Kristenisasi

Kristenisasi yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan tanshir adalah ajakan kepada agama Nasrani di kalangan penganut agama lain, atau di tengah-tengah masyarakat animis dan yang tidak beragama. Ajakan ini juga sering diistilahkan dengan tabsyir (pengabaran gembira) karena dilihat sebagai ajakan kepada Injil. Kata Injil dalam bahasa Yunani mempunyai arti kabar gembira. Akan tetapi ungkapan yang lebih tepat untuk ajakan kepada agama Kristen adalah kristenisasi.

Gerakan kristenisasi di dunia Islam mempunyai kaitan dengan masa-masa persentuhan peradaban antara Barat dan Timur Islam. Sebab gereja-gereja Timur sejak kemenangan Islam, tidak menjadikan penyebaran agama Kristen di kalangan umat Islam sebagai satu tujuan penting. Perhatian besar yang mereka berikan terutama pada upaya mempertahankan para penganutnya agar tetap berpegang pada agama mereka.

Selama masa-masa perang salib (1096-1291), Gereja Barat tidak melakukan upaya kristenisasi di dunia Timur Islam, dalam bentuk kegiatan nyata berupa Kristenisasi. Kemunduran peradaban Barat dibanding dengan Timur Islam, serta suasana perang yang begitu dominan, tidak memberi peluang atau membukakan pintu bagi Agama Kristen untuk menyebarluaskan agama di Timur kecuali beberapa upaya yang sebagian besar menemui kegagalan untuk menarik simpati para pemeluk Kristen Timur pada peradaban Barat dan Gerejanya. Sedangkan pada era modern, di bawah hegemoni Barat terhadap Timur, yang secara kebetulan dalam keadaan lemah serta keterbelakangan peradaban, serbuan imperalisme Barat modern terhadap negeri-negeri Timur dibarengi dengan misi Kristenisasi baik secara terselubung maupun secara terbuka; baik melalui lembaga pendidikan, institusi keagamaan maupun kebudayaan.

Jika serbuan Napoleon Bonaparte terhadap Mesir (1798) merupakan awal serbuan Barat ke jantung dunia Islam, yang sebelumnya tidak pernah terjadi, maka masa perdamaian antara Muhammad Ali Pasha (1770-1848) dan pemerintah Perancis merupakan awal penyusupan agama Katolik ke dalam masyarakat Mesir. Tentu saja infiltrasi ini tidak hanya ditujukan kepada umat Islam di Mesir, melainkan juga agar golongan Kristen Qibti Mesir yang menganut Kristen Ortodoks mengikuti paham Katolik. Demikian yang dilakukan oleh gerakan missionarisme Barat dalam upaya membangun basis-basis yang dapat dijadikan pijakan kaki bagi paham yang mereka anut di dunia Timur Islam. Sebab bagi mereka lebih mudah dan tidak banyak benturan mengubah sebagian orang-orang Kristen Timur menjadi penganut paham agama yang dianut oleh penjajah sebagai langkah awal — kelak setelah mendirikan basis-basis mereka di negeri MusIim — untuk melakukan upaya-upaya mewujudkan tujuan pertama dalam mengkristenkan kaum Muslimin.

Setelah rencana Muhammad Ali Pasha (1840) mengalami kemunduran dan Barat melakukan pengepungan untuk menguasainya serta menghancurkan pasukannya — yang dimulai dengan Perjanjian London tahun 1840 — pengaruh Barat mulai masuk secara nyata ke dalam masyarakat Mesir, dan masyarakat Timur pada umumnya, pengaruh ini meningkat.

Fenomena yang menonjol salah satu di antaranya adalah kegiatan Kristenisasi di tengah masyarakat Muslim yang dijadikan alat dan pilar penjajahan setelah negeri jajahan diduduki. Karena Kristen yang dianut oleh Inggris adalah Protestan seperti halnya yang dianut oleh mayoritas gereja Amerika, maka missionarisme Protestan melakukan kegiatan Kristenisasi di Mesir melalui lembaga-lembaga penginjil Amerika. Sementara Perancis melakukan kristenisasi di wilayah Syam (Syiria, Yordan, Palestina dan Lebanon). Kesamaan aliran Kristen antara Inggris dan Amerika telah membuat Inggris membiarkan kristenisasi di Mesir melalui missionarisme Amerika agar dapat mendirikan basis-basis Kristen tanpa menanggung beban atas reaksi dari masyarakat setempat terhadap kristenisasi ini, yang dimulai dengan upaya merangkul sebagian tokoh Gereja Qibthi Ortodoks. Akan tetapi langkah ini justru membuat kalangan masyarakat Kristen Ortodoks Mesir bersatu dengan umat Islam menentang aktivitas missionarisme.

