Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Hudzaifah,
“Hendaklah kamu komitmen bersama jamaah kaum muslimin dan imamnya.”
Salah satu prinsip dasar yang tidak boleh diabaikan oleh seorang muslim adalah bahwa umat Islam harus mempunyai jamaah dan imam. Kewajiban utama setiap muslim adalah memberikan kesetiaannya kepada jamaah dan imamnya. Inilah kunci utama untuk memahami persoalan Ikhwanul Muslimin. Sungguh, gagasan tentang jamaah islamiyah telah dilupakan oleh banyak orang dan jalan yang benar untuk menuju ke sana pun telah hilang. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan nikmat-Nya kepada Imam Hasan Al-Banna untuk meretas jalan yang sempurna menuju terwujudnya jamaah dan imamah berlandaskan berbagai faktor yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut dan tindakan nyata untuk mencapainya.
Memang, suatu jamaah baru bisa dikatakan sebagai jamaah islamiyah apabila ia telah memenuhi beberapa syarat, meliputi kepahaman dan kesadaran terhadap jamaah itu, serta kesucian pemimpinnya. Untuk masa sekarang agaknya hanya Ikhwanul Muslimin-lah yang telah memenuhi syarat-syarat itu. Mengapa demikian? Karena jamaah islamiyah adalah jamaah yang memiliki pemimpin yang lurus, yang lahir dari rahim shaf yang lurus pula, dan dibidani oleh sistem syura’ yang islami. Jamaatul muslimin hanyalah jamaah yang memiliki ciri-ciri keislaman sejati tanpa tambahan sifat lainnya. Ia selalu bersikap kritis, mengembangkan, dan mempelopori kebaikan di bawah sifat-sifat itu. Jamaatul muslimin adalah jamaah yang aktif menegakkan Islam secara total dalam lingkup individu, keluarga, bangsa, dan dunia seluruhnya. Jamaatul muslimin adalah jamaah yang memahami Islam dengan baik dan komitmen penuh kepadanya dengan mengikuti cara-cara yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Ini merupakan sifat yang senantiasa harus melekat di tubuh umat Islam, demikianlah teks-teks syariat menegaskan. Oleh karena itu, jamaatul muslimin pada hakikatnya merupakan mata rantai sejarah umat Islam sepanjang zaman yang menghubungkan perjalanan aqidah, syariah maupun sistem hidup seluruhnya. Demikian juga yang terjadi pada Jamaah Ikhwanul Muslimin.
Dalam risalah Al-Makhdal disebutkan tentang syarat-syarat di atas, sebagai syarat yang memungkinkan sebuah jamaah patut disebut jamaatul muslimin dan bahwa syarat-syarat itu telah terpenuhi dalam Jamaah Ikhwanul Muslimin[1]. Inilah kunci pertama untuk memahami Ikhwanul Muslimin dan dakwahnya.
Oleh karena telah menjadi kewajiban umat Islam untuk tidak memberikan ketaatan selain kepada jamaatul muslimin, maka mereka harus berkiblat pada jamaah yang telah mewakili wujud jamaatul muslimin. Hal ini agar kesetiaan orang muslim tidak tersia-sia atau –karena sebab-sebab tertentu—diberikan kepada selain orang-orang Islam yang memiliki komitmen. Oleh karena menegakkan hukum Islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka hal itu menuntut adanya sebuah jamaah yang bekerja untuk memperjuangkannya. Karena hukum Islam tidak akan terlaksana kecuali dengan adanya jamaah, sementara Ikhwanul Muslimin telah bekerja untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, maka hal ini menunjukkan bahwa keberadaan dan tegaknya Ikhwanul Muslimin merupakan salah satu tuntutan yang harus diperjuangkan. Ini kunci kedua untuk memahami Ikhwanul Muslimin dan dakwahnya.
