Konsep Al Wasathiyah

 Akhir-akhir ini kata Al Wasathiyyah diproklamirkan, menggantikan slogan Islam Hadhari yang ditenggelamkan entah di mana dan tidak diketahui sampai ke mana. Jangan terjebak dengan apa yang disebut oleh ucapan Imam Ali karamallahu ajhah,

كلمة حق أريد بها باطل

“Kata-kata yang benar dijadikan tujuannya kebatilan.”

Kebenaran yang mutlak tanpa dipertanyakan adalah pernyataan dari Allah. Marilah kita berpegang kepadanya. Firman Allah, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasatun, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Surah Al Baqarah: 143)

Dari sini Bertolaknya konsep al wasathiyah. Kata al wasathiyah (الوسطية) dalam bahasa Arab adalah dari kata al wasath (الوسط) yang diterjemahkan secara bahasa dengan makna pertengahan (moderat-editor). Selanjutnya dikatakan dari segi Islam dengan maksud adil, sederhana, dan terbaik.

Ketika menafsirkan Al Quran dan menguraikan hadits dari kata al wasath adalah tidak tepat dengan makna zahir bahasanya saja, sehingga berarti pertengahan di antara baik dan buruk secara bercampur aduk, atau adil dan zalim sama-sama dilakukan, dengan maksud bisa dikumpulkan benar dan salah, ma’ruf dan munkar, buat baik dan buat maksiat karena pesan Islam yang bersumberkan Al Quran dan ditafsirkan oleh sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membawa pesan pelaksanaan kebaikan yang terbaik dengan benar dan istiqamah serta meninggalkan segala kemunkaran dan mencegahnya secara hikmah.

Banyak yang mengambil kesempatan meninggalkan syariat Allah dengan sengaja, tameng menafsirkan al wasathiyah dengan hujjah, konon menurut kehendak (perubahan) waktu, dengan cara tidak istiqamah sesuai perintah Allah dan sunnah Rasulullah dengan mengandalkan terjemahan dari segi lahir bahasanya saja yang berarti pertengahan di antara baik dan buruk, adil dan zalim, ma’ruf dan munkar dalam kondisi mencampuradukkan kebaikan dan keburukan atau melaksanakan Islam secara terpilih, bukan keseluruhan karena menurut langkah-langkah setan atau beramal dengan sebagian dan meninggalkan sebagian lagi, laksana kaum Yahudi yang dimurka Allah (al  maghdub alaihim), atau menurut kemauan sendiri laksana penganut ajaran sesat (al dhallin), tanpa usaha yang sungguh-sungguh melaksanakan pesan umat terpilih dengan menegakkan makruf dan melawan kemunkaran atau tidak bercita-cita melaksanakan Islam sepenuhnya, dibuktikan dengan lebih setengah abad berpeluang mendapat kekuasaan politik memegang amanah.

Sederhana bukan beramal dengan Islam tanpa kesungguhan atau tidak ekstrim sehingga menyerah, tanpa perhitungan batas nilai yang sebenarnya dari hukum Allah dan tujuan penciptaan manusia dan fitrahnya menurut penciptanya sendiri yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga meninggalkan syariat Allah yang asasi, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, meninggalkan kewajiban beramal dengan syariat Allah dan tidak sempurna melaksanakan amar makruf dan nahi munkar. Allah memperingatkan kepada Bani Israel yang dimurka sampai hari kiamat, agar menjadi pengajaran kepada umat Islam.

Firman Allah, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (Surah Al Baqarah: 42)

Bila Islam keseluruhannya adalah panduan dan petunjuk jalan, serta batas batas perjalanan kehidupan manusia, jika meninggalkannya atau pelaksanaannya tidak sempurna, menyebabkan banyak hal-hal yang merusak kehidupan manusia dan alam sekitarnya, maka Islam pula yang disalahkan.

Perlu dipahami bahwa setiap aspek ajaran Islam yang terkait dengan akidah dengan setiap rukun dan cabangnya, syariat dalam segala urusannya, akhlak dalam segala hubungannya, dan sistem pelaksanaannya secara menyeluruh, adalah mata rantai yang tidak bisa dipisahkan atau dikurangi.

