan sangat dicintai sepenuh hati oleh pemimpin-pemimpin Nasrani Eropa.

Saat konflik antar putra-putra Bayazid terjadi dengan sengit, Timurlenk dengan perasaan “sangat menikmati” konflik itu, sengaja melepaskan Musa, putra Bayazid lain, yang sebelumnya ditahan bersama ayahnya. Apa tujuan Timurlenk disini? Tentu saja agar konflik internal para pewaris kekuasaan Sultan Utsmani itu semakin sengit dan “lebih nikmat ditonton”. Timurlenk terus memanas-manasi putra-putra Bayazid untuk terus bertempur dan saling menyerang satu sama lain.[1]

Konflik antar putra-putra Sultan Bayazid berjalan sekitar 10 tahun (806-816 H/ 1403-1413 M).[2] Timurlenk sendiri hanya setahun menduduki wilayah itu, lalu meninggalkan wilayah Utsmani dalam keadaan negeri itu penuh dengan konflik.[3] Mungkin itulah salah satu “seni berpolitik” yang diwarisi Timurlenk dari nenek-moyangnya. Wallahu a’lam bisshawaab.


[1] Muhammad Al Fatih, hlm. 36

[2] Ad Daulatil Utsmaniyah fit Tarikh Al Islami Al hadits, hlm.43

[3] Op.cit, hlm.36