Dari sejumlah prinsip-prinsip dasar dalam dakwah Ikhwanul Muslimin ini, kita mengetahui kunci-kunci dakwah Ikhwan dan permasalahannya yang lain.
Berikut ini beberapa penjelasan tambahan tentang kunci dakwah Ikhwan, tetapi kami ingin mengkhususkan beberapa hal pada bab tersendiri untuk menegaskannya. Dalam penutup bab ini akan disebutkan beberapa hal yang sepantasnya kita ketahui sebagai anggota Ikhwanul Muslimin.
Pertama, kita hendaknya memahami permasalahan dakwah kita. Ini di satu sisi. Di sisi lain, kita harus pandai mendakwahkannya. Setelah itu kita harus pandai mendekatkan orang-orang yang merespon kepadanya. Ini sisi yang paling penting. Dari keterangan itu kita sebenarnya memiliki tiga persoalan: memahami dakwah, mendakwahkannya, serta mentarbiyah dan menarik perhatian orang untuk mendukungnya. Jika salah satu dari tiga hal ini gagal, maka amal islami juga akan menuai buah pahitnya. Apalagi jika cacat dalam hal yang lebih banyak dan beragam. Oleh karena itu kita harus melakukan pendalaman tentang diri kita dan diri saudara-saudara kita tentang potensi yang dapat kita persembahkan bagi ketiga persoalan di atas.
Kedua, Musa ‘alaihi sallam berkata pada Fir’aun,
“Adakah keinginan padamu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)? Kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu, supaya kamu taat kepada-Nya.” (QS. An-Nazi’at : 18-19)
Di masa kini, pada kalangan tertentu –sebagai salah satu cara dakwah—kita perlu membicarakan keuntungan-keuntungan duniawi yang dapat diraih oleh Islam. Akan tetapi, yang harus disentuhkan kepada semua orang adalah pembicaraan tentang ruh, jiwa, hati. Kebutuhan hati akan dinamika, kebutuhan jiwa akan kebersihan, dan kebutuhan ruh akan pengabdian yang ikhlas kepada Allah. Kita tekankan pembicaraan bahwa nilai-nilai utama ini tidak dapat dicapai oleh seseorang kecuali dengan Islam dan meniti jalan Allah dengannya, bersama keyakinan yang benar, amal yang shahih, dan bimbingan yang benar menuju Allah dengan ibadah dan dzikir.
Semua ini menuntut kepada setiap al-akh untuk memahami bekal perjalanan, prinsip-prinsip langkah, dan kendala-kendala mendadak yang mungkin ditemui oleh seorang pejalan. Ini merupakan sebuah keniscayaan bagi seorang al-akh. Jika ia tidak mampu mewujudkannya, maka ia akan terpisah dari ‘dunia’nya.
Orang Barat secara umum telah merasakan adanya kekosongan jiwa. Oleh karena itu, banyak diantara mereka yang melarikan diri ke dunia mistis, seperti Budha atau lainnya. Padahal semua itu tidak memenuhi hajatnya. Yang dapat memenuhi kebutuhan dan kekosongan jiwa, kerinduan hati, dan kehausan ruhani yang suci hanyalah Islam. Namun, semua nilai ini memiliki prinsip dasarnya dalam Islam dan harus didalami untuk mengetahuinya.
Bagaimana cara mengubah situasi hati? Bagaimana kita mengembalikan hati ke maqam ibadah yang murni kepada Allah? Bagaimana caranya membangkitkan jiwa untuk berakhlak Islam, semisal lemah lembut, bijaksana, pemurah, dan lain-lain , sehingga sifat-sifat tersebut melekat dalam jiwanya? Bagaimana cara menyucikan jiwa dari penyakitnya, semisal hasad, ujub, takabbur, dan lain-lain? Semua ini harus jelas bagi kita. Kita harus memfokuskan dakwah menuju ke sana, sebab ia merupakan bagian dari hidayah Nabi. Ini merupakan bagian penting yang semua orang membutuhkannya, baik yang miskin maupun yang kaya.
Pendalaman untuk memahami hal ini juga merupakan salah satu kunci memahami dakwah Ikhwanul Muslimin. Dalam kaitan ini, kita adalah kelompok sufi. Akan tetapi sufinya kaum salaf, yang bersih dari kotoran bid’ah dan khurafat, serta terikat oleh aqidah ahlus sunnah wal jamaah, bebas dalam frame pandangan ulama. Semua itu dilakukan agar dakwah kita tidak mengambil sufisme zaman ini, yakni sufisme yang mencampuradukkan antara yang benar dan yang salah; yang haq dan yang batil; yang sunah dan yang bid’ah; yang asli dan yang palsu.
Ketiga, kita harus memahami kapasitas intelektual orang yang kita ajak bicara. Dalam konteks itulah pembicaraan dan dakwah berlangsung. Ada orang asalnya muslim namun disesatkan oleh pemikiran kafir; ada orang yang pada dasarnya memang kafir; ada lagi yang muslim tetapi lalai; adapula muslim sufi; adapula muslim salafi; ada pemburu dunia; dan adapula pemburu akhirat. Kita harus pandai memilih cara dalam berkomunikasi dengan masing-masing dari mereka, harus cermat membangun kesan awalnya.