Zahir ayat ummat wasathiyyah tersebut menegaskan bahwa umat Islam dijadikan contoh di kalangan seluruh manusia dan layak menjadi saksi untuk pihak Rasul terhadap manusia pada hari kiamat, bahwa para Rasul telah menyampaikan petunjuk Allah yang bernama Islam dengan amanah dan sempurna, sehingga mengarungi perjuangan bersama Rasul atau melanjutkan perjuangannya yang penuh pengorbanan harta dan jiwa raga, untuk mengislamkan manusia dalam seluruh cara hidupnya dari dunia dan berwawasan hari akhirat, bukan sekedar Wawasan 2020.

Menurut metode ilmu tafsir, Al Quran harus ditafsirkan berdasarkan prioritas. Jika ada ayat-ayat Al Quran sendiri yang menafsirkan Al Quran harus didahulukan, kemudian diikuti dengan sunnah Rasulullah yang menafsirkan Al Quran, berikutnya diikuti dengan tafsir para ulama sahabat yang menerima secara berdepan dan menyaksikan penafsiran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam secara menghayatinya, kemudian tafsir para ulama salaf dan khalaf (generasi awal dan mutakhir) yang menafsirkan Al Quran menurut Ulum Al Quran (Ilmu-Ilmu untuk memahami Al Quran). Begitulah caranya Al Qur’an ditafsirkan dengan tepat, sesuai perintah Allah dan petunjuknya melalui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar dilakukan dengan berdasarkan iman. Kalau tidak maka tafsirnya salah dan berdosa besar atau menyimpang sehingga sesat dan menyesatkan. Kalangan ulama yang mengambil pendekatan begitu adalah mengambil contoh golongan ahli kitab yang dimurka Allah (Al Maghdub alaihim dalam surah Al Fatihah) atau ulama jahat.

Firman Allah menunjukkan adanya kalangan ulama seperti ini: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang -orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan tidak mau yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat lalim.” (Surah Al A’raf: 175-177)

Para ulama tafsir menyebutkan ayat-ayat ini berkaitan dengan ulama yang disuap dengan kesenangan dunia sehingga sanggup memutarbalikkan ayat-ayat Allah.

Al Quran tidak bisa diseleweng dan dipermainkan karena tetap dipelihara oleh Allah. Al Quran itu harus ditafsirkan menurut ilmu-ilmu yang terkait dengannya yaitu ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, balaghah, sastra Arab karena Al Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab. Ilmu asbab al nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), nasikh dan mansukh dan juga ilmu riwayat dan dirayat.

Maka tafsiran wasathiyah yang tepat harus sesuai hakikat kerasulan dan ajaran Islam seluruhnya. Ia adalah dari petunjuk Al Quran agar umat Islam menjadi umat yang adil dan pilihan dengan beriman, beramal dan berakhlak dengan Islam, sehingga menjadi contoh kepada umat manusia seluruhnya. Mereka juga layak menjadi saksi atas perbuatan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan menentang para Rasul, saat semuanya mengalami pembicaraan dalam pengadilan di akhirat.

Hakikat umat Islam yang menjadi contoh ditengah masyarakat manusia itu dijelaskan oleh ayat-ayat Al Quran yang lain untuk memenuhi fitur Ummah Wasathan yang layak menjadi contoh bagi seluruh umat manusia dan saksi pada hari kiamat, diantaranya firman Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Surat Ali Imran: 110)

Firman Allah:

يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون (8) المائدة

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang bangun menegakkan agama Allah karenanya (dengan ikhlas), agar menjadi para saksi dengan adil, dan janganlah dengan sebab kamu bermusuhan terhadap sesuatu kaum lalu kamu tidak berlaku adil Berlaku adillah, karena lebih hampir kepada sifat taqwa dan bertaqwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah itu Maha teliti pengetahuannya terhadap apa-apa yang kamu lakukan.” (Surah Al Maidah: 8)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memulai pembangunan insan generasi awal yang pertama menjadi contoh Ummatan Wasathan dengan menegakkan iman, amal saleh dan akhlak yang mulia, menerapkan ilmu dari Allah. Ketika ditawarkan melalui Abu Thalib yang paling disegani menjadi Raja atau Kepala dengan harta kekayaan dikumpulkan untuknya, penawaran yang mahal ini ditolak dengan tegas, sabdanya: “Wahai paman kesayanganku, jika diletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku, agar aku meninggalkan urusan ini (menegakkan Islam) sehingga dimenangkan oleh Allah atau aku mati karenanya niscaya aku tidak meninggalkannya.”

Al Wasathiyah dalam Agama dan Sistem Kehidupan

Kedatangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membawa Islam agama Allah adalah kesinambungan risalah para Rasul sebelumnya, setelah ajaran Rasul terdahulu diselewengkan menjadi sesat. Dua agama samawi, Yahudi dan Kristen yang tersorot sudah diganti (dipinda-Melayu) dan diubah oleh para pendeta dan paderi yang bersekongkol dengan pemerintah yang lalim di zaman masing-masing, sehingga terjadi penindasan agama terhadap masyarakat dengan mengadakan hukum yang tidak diizin oleh Allah.

Agama yang bukan agama samawi bahkan lebih sesat, sehingga menjadikan manusia memuja makhluk seperti batu dan binatang yang tidak berakal, dan menyanjung para biksu seperti Tuhan. Islam berada ditengah-tengah penyimpangan agama, membawa Aqidah Tauhid mengesakan Allah dalam ibadah dan cara hidup, menentang penyelewengan agama samawi dan non-samawi. Menentang agama yang menjadikan manusia seperti malaikat dan menempatkan manusia seperti binatang dan lebih rendah dari binatang dan makhluk yang lain.

Berdasarkan firman Allah, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (manusia), Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Surah  Al Isra ‘: 70)

Islam menempatkan manusia menurut konsep Wasathiyah, ada ruh berhubungan dengan Tuhan tidak seperti malaikat, ada jasad dan hawa nafsu tidak seperti binatang dan bisa bergerak tidak seperti batu dan kayu.

Islam juga tidak ekstrim seperti Kristen yang memuja Rasul sehingga diletakkan setaraf ketuhanan dan tidak seperti Yahudi yang menolak Rasul dengan keras sehingga membunuhnya dan mengubah ajarannya hawa nafsu.

Maka Islam adalah wasathiyah di kalangan agama, karena menempatkan manusia menurut fitrahnya dengan tepat dan terbaik menurut ketentuan Allah, jika manusia itu berpegang dengan Islam dan beramal sepenuhnya dalam cara beragama, bukan dengan makna agama secara sekularisme.

Dalam aspek politik, adanya pemerintahan diktator (tangan besi) yang memberi kekuasaan mutlak kepada seseorang atau kelompok. Kemudian lahir praktek teokrasi yang memberi kekuasaan mutlak kepada ahli agama, dan demokrasi Barat yang dikatakan hak kepada rakyat secara mutlak. Maka Islam berbeda dengan semua teori tersebut dengan menyorot wasathiyah melawan diktator dan teokrasi dan melawan penipuan terhadap rakyat di atas nama hak rakyat terlepas jahil dan terdesak, dengan menyatakan batas batas ketaatan kepada pemimpin dan para ulama dan hak rakyat dengan tidak memberikan kekuasaan mutlak kepada siapa .

Meletakkan batas sempadan kemampuan manusia dan di luar kemampuan manusia. Islam menegaskan persyaratan iman, ilmu dan akhlak menurut perhitungan agama yang adanya muhasabah halal dan haram, serta dosa dan pahala dalam praktek politik, tidak hanya dalam hal ibadah, karena Islam tidak memisahkan politik dari agama. Menerima apa yang baik dan bijaksana meskipun datang dari mana terlepas timur dan barat, dan menolak yang buruk dan jahat meskipun dilahirkan di bumi Makkah.