Pembentukan Dewan Wali Gereja Protestan pertama di Mesir dilakukan pada 13 April 1860, dianggotai tujuh orang, yang mana tidak seorangpun di antara mereka warga Mesir. Di antara lembaga pendidikan yang didirikan oleh organisasi missionans Kristen adalah Robert Academy di Istanbul, American University di Beirut yang dibuka tahun 1866, American University di Kairo yang dibuka dengan nama Institute of Lincoln for Eastern Studies pada tahun 1920. Melalui lembaga pendidikan seperti ini organisasi missionaris Kristen melakukan kegiatannya secara lebih nyata di negeri-negeri Muslim. Setelah Gereja Protestan memantapkan kehadirannya di negeri-negeri Timur, lalu mendirikan Dewan Wali Gereja Timur Tengah pada tahun 1927 dan rapat pembentukannya dilakukan di kota Halwan, Mesir.

Tahap kristenisasi di kalangan umat Islam dimulai dengan diadakan konferensi missionaris pertama di Mesir tahun 1906 dihadiri 60 wakil gereja dan organisasi missionaris, dipimpin oleh tokoh missionaris terkemuka yang bekerja sebagai penginjil di Timur Tengah Samuel Zwemmer (1867-1952). Setelah konferensi Kairo, diadakan pula Konferensi Edinburgh tahun 1910, dan Konferensi Lucknow tahun 1911, untuk meletakkan dan melaksanakan serta memantau program-program kristenisasi di kalangan umat Islam.

Pada seperempat abad pertama, dengan adanya kebangkitan kesadaran Islam yang cenderung meningkat, disamping mengetahui kegagalan kristenisasi meskipun ditunjang dengan sarana dan prasarana lengkap di kalangan umat Islam, disana banyak sinyalemen mengenai perlunya mengevaluasi cara-cara yang ditempuh kaum missionaris di kalangan umat Islam dan juga mengoptimalisasi upaya dalam rangka menanggulangi kebangkitan Islam sebelum dunia Islam bangkit agar tidak kehilangan kesempatan untuk selamanya dari dominasi kekuatan Barat. Oleh sebab itu, konferensi demi konferensi diadakan pada tingkat program dan pelayanan baru ini: Konferensi Injil Pertama di Berlin tahun 1966, Konferensi Global diadakan di Lausanne tahun 1974, kemudian disusul dengan Konferensi Colorado, yang dipandang sebagai yang paling penting diadakan pada 15 Mei 1978, dimana diputuskan mengenai peningkatan dari kegiatan penginjilan di kalangan umat Islam menjadi penginjilan terhadap setiap Muslim.

Di samping itu, konferensi ini meninjau ulang sejarah kristenisasi dan cara-caranya yang selama ini dipakai serta mengajak untuk memasuki Islam: Al Qur’an dan kebudayaannya, model dan bentuk simbol-simbolnya, tradisi dan adat istiadatnya dengan maksud agar gerakan missionaris dapat memberi muatan Kristen di dalamnya dan wadah Islam yang demikian itu perlu dilakukan agar agama Kristen tidak tampak sebagai agama Barat disebabkan kaitannya dengan peradaban Barat, tradisi gereja, para kaum missionaris Barat, dan kekuasaan penjajah Barat.

Setelah konferensi Colorado, mereka mendirikan lembaga induk, yaitu Institute Zwemmer, untuk dijadikan sebagai otak bagi setiap kegiatan missionarisme Kristen. Upaya-upaya inilah yang dikatakan dalam Bulletin Internasional, yang membahas kegiatan missionaris Kristen, bahwa menurut hasil penelitian tahun 1991, Organisasi Missionaris Dunia memiliki sarana: 120.880 lembaga khusus untuk kegiatan kristenisasi di kalangan Islam; memiliki 99.200 lembaga pendidikan untuk mencetak kader penginjil; 4.208.250 tenaga profesional; 82 juta alat komputer; 24.000 majalah; 2.340 stasiun pemancar radio dan televisi; 10.677 sekolah dengan jumlah 9 juta siswa; 10.600 rumah sakit dan 680 panti jompo; 10.050 apotik. Sedangkan anggaran kegiatan kristenisasi pada tahun 1991 mencapai 163 milyar dolar.

Benua Afrika mendapat perhatian khusus bagi kegiatan kristenisasi dengan 14.000 penginjil; 16.000 sekolah missionaris; 500 sekolah teologi; dan 600 rumah sakit. Dana tahunan yang masuk ke gereja yang bekerja dalam kegiatan kristenisasi mencapai 9 juta dolar. Sementara dana tahunan yang masuk ke Organisasi Kristen Internasional, pada saat tertentu mencapai 8,9 milyar dolar.[1]



[1] Lebih lengkapnya lihat, Dr. Muhammad ‘Immarah dalam Istratijiyyah atTanshir fi Al ‘Alam Al Islami, Malta 1992.