Kepada seorang sufi yang khusyuk misalnya, kita harus menggugah perhatiannya melaui penanaman prinsip bahwa ada banyak kewajiban yang harus ditegakkan seperti menegakkan daulah Islam dan bekerja demi menegakkan kalimat Allah menjadi yang tertinggi, seperti bahwa kaum muslimin adalah jamaah yang satu. Semua itu harus disertai dengan dalil yang sejelas-jelasnya.
Kepada seorang muslim yang tidak memahami persoalan kita, harus kita pahamkan tentang siapa kita, apa tujuan yang ingin kita capai, dan apa cita-cita kita. Kita harus menerangkan bahwa semua itu menjadi kewajibannya juga kewajiban kita, dan kita semua harus bekerja sama.
Kepada seorang muslim yang beriman tetapi bodoh tentang Islam, kita harus mengajarinya pengetahuan tentang Islam. Ini harus dilakukan dengan dada yang lapang dan tidak mengenal putus asa.
Kepada seorang muslim yang berpaham salafi, kita jelaskan bahwa dakwah Ikhwan adalah dakwah salafiyah. Kita memegang teguh manhaj para salafush shalih, baik dalam ilmu, amal, maupun gerakan yang mengantarkan kepada tegaknya daulah Islam selaras dengan manhaj tersebut. Kita berdoa untuk muslim salafi ini agar syetan tidak menjauhkannya dari orang-orang yang bekerja dengan ikhlas untuk memperjuangkan agama Allah.
Akan halnya putra-putra Islam yang telah disesatkan oleh musuh-musuh Allah, ia harus disadarkan kembali agar yakin kepada Islam, Al-Qur’an, dan prinsip-prinsip imannya melalui penjelasan dengan argumentasi yang kuat. Selain itu kita harus melihat noda-noda pada keimanannya lalu kita bersihkan; kita lihat titik-titik kesalahan pada cara berpikirnya; lalu kita luruskan melalui diskusi yang baik atau dengan memberinya buku. Selama melakukan terapi itu kita harus ingat bahwa kita tengah bertarung melawan kekufuran dan syetan guna memenangkan seorang muslim. Kita tidak membiarkan kekufuran dan syetan mengalahkan kita sehingga saudara kita menjadi korban. Kita harus mengerahkan segala cara untuk memenangkan pertarungan ini.
Sedangkan ketika kita menghadapi golongan kafir, kita harus memfokuskan perhatian kita pada titik awal yang itu adalah iman kepada Allah, Rasulullah, serta Al-Qur’an yang diwahyukan. Sejauh mana kemampuan kita menanamkan titik awal ini, sejauh itulah kita bisa melanjutkan proses perubahan pada dirinya; menjadi mudah atau menjadi sulit.
Tiitk tolak paling kuat pada diri seseorang ialah titik tolak yang disitu terangkum adanya dzikir dan pikir sejak semula. Jika kita mampu membuat seseorang yang menjadikan sebagian waktunya untuk berdzikir dan sebagian yang lain untuk berpikir merenungkan sesuatu secara terarah, berarti hal itu telah dekat pada kesempurnaan.
Dalam menafsirkan firman Allah: “Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi setelah mati…” (QS. Al-Hadid : 17), Zarin –yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas—berkata, “Yakni melembutkan hati setelah selama ini keras, hingga Dia menjadikannya bersifat rendah hati. Allah menghidupkan hati yang telah mati dengan ilmu dan hikmah.”
Coba kita perhatikan kata-kata Ibnu Abbas: “Dia telah menghidupkan hati yang mati dengan ilmu dan hikmah”. Sesungguhnya, sepanjang kita masih mau menyampaikan ilmu dan hikmah kepada umat manusia dan mereka masih mau mendengarkannya, maka harapan bahwa hatinya dapat hidup masih besar. Satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam masalah ini adalah kita harus menahan diri ketika marah dan harus memberi maaf kepada orang yang berbuat jahat kepada kita. Tanpa kedua sifat tersebut, kita tidak akan mampu memimpin umat.
Bukhari meriwayatkan komentar yang dibuat oleh Ibnu Abbas terhadap firman Allah: “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik”, dengan mengatakan: “Sabar ketika marah dan memberi maaf ketika orang berlaku jahat. Apabila mereka melakukannnya, maka Allah akan memelihara mereka dan musuh-musuh mereka pun akan tunduk.”
Inilah ringkasan sebagian dari kunci untuk memahami Ikhwanul Muslimin dan dakwahnya, serta masalah-masalah besar yang dihadapi. Dikemukakannya bahwa hal ini sebagai pengantar untuk memahami secara lebih dalam terhadap Risalah Ta’alim.Kita mengetahui kedudukannya dalam dakwah Ikhwan dan kepentingannya dalam amal islami masa kini.