Bersamaan dengan itu, harus ada suatu aksi. Aksi yang dapat mengubah pribadi seorang muslim: dari tanpa tanggung jawab menuju setia padanya; dari ketidakacuhan kepada Islam menjadi setia kepadanya; dari kebodohan terhadap Islam menjadi paham tentangnya; dari lalai menjadi ingat dan sadar. Aksi yang beragam ini telah jelas menuntut terwujudnya jamaah islamiyah. Semua ini telah dirintis oleh tangan Ustadz Hasan Al Banna rahimahullah atas dasar taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Keberadaan Ikhwanul Muslimin sesungguhnya menuntut pembaruan Islam, baik di bidang ilmu, amal, maupun realitasnya. Kelangsungannya di sisi lain juga membangkitkan permusuhan terhadap Islam. Atas dasar itulah, demi Islam, wujud dan kelangsungannya, harus lahir gerakan yang dapat mewujudkan cita-cita Islam. Semua itu merupakan kewajiban yang telah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala. Orang-orang Muslim yang sering bertanya: “Untuk apa Ikhwanul Muslimin?” hendaknya bertanya: “Apa yang akan terjadi tanpa Ikhwanul Muslimin?”
Bahkan para ulama Islam yang memiliki perhatian terhadap perjuangan Islam dewasa ini sering hanya disibukkan dengan sebagiannya saja. Sering pula terjadi dimana mereka tidak paham betul akan tuntutan kebutuhan masa kini, mereka kemudian menjauhkan berbagai peristiwa dari Islam.
Jika kita memahami permasalahan ini, maka kita telah mengetahui satu kunci lagi untuk memahami Ikhwanul Muslimin dan dakwahnya. Dakwah ikhwan merupakan simbol bagi berkibarnya panji politik Islam di banyak wilayah Islam. Tanpa dakwah Ikhwan itu panji politik Islam tetaplah merana.
Ketahuilah bahwa di setiap wilayah Islam berdiri sebuah gerakan yang mengibarkan bendera politik selain Islam. Ada bendera nasionalisme, bendera humanisme, bendera komunisme, dan lain-lain. Semua bendera ini ternyata dapat menarik banyak kelompok kaum muslimin. Sedangkan bendera politik Islam, tidak satu pun yang mengibarkannya.
Adalah sesuatu yang dapat dimaklumi bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh dan merupakan sistem hidup yang lengkap. Sejak jatuhnya Daulah Utsmaniyah –bahkan jauh sebelum itu—dan semenjak jatuhnya negara-negara Islam ke tangan kekuasaan negara-negara kafir, nasib kekuatan politik Islam terpojokkan dan bahkan mengalami kehancuran besar. Oleh karena itu harus ada pihak yang mengibarkan kembali panji-panji untuk menegakkan sistem politik Islam. Dan Ikhwan telah melakukannya. Ini kunci yang lain untuk memahami Ikhwanul Muslimin dan dakwahnya.
Dari paparan di atas, kita mengetahui bahwa bergerak bersama Ikhwanul Muslimin merupakan keharusan bagi setiap muslim di zaman ini untuk menegakkan berbagai kewajiban, meskipun dia mempunyai aliran Islam sendiri. Mengapa demikian? Karena untuk mewujudkan tujuan-tujuan Islam diperlukan amal jama’i (kerja kolektif). Ada fiqih dakwah yang sesuai dengan tuntutan zaman; ada fiqih islam tentang bagaimana melawan berbagai bentuk kekufuran, masa lalu maupun masa kini; ada kegiatan terhadap pemantauan berbagai kejadian yang menimpa umat Islam di berbagai wilayah; ada tuntutan sikap sehari-hari sebagai konsekuensi dari konflik harian demi tegaknya Islam; ada lagi tuntutan gerakan Islam terpadu yang mengharuskan setiap muslim berada di bawah naungannya; ada juga aksi politis Islam, yang semuanya mengharuskan setiap muslim bergerak bersama jamaatul muslimin. Harus dicatat bahwa gerakan Ikhwanul Muslimin adalah gerakan total yang dapat mengakomodasi seluruh tuntutan dan menghimpun semua potensi. Oleh karenanya tidak seorang muslim pun yang boleh ketinggalan dari dakwah ini.
Kembali kami paparkan kunci-kunci dakwah Ikhwanul Muslimin. Kita melihat bahwa reformasi Islam di masa kini adalah trade mark Ikwanul Muslimin yang pertama.