Dalam aspek ekonomi pula Islam menentang teori kapitalisme yang membebaskan hak individu sehingga mengorbankan hak masyarakat dan menentang komunisme dan sosialisme yang merampas hak individu di atas nama keadilan terhadap masyarakat, dan semua teori tersebut berteraskan materi apakah memisahkan kewajiban agama dalam ekonomi atau menafikan adanya peran agama dalam kehidupan manusia.

Islam mengizinkan miliki harta dan mengelolanya, tetapi wajib menunaikan kewajiban bermasyarakat dengan zakat dan lain-lain.

Firman Allah, “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Surat Adz Dzariyat: 19)

Islam juga memerintahkan agar membelanjakan harta secara sederhana, tidak boros dan tidak bakhil. Firman Allah,  “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Surat Al Isra ‘: 29)

Dalam kehidupan berkeluarga Islam tidak seperti agama yang mengharamkan pendeta dan saminya menikah seperti malaikat dan ajaran yang membebaskan pergaulan seperti binatang, karena keduanya bertentangan dengan fitrah manusia. Maka Islam menetapkan hukum keluarga dimulai dari pertunangan, sampai pernikahan, nafkah dan perceraian.

Islam juga menetapkan ajaran yang terkait dengan adab pergaulan dalam keluarga dan masyarakat yang luas, dari hukum berpakaian sehingga hukum bergaul dan bermuamalat, untuk menjaga akhlak manusia dan keharmonisan kehidupan mereka.

Untuk menjaga agama, jiwa, akal, keluarga, kehormatan dan harta yang menjadi rukun kehidupan manusia maka Allah mewajibkan hukum pidana, qishash dan hudud secara nash dalam hanya beberapa hal yang tidak bisa dicapai oleh akal manusia yang tetap bersifat makhluk yang lemah. Untuk hal-hal yang bisa dicapai dengan ilmu dan pengalaman, maka Islam mengizinkan kebijaksanaan akal dan pengalaman dengan panduannya.

Islam juga berkonsepkan al wasathiyah dalam hubungan internasional, perdamaian adalah konsep pertama yang wajib didahulukan, dalam waktu yang sama mengakui bahwa adanya peperangan yang menjadi fitrah manusia, karena adanya perbedaan yang membawa pergeseran dan adanya manusia yang menjadi pengikut setan yang wajib ditentang dengan cara peperangan saat diinvasi dengan lalim, tetapi diharamkan melampau menggunakan senjata, ketika berperang dan sesudahnya walaupun mencapai kemenangan.

Firman Allah, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Surat Al Baqarah: 190)

Islam Mendahulukan Perdamaian

Firman Allah, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongannya dan dengan para mukmin.” (Surah Al Anfal: 61-62)

Al wasathiyah dalam hubungan internasional berarti wajib berlaku adil di masa damai dan perang, tidak menyerah terhadap kezaliman dan tidak melampau saat bertindak.

Al wasathiyah menurut Al Quran dan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadi ikutan adalah tetap, teguh dan istiqamah, bukan slogan politik sementara seperti Islam hadari, bersih efisien dan amanah, kepemimpinan melalui teladan, yang pelaksanaannya tidak cukup dan tidak berpijak di bumi nyata, tenggelam dalam gejala keruntuhan yang tidak mampu diperbaiki dengan perbaikan karena prinsip yang salah dan konsep yang timpang dan didatangi masalah baru yang berulang-ulang.

Makna wasathiyah bukan melaksanakan Islam tidak sempurna atau secara terpilih atau campur aduk. Bukan sekadar mendirikan masjid tanpa sempurna mendirikan shalat, mengadakan bank Islam tanpa kuasa mencegah kemunkaran riba, mengadakan musabaqah sekedar mendengar suara tanpa membuat petunjuk dalam praktek dan akhlak, kehilangan harta dengan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dan salah urus lebih besar dari bantuan kepada yang berhak dan kesimpulannya menegakkan kebaikan yang tidak sempurna membiakkan kemunkaran yang meningkat. Maka tidak layak bersifat al wasathiyah untuk menunjukkan model Islam dan tidak layak menjadi saksi di dunia dan akhirat.