Banyak terdapat hukum yang berubah karena perubahan zaman. Banyak situasi yang dapat mempengaruhi karakter fatwa. Oleh karena itu, para ahli fiqih kita mengatakan, “Fatwa ditetapkan berdasarkan masa, tempat, dan pribadi yang memfatwakannya.” Tidak ragu lagi bahwa zaman kita kini adalah zaman yang memiliki karakter, sifat, konstruksi, aksioma, standar, tuntutan untuk menerima atau menolak, dan prinsipnya sendiri, sedangkan orang di dalamnya sendiri memiliki sikap tertentu terhadap Islam. Umat Islam sendiri saling berbeda pendapat dan terpecah belah. Islam menjadi lemah. Ikatan-ikatannya telah mulai berlepasan dari jiwa banyak kaum muslimin. Oleh karena itu, persoalan reformasi Islam di masa kini merupakan persoalan pelik yang membutuhkan energi tertentu untuk membangunnya.
Dengan taufik-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan kepada Hasan Al-Banna kemampuan meletakkan seluruh dasar gerak dasar yang pas demi perjuangan pembaharuan di zaman Islam ini.
Oleh karena itu, pembaharuan dan paham zaman menjadi kata kunci untuk mengetahui dakwah pokok Ikhwanul Muslimin. Suatu dakwah yang banyak hal masuk di sana, antara lain:
- Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mewariskan kepada kita Al-Qur’an, As-Sunnah, contoh aplikasinya, dan produk yang dihasilkan dari ilmu dan amal. Gerakan ‘menghidupkan Islam’ menuntut penghidupan ilmu, amal, dan produknya. Yang kami maksud dengan produk di sini adalah situasi hati, jiwa, dan ruhani, sebagaimana ketika itu dimiliki para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam; dimana jiwa menjadi suci, hati menjadi takut kepada Allah, dan ruh menjadi ma’rifat kepada-Nya serta khusyuk beribadah.
- Proses menghidupkan Islam menyangkut juga hal-hal berikut ini:
- Menghidupkan kembali sesuatu yang kini disebut fiqih dusturi (semacam fiqih negara, pent.) dan memformat kehidupan Islam dengannya.
- Menghidupkan kembali sesuatu yang kini disebut sebagai fiqih anniqabah (sistem perserikatan dagang) sehingga berbagai masalah kongsi dagang harus berangkat dari fiqih Islam dalam pelaksanaannya.
- Menghidupkan kembali sesuatu yang kini disebut sebagai qawanin (undang-undang), baik menyangkut undang-undang sipil, kriminal, personal, negara, niaga atau lainnya dan memformat kehidupan kaum muslimin dengannya.
- Menghidupkan kembali sistem rumah tangga Islam.
- Mengembalikan dinamika kehidupan umat Islam, agar dengan itu mereka dapat melanjutkan perjuangan internasionalnya untuk menegakkan risalah Islam, agar kalimah Allah menjadi yang tertinggi di bumi ini.
- Termasuk dalam proses menghidupkan Islam ini adalah menghidupkan sistem nilai Islam, baik secara global maupun secara sektoral. Sebab ada beberapa orang yang meyakini Islam secara global, tetapi mengingkari detailnya. Apabila ditunjukkan, mereka mengingkarinya. Di sisi lain, ada seseorang yang sibuk dengan urusan furu’iyah Islam, namun melalaikan masalah besarnya. Salah satu dari aktivitas pembaharuan Islam yang –telah dan akan terus—diperjuangkan Jamaah Ikhwan adalah menghidupkan prinsip-prinsip dasar dengan logika yang aksiomatik dan menceriterakan totalitas ajaran Islam. Di saat yang sama, ia juga mentarbiyah orang untuk memegang teguh ajaran-ajaran Islam secara detailnya. Selain itu jamaah juga menunjukkan pelaksanaannya dengan cara mengenalkan masalah-masalah furu’iyah sembari menjelaskan mana diantaranya yang tidak boleh diperselisihkan dan mana pula yang menerima perbedaan, batas-batasnya, kapan diperbolehkan dan kapan tidak, serta bagaimana etikanya secara global untuk setiap persoalan.
[1] “Pernyataan penulis ini tidak benar, yang benar Jamaah Ikhwanul Muslimin bukanlah Jamaatul Muslimin, melainkan hanya jamaah minal Muslimin, sebagaimana dinyatakan dalam buku ‘Ath Thariq ila Jama’atil Muslimin’ (dalam terjemahan Bahasa Indonesia berjudul: Menuju Jamaatul Muslimin, Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam) karangan Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, MA.” (redaksi hasanalbanna.com)